Sudah Salin 4.120 Cakep Lontar, Tak Ada Satu Pun Soal Pengleakan
Lontar paling tebal yang ditulis Ida I Dewa Gede Catra berjudul ‘Geguritan Wana Parwa’, yakni setebal 291 halaman dengan panjang 50 cm. Berikutnya, lontar berjudul ‘Boma’ setebal 237 halaman dan lontar ‘Dwijoda’ setebal 230 halaman
Ida I Dewa Gede Catra, Penulis Lontar Aksara Bali Asal Banjar Tengah, Desa Sidemen, Karangasem
AMLAPURA, NusaBali
Ida I Dewa Gede Catra, 82, termasuk salah satu penulis lontar aksara Bali yang cukup eksis di Kabupaten Karangasem. Pensiunan guru berusia 82 tahun asal Banjar Tengah, Desa/Kecamatan Sidemen, Karangasem ini sudah aktif menulis aksara Bali di daun lontar sejak 1972. Selama itu pula, Ida I Dewa Gede Catra telah menyalin 4.000 cakep lontar dan menulis naskah asli 120 cakep lontar. Dari jumlah itu, tak ada satu pun lontar terkait pengleakan.
Awal mula Ida I Dewa Gede Catra tertarik menulis aksara Bali di daun lontar berawal tahun 1970, ketika masih menjadi guru SD di Karangasem. Kala itu, Dewa Gede Catra yang masih berusia 35 tahun sering melayani pamannya, I Dewa Made Oka, sebagai balian (dukun). Suatu ketika, pamannya menyuruh Dewa Catra menulis aksara Bali di daun lontar mengenai obat yang diperlukan pasiennya, setelah ngewacakang sakitnya.
Tulisan yang dituangkan di daun lontar menggunakan pisau temutik, boleh dibilang semacam resep untuk mendapatkan obat buat sang pasien. Sejak itu sang paman rutin menyuruh Dewa Catra bantu menulis di daun lontar mengenai jenis-jenis obat yang diperlukan pasiennya.
Karena tulisan aksara Bali-nya di daun lontar lumayan baik, maka Dewa Catra disarankan sang paman untuk menulis satu cakep lontar berjudul ‘Kunti Yadnya Nila Candra’. Dewa Catra pun melaksanakan saran pamannya. Lontar Kunti Yadnya Nila Candra yang ditulis Dewa Catra tahun 1972 itu hingga kini masih disimpan, tidak dijual dan diberikan kepada siapa pun.
“Lontar Kunti Yadnya Nila Candra itu saya simpan dan dkeramatkan sebagai pembuka sejarah saya selaku penulis lontar,” ungkap Dewa Catra saat ditemui NusaBali di kediamannya di Banjar Tengah, Desa/Kecamatan Sidemen, beberapa waktu lalu.
Lontar aksara Bali kedua yang ditulis Dewa Catra berjudul ‘Tantri’. Setelah menulis lontar Tantri, Dewa Catra rutin menulis hingga akhirnya menulis 120 lontar. Selain itu, tokoh kelahiran 23 Juni 1937 yang sempat menjadi Kepala Sekolah (Kasek) SD Padangkerta, Karangasem ini juga menyalin 4.000 cakep lontar aksara Bali.
Dewa Catra sempat kesulitan mendapatkan daun lontar yang siap ditulis. Maka, dia pun berusaha dan akhirnya menemukan tata cara menyediakan bahan baku daun lontar yang berkualitas. Ilmu itu juga didapatkan dari sang paman. Daun lontar yang dipilih adalah yang serat dan panjangnya bagus, lalu dijadikan satu ikat. Setelah itu, daun lontar tersebut direbus, lalu dijemur, dan setelah kering dipress selama 3 bulan. Setelah itu, masih berlanjut press kedua dan seterusnya hingga memakan waktu selama 2 tahun.
Menurut Dewa Catra, selama periode 1972-1979, dirinya lebih banyak menulis lontar pesanan, berupa silsilah keluarga. Pada 1975, dia sempat dapat proyek menulis lontar dari pusat senilai Rp 20 juta, atas perantara Kadis Pendidikan Dasar Bali (waktu itu) I Wayan Warna. Agar proyek itu tuntas selama 3 bulan, Dewa Catra memanfaatkan penulis lontar se-Bali, hingga mampu mengoleksi 400 cakep lontar. Kolseksi tersebut kemudian diserahkan ke UPTD Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.
Dewa Catra juga aktif nyurat awig-awig di daun lontar, sejak tahun 1999. Diawali dengan nyurat lontar awig-awig Desa Pakraman Tabola, Kecamatan Sidemen. "Satu hal yang sulit dalam menyurat lontar awig-awig adalah ketika memasuki Bab III. Sebab, di situ mengatur orang, antara krama tamiu dengan krama pribumi, sehingga perlu pasal-pasal yang tepat," kata ayah 4 anak dari pernikahannya dengan almarhum Jro Wija Kesuma ini.
