Pro-Kontra RUU Permusikan
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang dibahas legislatif (kembali) dipermasalahkan oleh publik. Ya, kali ini RUU Permusikan yang menuai pro dan kontra masyarakat, khususnya kalangan pegiat seni musik.
Penulis : Gerry Katon Mahendra, S.IP., M.I.P, Dosen Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta
Menilik sejarah mengenai RUU Permusikan, rencana ini muncul sejak tahun 2015 diawali rapat dengar pendapat antara DPR dan para pelaku industri musik. Tahun 2017, Komisi X DPR RI kembali menggelar rapat dengar pendapat, hingga kemudian Anang Hermansyah (anggota DPR RI Komisi x) secara resmi menyerahkan naskah akademik RUU Permusikan kepada pimpinan Komisi X. Hingga pada Oktober 2018, RUU Permusikan menjadi salah satu dari 55 rancangan undang-undang prioritas pada tahun 2019. Aspirasi keberatan mengenai RUU Permusikan mayoritas berasal dari pelaku seni musik (pemusik). Berdasarkan data yang berhasil dihimpun dari Tempo.co, setidaknya terdapat setidaknya lima poin (pasal) yang dinilai tidak pro terhadap pegiat seni musik di Indonesia, diantaranya adalah :
Pertama, masih terdapat pasal dalam RUU Permusikan yang berpotensi multi tafsir (pasal karet). Potensi pasal karet ditemukan pada Pasal 5 RUU Permusikan. Dalam pasal tersebut disebutkan, seorang musisi dilarang menciptakan lagu yang menista, melecehkan, menodai, dan memprovokasi. Para musisi menganggap pasal ini dapat dijadikan pembenaran dan landasan hukum bagi penguasa untuk menekan para musisi yang menghasilkan karya musik bertemakan sosial politik dan kritik terhadap ketidakadilan. Selama ini musik tidak jarang dijadikan sebagai alat menyampaikan aspirasi yang cukup efektif kepada pemerintah, dan apabila RUU ini disahkan, tentu saja berpotensi mempersempit ruang aspirasi pemusik.
Kedua, RUU Permusikan juga berpotensi mematikan musik independen. Beberapa pasal di dalam draf RUU Permusikan, khususnya pada Pasal 10 terkesan tidak memihak pada label indie dan justru terkesan memihak industri musik besar. Pasal ini menegasikan praktek distribusi karya musik yang selama ini dilakukan oleh banyak musisi yang tidak tergabung dalam label atau distributor besar. Ketiga, pasal dalam RUU Permusikan juga mensyaratkan adanya sertifikasi bagi pekerja musik juga dianggap menyingkirkan para pemusik yang selama ini mahir dan berkarya secara auotodidak. Pasal-pasal terkait uji kompetensi ini berpotensi mendiskriminasi musisi autodidak untuk tidak dapat melakukan pertunjukan musik jika tidak mengikuti uji kompetensi.
Keempat, beberapa pasal dalam RUU Permusikan dianggap kurang jelas mengenai apa dan siapa yang diatur. Dicontohkan pada Pasal 11 dan Pasal 15 hanya memuat informasi umum tentang cara mendistribusikan karya yang sudah diketahui dan banyak dipraktekkan oleh para pelaku musik serta bagaimana masyarakat menikmati sebuah karya. Kedua Pasal ini dianggap hanya sebatas informasi umum singkat dan kurang mencerminkan sebagai suatu aturan yang jelas dan tegas.
Kelima, Pasal 13 tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia juga tidak luput dari kritik pelaku seni. Bahasa dalam seni dianggap suatu yang universal, sehingga kewajiban untuk menggunakan bahasa Indonesia saja dianggap bertolak belakang dengan esensi seni dan membatasai ruang gerak pelaku seni.
Lima poin diatas yang setidaknya menjadi kritikan dari pelaku seni. Mereka menganggap, substansi RUU Permusikan merupakan langkah mundur bagi kemajuan musik Indonesia secara umum. RUU Permusikan ini juga dianggap bertolak belakang dengan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, serta bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dalam negara demokrasi. Bahkan tidak jarang, RUU Permusikan kali ini dianggap akan menghadirkan suasana bermusik seperti pada era orde baru, dimana banyak sekali hal dalam substansi bermusik yang dibatasi dan diintervensi oleh pemerintah. Dengan begitu banyaknya respon dan kritikan dari publik (khususnya pelaku seni musik), sudah seharusnya DPR, khususnya Komisi X yang membidangi masalah ini mampu merespon dan menampung kembali masukan dari para pelaku seni musik agar nantinya pasal-pasal yang diperdebatkan mampu disepakati oleh berbagai pihak sehingga nantinya mampu melahirkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan kehendak dan kebutuhan para pelaku dan penikmat seni, khususnya seni musik di Indonesia.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar