Retribusi Pasar Ditarget Rp 3,5 M, Realisasi Rp 1,6 M
Diskoperindag telah mengajukan revisi Perda Jembrana Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Namun revisi perda tersebut belum mendapat persetujuan dari DPRD.
NEGARA, NusaBali
Pascadiserahkannya pengelolaan pasar dari Perusahaan Daerah (Perusda) Jembrana kepada Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan (Koperindag) Jembrana mulai 2018 lalu, pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor retribusi pasar belum memenuhi harapan. Dari target retribusi pasar sebesar Rp 3,5 miliar pada tahun 2018, baru dapat terealisasi sebesar Rp 1,6 miliar atau sekitar 45 persen.
Kepala Dinas Koperindag Jembrana Made Gede Budhiarta, mengatakan dalam mengawali pengelolaan pasar mulai 2018, memang ditemui sejumlah kendala. Pengelolaan pasar membutuhkan proses, terutama pembenahan terhadap berbagai aspek seperti sumber daya manusia (SDM), tata kelola, termasuk regulasi.
“Banyak persoalan yang kami hadapi sejak mulai penyerahan itu, seperti perilaku dan budaya kerja. Waktu peralihan pengelolaan pasar, kami juga menerima limpahan 63 pegawai dari Perusda,” kata Budhiarta, Minggu (3/2).
Menurutnya, dalam mengelola retribusi pasar, ada hal mendasar yang membedakan pengelolaan antara Perusda dengan dinas. Jika Perusda, yang menjadi fokus adalah profit oriented. Sementara ketika dikelola langsung dinas, ada kewajiban meningkatkan pelayanan masyarakat, baik untuk pedagang maupun pembeli, yang nantinya bermuara terhadap peningkatan PAD. Untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, telah dilakukan revitalisasi pasar. “Dari 10 pasar yang kami kelola, 9 sudah direvitalisasi. Hanya Pasar Umum Negara yang belum,” imbuhnya.
Kemudian dari sisi tata kelola pasar, kata Budhiarta, sampai saat ini belum terbentuk unit pelaksana teknis (UPT). Terkait UPT yang akan bertanggungjawab terhadap pengelolaan pasar, dan nantinya membawahi para kepala pasar, diharapkan sudah bisa terbentuk tahun 2019 ini. Pembentukan UPT itu dinilai penting menyangkut PAD dari sektor retribusi pasar yang tetap ditargetkan sebesar Rp 3,5 miliar di 2019 ini.
“Struktur UPT sudah jadi. Untuk pengisiannya tergantung policy (kebijakan) Pak Bupati. Setelah UPT terbentuk, kami harapkan pencapaian PAD bisa lebih tinggi. Apalagi tahun ini, kami mengarah pada program untuk menciptakan pasar sehat dan tertib ukur, dan tahun 2020 kami menargetkan ada 2 pasar berpredikat SNI (Standar Nasional Indonesia) yakni Pasar Tegalcangkring dan Pasar Banjar Tengah,” ungkapnya.
Di samping berbagai persoalan tersebut, regulasi juga menjadi salah satu aspek penting. Di 2018 lalu, pihaknya telah mengajukan revisi Perda Jembrana Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Namun revisi perda tersebut belum mendapat persetujuan dari pihak DPRD Jembrana, yang meminta dilakukan penyempurnaan terhadap sejumlah komponen di dalam perda yang juga mengatur sejumlah sektor retribusi.
“Dalam revisi Perda tentang Retribusi Jasa Umum waktu ini, sebenarnya kami sudah siapkan kajian akademis dari sektor pasar. Tetapi regulasinya itu juga banyak sektor, dan ada beberapa sektor yang masih diminta kelengkapan kajian akademisnya,” kata Budhiarta.
Sebenarnya, sambung Budhiarta, memang ada tarif yang tidak rasional antara kios, los, dan pelataran di pasar, yang masih disamakan nilai retribusi hariannya. Seharusnya, tarif itu harus dirasionalisasi, karena fasilitas yang didapat berbeda. Seharusnya, tarif menyangkut retribusi itu juga perlu direvisi setiap tiga tahun, tetapi selama ini tidak pernah ada revisi terhadap Perda Jembrana Nomor 31 Tahun 2011 tersebut.
Sampai saat ini, Peken Ijogading yang berada di bawah pengelolaan Dinas Koperindag Jembrana sejak diresmikan tahun 2014 lalu, juga belum menyumbangkan PAD sektor retribusi pasar, karena memang belum masuk dalam regulasi tersebut. “Peken Ijogading sampai sekarang belum masuk perda, sehingga tidak ada retribusi pasarnya. Kalau sudah masuk nanti, kami berencana lakukan segmentasi pedagang dan komoditas antara Pasar Umum Negara dan Peken Ijogading,” kata Budhiarta. *ode
Pascadiserahkannya pengelolaan pasar dari Perusahaan Daerah (Perusda) Jembrana kepada Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan (Koperindag) Jembrana mulai 2018 lalu, pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor retribusi pasar belum memenuhi harapan. Dari target retribusi pasar sebesar Rp 3,5 miliar pada tahun 2018, baru dapat terealisasi sebesar Rp 1,6 miliar atau sekitar 45 persen.
Kepala Dinas Koperindag Jembrana Made Gede Budhiarta, mengatakan dalam mengawali pengelolaan pasar mulai 2018, memang ditemui sejumlah kendala. Pengelolaan pasar membutuhkan proses, terutama pembenahan terhadap berbagai aspek seperti sumber daya manusia (SDM), tata kelola, termasuk regulasi.
“Banyak persoalan yang kami hadapi sejak mulai penyerahan itu, seperti perilaku dan budaya kerja. Waktu peralihan pengelolaan pasar, kami juga menerima limpahan 63 pegawai dari Perusda,” kata Budhiarta, Minggu (3/2).
Menurutnya, dalam mengelola retribusi pasar, ada hal mendasar yang membedakan pengelolaan antara Perusda dengan dinas. Jika Perusda, yang menjadi fokus adalah profit oriented. Sementara ketika dikelola langsung dinas, ada kewajiban meningkatkan pelayanan masyarakat, baik untuk pedagang maupun pembeli, yang nantinya bermuara terhadap peningkatan PAD. Untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, telah dilakukan revitalisasi pasar. “Dari 10 pasar yang kami kelola, 9 sudah direvitalisasi. Hanya Pasar Umum Negara yang belum,” imbuhnya.
Kemudian dari sisi tata kelola pasar, kata Budhiarta, sampai saat ini belum terbentuk unit pelaksana teknis (UPT). Terkait UPT yang akan bertanggungjawab terhadap pengelolaan pasar, dan nantinya membawahi para kepala pasar, diharapkan sudah bisa terbentuk tahun 2019 ini. Pembentukan UPT itu dinilai penting menyangkut PAD dari sektor retribusi pasar yang tetap ditargetkan sebesar Rp 3,5 miliar di 2019 ini.
“Struktur UPT sudah jadi. Untuk pengisiannya tergantung policy (kebijakan) Pak Bupati. Setelah UPT terbentuk, kami harapkan pencapaian PAD bisa lebih tinggi. Apalagi tahun ini, kami mengarah pada program untuk menciptakan pasar sehat dan tertib ukur, dan tahun 2020 kami menargetkan ada 2 pasar berpredikat SNI (Standar Nasional Indonesia) yakni Pasar Tegalcangkring dan Pasar Banjar Tengah,” ungkapnya.
Di samping berbagai persoalan tersebut, regulasi juga menjadi salah satu aspek penting. Di 2018 lalu, pihaknya telah mengajukan revisi Perda Jembrana Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Namun revisi perda tersebut belum mendapat persetujuan dari pihak DPRD Jembrana, yang meminta dilakukan penyempurnaan terhadap sejumlah komponen di dalam perda yang juga mengatur sejumlah sektor retribusi.
“Dalam revisi Perda tentang Retribusi Jasa Umum waktu ini, sebenarnya kami sudah siapkan kajian akademis dari sektor pasar. Tetapi regulasinya itu juga banyak sektor, dan ada beberapa sektor yang masih diminta kelengkapan kajian akademisnya,” kata Budhiarta.
Sebenarnya, sambung Budhiarta, memang ada tarif yang tidak rasional antara kios, los, dan pelataran di pasar, yang masih disamakan nilai retribusi hariannya. Seharusnya, tarif itu harus dirasionalisasi, karena fasilitas yang didapat berbeda. Seharusnya, tarif menyangkut retribusi itu juga perlu direvisi setiap tiga tahun, tetapi selama ini tidak pernah ada revisi terhadap Perda Jembrana Nomor 31 Tahun 2011 tersebut.
Sampai saat ini, Peken Ijogading yang berada di bawah pengelolaan Dinas Koperindag Jembrana sejak diresmikan tahun 2014 lalu, juga belum menyumbangkan PAD sektor retribusi pasar, karena memang belum masuk dalam regulasi tersebut. “Peken Ijogading sampai sekarang belum masuk perda, sehingga tidak ada retribusi pasarnya. Kalau sudah masuk nanti, kami berencana lakukan segmentasi pedagang dan komoditas antara Pasar Umum Negara dan Peken Ijogading,” kata Budhiarta. *ode
Komentar