Sampai saat ini, Dewa Catra total sudah menyalin 4.000 cakep lontar dan menulis 120 cakep lontar aksara Bali. Lontar paling tebal yang ditulis Dewa Catra adalah berjudul ‘Geguritan Wana Parwa’, yakni setebal 291 halaman. Berikutnya, lontar berjudul ‘Boma’ setebal 237 jalaman, disusul lontar ‘Dwijoda’ setebal 230 halaman dengan panjang 50 cm.
Menurut Dewa Catra, dari 4.000 cakep lontar yang disalinnya, dia belum pernah menemukan lontar tentang tata cara belajar ngeleak. Yang banyak dia salin dan tulis adalah lontar tentang usada (tata cara pengobatan).
Leak itu sendiri merupakan cabang ilmu pangiwa (balian bisa menyembuhkan dan bisa menciptakan sakit). Dalam istilah Bali, kata Dewa Catra, pangleakan disebut aji wegig. "Saya juga heran, dari ribuan lontar yang disalin, belum pernah ditemukan lontar tata cara belajar ngeleak. Kalau ditemukan, tentu saja sudah saya salin. Sebab, itu juga budaya Bali," jelas penulis lontar yang menempuh pendidikan formal terakhir di Sekolah Guru B Bangli khusus SD (tamat tahun 1956) ini.
Sebaliknya, lontar tentang usada sangat banyak ditemukan. Bahkan, kata Dewa Catra, ada ratusan lontar usada yang telah disalinnya. Antara lain, lontar usada mengenai tata cara mengobati pasien yang menderita penyakit non medis, yang diakibatkan ilmu hitam.
Lontar usada yang telah ditulis Dewa Catra dan kini dikoleksi di Museum Pustaka Lontar di Desa Pakraman Dukuh Penaban, Kecamatan Karangasem, antara lain, Lontar ‘Kalima Usada Mahaputus’, ‘Kalima Osada Kalima Osadi’, ‘Ratuning Usada’, ‘Usada Wong Agering’, ‘Usada Tatenger Beling’, dan Usada Netra’.
Di usianya yang kini menginjak 82 tahun, Dewa Gede Catra masih tetap aktif menulis lontar aksara Bali. Dari empat anaknya, hanya si bungsu Ida Ayu Puspita Padmi yang mewarisi hobi Dewa catra menulis lontar. Saat ini, Ida Ayu Puspita Padmi menjadi guru di SMPN 5 Amlapura. “Sedangkan tiga anak saya yang lain, kurang tertarik menulis lontar,” katanya. *k16
AMLAPURA, NusaBali
Ida I Dewa Gede Catra, 82, termasuk salah satu penulis lontar aksara Bali yang cukup eksis di Kabupaten Karangasem. Pensiunan guru berusia 82 tahun asal Banjar Tengah, Desa/Kecamatan Sidemen, Karangasem ini sudah aktif menulis aksara Bali di daun lontar sejak 1972. Selama itu pula, Ida I Dewa Gede Catra telah menyalin 4.000 cakep lontar dan menulis naskah asli 120 cakep lontar. Dari jumlah itu, tak ada satu pun lontar terkait pengleakan.
Awal mula Ida I Dewa Gede Catra tertarik menulis aksara Bali di daun lontar berawal tahun 1970, ketika masih menjadi guru SD di Karangasem. Kala itu, Dewa Gede Catra yang masih berusia 35 tahun sering melayani pamannya, I Dewa Made Oka, sebagai balian (dukun). Suatu ketika, pamannya menyuruh Dewa Catra menulis aksara Bali di daun lontar mengenai obat yang diperlukan pasiennya, setelah ngewacakang sakitnya.
Tulisan yang dituangkan di daun lontar menggunakan pisau temutik, boleh dibilang semacam resep untuk mendapatkan obat buat sang pasien. Sejak itu sang paman rutin menyuruh Dewa Catra bantu menulis di daun lontar mengenai jenis-jenis obat yang diperlukan pasiennya.
Karena tulisan aksara Bali-nya di daun lontar lumayan baik, maka Dewa Catra disarankan sang paman untuk menulis satu cakep lontar berjudul ‘Kunti Yadnya Nila Candra’. Dewa Catra pun melaksanakan saran pamannya. Lontar Kunti Yadnya Nila Candra yang ditulis Dewa Catra tahun 1972 itu hingga kini masih disimpan, tidak dijual dan diberikan kepada siapa pun.
“Lontar Kunti Yadnya Nila Candra itu saya simpan dan dkeramatkan sebagai pembuka sejarah saya selaku penulis lontar,” ungkap Dewa Catra saat ditemui NusaBali di kediamannya di Banjar Tengah, Desa/Kecamatan Sidemen, beberapa waktu lalu.
Lontar aksara Bali kedua yang ditulis Dewa Catra berjudul ‘Tantri’. Setelah menulis lontar Tantri, Dewa Catra rutin menulis hingga akhirnya menulis 120 lontar. Selain itu, tokoh kelahiran 23 Juni 1937 yang sempat menjadi Kepala Sekolah (Kasek) SD Padangkerta, Karangasem ini juga menyalin 4.000 cakep lontar aksara Bali.
Dewa Catra sempat kesulitan mendapatkan daun lontar yang siap ditulis. Maka, dia pun berusaha dan akhirnya menemukan tata cara menyediakan bahan baku daun lontar yang berkualitas. Ilmu itu juga didapatkan dari sang paman. Daun lontar yang dipilih adalah yang serat dan panjangnya bagus, lalu dijadikan satu ikat. Setelah itu, daun lontar tersebut direbus, lalu dijemur, dan setelah kering dipress selama 3 bulan. Setelah itu, masih berlanjut press kedua dan seterusnya hingga memakan waktu selama 2 tahun.
Menurut Dewa Catra, selama periode 1972-1979, dirinya lebih banyak menulis lontar pesanan, berupa silsilah keluarga. Pada 1975, dia sempat dapat proyek menulis lontar dari pusat senilai Rp 20 juta, atas perantara Kadis Pendidikan Dasar Bali (waktu itu) I Wayan Warna. Agar proyek itu tuntas selama 3 bulan, Dewa Catra memanfaatkan penulis lontar se-Bali, hingga mampu mengoleksi 400 cakep lontar. Kolseksi tersebut kemudian diserahkan ke UPTD Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.
Dewa Catra juga aktif nyurat awig-awig di daun lontar, sejak tahun 1999. Diawali dengan nyurat lontar awig-awig Desa Pakraman Tabola, Kecamatan Sidemen. "Satu hal yang sulit dalam menyurat lontar awig-awig adalah ketika memasuki Bab III. Sebab, di situ mengatur orang, antara krama tamiu dengan krama pribumi, sehingga perlu pasal-pasal yang tepat," kata ayah 4 anak dari pernikahannya dengan almarhum Jro Wija Kesuma ini.
Sampai saat ini, Dewa Catra total sudah menyalin 4.000 cakep lontar dan menulis 120 cakep lontar aksara Bali. Lontar paling tebal yang ditulis Dewa Catra adalah berjudul ‘Geguritan Wana Parwa’, yakni setebal 291 halaman. Berikutnya, lontar berjudul ‘Boma’ setebal 237 jalaman, disusul lontar ‘Dwijoda’ setebal 230 halaman dengan panjang 50 cm.
Menurut Dewa Catra, dari 4.000 cakep lontar yang disalinnya, dia belum pernah menemukan lontar tentang tata cara belajar ngeleak. Yang banyak dia salin dan tulis adalah lontar tentang usada (tata cara pengobatan).
Leak itu sendiri merupakan cabang ilmu pangiwa (balian bisa menyembuhkan dan bisa menciptakan sakit). Dalam istilah Bali, kata Dewa Catra, pangleakan disebut aji wegig. "Saya juga heran, dari ribuan lontar yang disalin, belum pernah ditemukan lontar tata cara belajar ngeleak. Kalau ditemukan, tentu saja sudah saya salin. Sebab, itu juga budaya Bali," jelas penulis lontar yang menempuh pendidikan formal terakhir di Sekolah Guru B Bangli khusus SD (tamat tahun 1956) ini.
Sebaliknya, lontar tentang usada sangat banyak ditemukan. Bahkan, kata Dewa Catra, ada ratusan lontar usada yang telah disalinnya. Antara lain, lontar usada mengenai tata cara mengobati pasien yang menderita penyakit non medis, yang diakibatkan ilmu hitam.
Lontar usada yang telah ditulis Dewa Catra dan kini dikoleksi di Museum Pustaka Lontar di Desa Pakraman Dukuh Penaban, Kecamatan Karangasem, antara lain, Lontar ‘Kalima Usada Mahaputus’, ‘Kalima Osada Kalima Osadi’, ‘Ratuning Usada’, ‘Usada Wong Agering’, ‘Usada Tatenger Beling’, dan Usada Netra’.
Di usianya yang kini menginjak 82 tahun, Dewa Gede Catra masih tetap aktif menulis lontar aksara Bali. Dari empat anaknya, hanya si bungsu Ida Ayu Puspita Padmi yang mewarisi hobi Dewa catra menulis lontar. Saat ini, Ida Ayu Puspita Padmi menjadi guru di SMPN 5 Amlapura. “Sedangkan tiga anak saya yang lain, kurang tertarik menulis lontar,” katanya. *k16
Komentar