Menakar Potensi Pertanian Padi di Bali
Tahun 2018 pemerintah telah mengumumkan produksi padi nasional berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan metode mutakhir Kerangka Sampel Area (KSA). Secara nasional produksi beras mencapai 56,54 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 32,42 juta ton beras. Angka itu jauh lebih sedikit dari estimasi yang dilakukan Kementerian Pertanian (Kementan) dengan selisih mencapai 30 persen.
Penulis : Dwi Ardian (Mahasiswa Politeknik Statistika STIS Jakarta)
Masalah Pertanian Padi di Bali
Menurut data dengan sumber yang sama pertanian padi di Bali merupakan daerah dengan rata-rata produktivitas tertinggi di Indonesia yang hampir mencapai 6 ton per hektare GKG. Namun, hal itu tidak berbanding lurus dengan produksi total padi di Bali. Produksi padi di Bali cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 produksi padi Bali mencapai 882.092 ton menjadi 853.710 ton pada tahun 2015, bahkan dengan metode KSA pada tahun 2018 produksi padi diperkirakan hanya mencapai 650.245 ton saja.
Penyebab utama produksi padi di Bali mengalami penurunan serta luas panen yang semakin menyempit. Ada pun luas panen pada tahun 2013 mencapai 149.000 hektare menjadi 137.385 hektare pada tahun 2015, bahkan dengan metode KSA pada tahun 2018 hanya mencapai 108.794 hektare saja. Luas panen berkurang bisa karena alih fungsi lahan atau memang frekuensi penanaman dikurangi, misalnya dari 3 kali setahun menjadi 2 kali atau sekali saja dalam setahun.
PR besar yang harus diemban oleh pemangku kebijakan karena di tengah sektor akomodasi dan penyediaan makan (pariwisata) tumbuh dengan pesat, sebaliknya sektor pertanian utamanya pangan mengalami perlambatan. Pada tahun 2017 kontribusi sektor pariwisata mencapai 23,33 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), sedangkan sektor pertanian hanya mencapai 14,35 terhadap PDB, di mana subsektor tanaman pangan hanya menyumbang 1,93 persen saja terhadap PDRB. Kalau dilihat dari sisi laju pertumbuhan PDRB subsektor tanaman pangan sangat mengkhawatirkan dengan laju pertumbuhan -5,89 persen terhadap PDRB atau sangat menurun dibanding periode sebelumnya. Sedangkan, laju pertumbuhan sektor pariwisata mencapai 9,25 persen terhadap PDRB.
Jika permasalahan ini terus dibiarkan maka cita-cita pemerintah untuk swasembada pangan akan semakin jauh dari kenyataan. Permasalahan yang paling banyak ditemui di lapangan adalah penurunan jumlah petani dan regenerasi petani yang tidak berjalan, pemuda di Bali cenderung tidak mau menjadi petani. Jumlah rumah tangga pertanian padi pada tahun 2018 menurut Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) adalah sekitar 134.860 atau menurun jika dibandingkan tahun 2013 yang angkanya mencapai 147.887 rumah tangga. Usia petani di Bali didominasi oleh orang tua. Menurut Survei Ongkos Usaha Tani 2017 (SOUT2017) petani padi di Bali 81,59 persen berusia di atas 45 tahun, yang berusia di bawah 30 tahun hanya berjumlah 0,58 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa para pemuda jarang sekali yang mau menjadi petani.
Isu lain yang menjadi permasalahan pertanian padi di Bali adalah alih fungsi lahan. Lahan pertanian padi banyak yang bertransformasi menjadi pemukiman, bangunan industri, dan tempat wisata, serta fungsi lain yang dianggap masyarakat lebih menjanjikan dari sisi pendapatan. Pada tahun 2013 lahan baku sawah di Bali mencapai 78.425 hektare kemudian menyusut menjadi 75.922 hektare pada tahun 2015.
Subak sebagai salah satu kelebihan kearifan lokal di Bali dalam mengatur pertanian tanaman padi (utamanya irigasi) rupanya tidak mampu secara maksimal membendung keinginan pemilik untuk mengalihfungsikan lahannya. Membangun vila misalnya, dianggap lebih mendapatkan profit yang instan dengan upaya yang minimal. Yang lainnya bunga untuk canang misalnya, dianggap lebih cepat memberikan hasil dengan pemeliharaan yang tentu tidak seberat jika mengelola pertanian tanaman padi.
