14 Anak Pengidap HIV/AIDS Drop Out
Sebanyak 14 anak dengan HIV/AIDS (ADHA) di Solo terpaksa keluar dari sekolahnya karena ditolak para orang tua murid.
SOLO, NusaBali
Pemkot Surakarta memindahkan anak-anak tersebut ke sekolah lainnya. Ke-14 anak tersebut sebelumnya bersekolah di SD Purwotomo. Kepala Dinas Pendidikan Surakarta, Etty Retnowati, memastikan ada sembilan sekolah yang siap menampung ADHA. Anak-anak yang duduk di kelas 1 sampai 4 itu dapat segera mengenyam pendidikan kembali.
"Kemarin kami kumpulkan SD-SD. Ada sembilan SD yang siap menampung. Tapi nama SD-nya tidak kami sebutkan, kasihan anak-anak," kata Etty ditemui di kantornya, Jumat (15/2).
Ketua Yayasan Lentera yang mendampingi ADHA, Yunus Prasetyo, mengaku belum mendapatkan kabar tersebut. Namun jika rencana tersebut benar, Yunus keberatan.
"Kalau dipindahkan ke sembilan sekolah akan menjadi masalah baru lagi. Soalnya tenaga kami sangat terbatas, susah kalau harus mengantar sekolah ke sembilan tempat berbeda. Kami akan negosiasi lagi dengan pemkot," kata Yunus seperti dilansir detik.
Dia mengatakan saat ini ada sembilan pendamping yang bertugas di selter ADHA. Menurutnya, masing-masing pendamping sudah memiliki tugas masing-masing.
"Mereka kan sudah punya tugas sendiri-sendiri. Tidak bisa kalau ikut mengantar tiap pagi. Lagipula sekarang ada 32 ADHA yang harus kita urus," ujarnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan terulangnya penolakan terhadap siswa yang mengidap HIV/AIDS. KPAI mencatat pada tahun 2011 peristiwa serupa terjadi di salah satu SMA di Jakarta. Lalu, pada 2012 di sekolah TK di Gunungkidul Yogyakarta.
"Nah pada tahun lalu di 2018 kita juga melakukan penanganan pada kasus serupa yaitu ada 6 siswa anak yang sudah yatim piatu ayah ibunya sudah meninggal karena HIV, kemudian anak ini dirawat secara bersama-sama oleh pihak gereja, ini pun mendapat penolakan, ini letaknya di Samosir. Nah terakhir 14 siswa ini juga adalah kasus berikutnya," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/2).
Retno mengatakan ke-14 siswa yang ditolak itu bersekolah di sekolah negeri. Artinya, pemerintah punya kewenangan penuh untuk menempatkan anak-anak berada di sekolah itu.
"Kalaupun terjadi penolakan dari para orangtua dan mengancam menarik anak-anaknya dari sekolah itu, ya biarkan saja, toh anak-anak ini ditempatkan di sana tidak membahayakan, karena HIV adalah penyakit yang tidak menular lewat kontak fisik, seperti berpelukan, bergandengan, makan satu tempat, minum satu tempat, dan tidak akan melukai anak yang lain," ujarnya. Retno menjabarkan penularan penyakit HIV/AIDS sangat spesifik melalui cairan seperti ASI. Sementara, 14 siswa itu sudah tidak menyusu. Sehingga penularan tidak mungkin terjadi.
"Misal cairan ASI, anak-anak ini kan sudah tidak menyusu ke ibunya. Kedua cairan vagina dan sperma, anak-anak ini kan tidak melakukan hubungan seksual. Kemudian dari darah yaitu ketika transfusi darah dan terakhir jarum suntik. Keempat-empatnya, tidak mungkin dilakukan anak-anak ini. Sehingga penularan tidak mungkin terjadi," ucapnya.
Sementara itu, Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo menyayangkan penolakan tersebut. Menurutnya, masyarakat belum tersosialisasi dengan baik mengenai penyakit HIV/AIDS. "Walaupun penyakit hanya ditularkan lewat hubungan seksual dan jarum suntik, tapi yang namanya masyarakat ya pokoke mboten (pokoknya tidak mau)," ujar Rudy. *
Pemkot Surakarta memindahkan anak-anak tersebut ke sekolah lainnya. Ke-14 anak tersebut sebelumnya bersekolah di SD Purwotomo. Kepala Dinas Pendidikan Surakarta, Etty Retnowati, memastikan ada sembilan sekolah yang siap menampung ADHA. Anak-anak yang duduk di kelas 1 sampai 4 itu dapat segera mengenyam pendidikan kembali.
"Kemarin kami kumpulkan SD-SD. Ada sembilan SD yang siap menampung. Tapi nama SD-nya tidak kami sebutkan, kasihan anak-anak," kata Etty ditemui di kantornya, Jumat (15/2).
Ketua Yayasan Lentera yang mendampingi ADHA, Yunus Prasetyo, mengaku belum mendapatkan kabar tersebut. Namun jika rencana tersebut benar, Yunus keberatan.
"Kalau dipindahkan ke sembilan sekolah akan menjadi masalah baru lagi. Soalnya tenaga kami sangat terbatas, susah kalau harus mengantar sekolah ke sembilan tempat berbeda. Kami akan negosiasi lagi dengan pemkot," kata Yunus seperti dilansir detik.
Dia mengatakan saat ini ada sembilan pendamping yang bertugas di selter ADHA. Menurutnya, masing-masing pendamping sudah memiliki tugas masing-masing.
"Mereka kan sudah punya tugas sendiri-sendiri. Tidak bisa kalau ikut mengantar tiap pagi. Lagipula sekarang ada 32 ADHA yang harus kita urus," ujarnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan terulangnya penolakan terhadap siswa yang mengidap HIV/AIDS. KPAI mencatat pada tahun 2011 peristiwa serupa terjadi di salah satu SMA di Jakarta. Lalu, pada 2012 di sekolah TK di Gunungkidul Yogyakarta.
"Nah pada tahun lalu di 2018 kita juga melakukan penanganan pada kasus serupa yaitu ada 6 siswa anak yang sudah yatim piatu ayah ibunya sudah meninggal karena HIV, kemudian anak ini dirawat secara bersama-sama oleh pihak gereja, ini pun mendapat penolakan, ini letaknya di Samosir. Nah terakhir 14 siswa ini juga adalah kasus berikutnya," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/2).
Retno mengatakan ke-14 siswa yang ditolak itu bersekolah di sekolah negeri. Artinya, pemerintah punya kewenangan penuh untuk menempatkan anak-anak berada di sekolah itu.
"Kalaupun terjadi penolakan dari para orangtua dan mengancam menarik anak-anaknya dari sekolah itu, ya biarkan saja, toh anak-anak ini ditempatkan di sana tidak membahayakan, karena HIV adalah penyakit yang tidak menular lewat kontak fisik, seperti berpelukan, bergandengan, makan satu tempat, minum satu tempat, dan tidak akan melukai anak yang lain," ujarnya. Retno menjabarkan penularan penyakit HIV/AIDS sangat spesifik melalui cairan seperti ASI. Sementara, 14 siswa itu sudah tidak menyusu. Sehingga penularan tidak mungkin terjadi.
"Misal cairan ASI, anak-anak ini kan sudah tidak menyusu ke ibunya. Kedua cairan vagina dan sperma, anak-anak ini kan tidak melakukan hubungan seksual. Kemudian dari darah yaitu ketika transfusi darah dan terakhir jarum suntik. Keempat-empatnya, tidak mungkin dilakukan anak-anak ini. Sehingga penularan tidak mungkin terjadi," ucapnya.
Sementara itu, Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo menyayangkan penolakan tersebut. Menurutnya, masyarakat belum tersosialisasi dengan baik mengenai penyakit HIV/AIDS. "Walaupun penyakit hanya ditularkan lewat hubungan seksual dan jarum suntik, tapi yang namanya masyarakat ya pokoke mboten (pokoknya tidak mau)," ujar Rudy. *
1
Komentar