Salah seorang Pekaseh (ketua subak) bercerita kepada mahasiswa Politeknik Statistika STIS Jakarta (yang sedang melakukan persiapan PKL) bahwa petani banyak yang beralih menjadi petani perkebunan bunga karena hasilnya lebih menjanjikan. Tidak tanggung-tanggung lahan sawah yang biasanya ditanami padi rela dibagi dengan tanaman bunga, bahkan ada yang mengurangi frekuensi tanam padi dari yang biasanya 3 kali setahun menjadi 2 atau hanya sekali dalam setahun. Perkebunan bunga di Bali memang cukup menyebarkan wangi semerbak dengan menjanjikan hasil yang bagus. Permintaan yang cenderung meningkat dan dengan modal yang kecil membuat petani tidak kuasa menahan godaannya.
Padi di Bali, Riwayatmu Kini
Sesuai hasil KSA BPS tahun 2018, produksi padi di Bali diperkirakan mencapai 650.245 ton GKG. Jika dikonversi ke beras mencapai 372.635 ton beras. Secara kasar jika kita menghitung kebutuhan beras Bali berdasarkan jumlah penduduk maka total kebutuhan beras di Bali mencapai 486.649 ton berdasarkan konsumsi rata-rata per kapita yang mencapai 114,6 kg. Hal ini mengindikasikan bahwa Provinsi Bali mengalami defisit beras. Kenyataannya Bali memang masih tetap mengimpor beras beberapa tahun terakhir yang terbesar adalah berasal dari Vietnam sebagaimana pernyataan Kepala BPS Provinsi Bali saat diwawancarai salah satu media beberapa saat lalu.
Pertanian tanaman padi di Bali sebenarnya tidak seburuk gambaran umum di atas. Bali memiliki modal social yang bagus serta infrastruktur dan fasilitas yang termasuk terbaik dibandingkan daerah lain di Indonesia. Produktivitas juga masih menjadi yang terbaik. Kemungkinan besar yang menjadi masalah utama adalah nilai tukar petani (NTP) yang kecil yakni di bawah 100 (99,40 pada Desember 2018) membuat petani pangan (utamanya padi) cenderung untung sedikit bahkan tidak sedikit yang mengalami kerugian.
Jika dilihat dari SOUT2017 petani masih sangat terbebani dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan seperti bibit/benih, pestisida, alsintan, pembiayaan, dan lainnya. Sekitar 63,81 persen rumah tangga mengaku tidak menerima bantuan bibit/benih, 93,56 persen mengaku tidak menerima bantuan pestisida, 97,96 persen mengaku tidak menerima bantuan alsintan, serta 97,62 persen mengaku tidak menerima bantuan pembiayaan.
Langkah Konkret
Ketika kita sudah melihat permasalahan yang ada maka tentu akan lebih mudah bagi pemilik kebijakan untuk melakukan intervensi. Pemerintah perlu memastikan bahwa pertanian padi di Bali adalah usaha yang menarik dan bisa mendatangkan keuntungan yang banyak. NTP yang di bawah 100 subsektor pangan harus terus dipantau oleh pemerintah agar bisa memastikan harga yang dibayarkan oleh keluarga petani bisa lebih kecil dibanding harga yang diterima.
Menurut data sensus pertanian tahun 2013 masih banyak petani yang menebaskan dan mengijonkan pertanian padinya yakni mencapai 47 persen. Hal ini dilakukan tentu karena biaya produksi yang mahal sehingga mendorong mereka tidak melakukan pemanenan sendiri. Kalau pemerintah bisa menjamin mereka dengan pembiayaan yang tanpa agunan misalnya, maka mereka tentu akan memperoleh hasil yang lebih memuaskan.
Langkah lainnya adalah berusaha membantu petugas pencacah (pendata) dari BPS atau pun mahasiswa yang melakukan penelitian dengan memberikan data yang sejujur-jujurnya. Data kadang dipandang sebelah mata oleh masyarakat sehingga tidak memberikan informasi yang berkualitas kepada pencacah di lapangan. Padahal, dari datalah pemerintah bisa merumuskan kebijakan yang tepat bagi kemaslahatan seluruh masyarakat.
Penelitian terdekat tentang pertanian tanaman padi akan dilakukan oleh mahasiswa Politeknik Statistika STIS Jakarta, yakni sekitar tanggal 18 Februari hingga 3 maret 2019. Hasil penelitian ini tentunya diharapkan bisa menjawab permasalahan utama yang dihadapi di Bali. Dengan data berkualitas maka tentu kebijakan yang tepat akan tercapai. (*)
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Komentar