Ekspor Komoditas Perkebunan Bali Terancam
Akibat Alih Fungsi Lahan
DENPASAR, NusaBali
Ekspor produk perkebunan Bali terancam terkikis. Penyebabnya penurunan produktivitas menyusul banyak area perkebunan yang sudah tua dan rusak. Hal itu pula mendorong petani melakukan alih fungsi lahan perkebunan, menggantinya dengan tanaman non perkebunan.
Indikasi terancamnya sub sektor perkebunan tersebut terungkap dari penjelasan Kabid Kabid Perkebunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali Lanang Haryawan, Jumat (15/2). “Kalau bicara ekspor kita harus bicara produktivitas, kualitas kontinuitas dan harga yang kompetitif,” ujar ketika dihubungi terkait potensi dan peluang ekspor sub sektor perkebunan Bali.
Menurut Lanang Haryawan, komoditi sektor perkebunan Bali memang merupakan salah satu komoditi punya kontribusi signifikan peningkatan PDRB di sektor pertanian. Setidaknya ada tiga jenis komoditi perkebunan Bali menjadi andalan ekspor. Keempatnya kopi, kakao, dan cengkeh. Masing-masing dengan luas areal 37 ribu hektare perkebunan kopi, terdiri perkebunan kopi arabica 14.000 hektare, perkebunan kopi robusta 23.000 hektare. Kakao sekitar 15.000 -an hektare. Dan Cengkeh luas areal perkebunannya 14.000 hektare. Juga perkebunan kelapa 73.000-an hektare.
Persoalannya adalah tidak sedikit areal perkebunan tersebut yang menurun produksinya, karena umur tanaman yang sudah atau atau mengalami kerusakan. “Bagaimana bicara ekspor kalau produksi menurun,” ujar Lanang Haryawan.
Tentunya akan sulit terpenuhi, kalau kemudian ada permintaan atau peningkatan volume ekspor. Karena lanjut Lanang Haryawan, soal ekspor tentu harus memastikan kemampuan produksi untuk memenuhi pasar. “Karena itulah kami sedang sedang meremajakan dan merehabilitasi perkebunan untuk ekspor,” jelas Lanang Haryawan, pejabat asal Buleleleng ini. Diantara rehab cengkeh 500 hektare, kakao 100 hektare dan kopi 700 hektare.
Peremajaan atau perehaban dilakukan dengan memberi bantuan bibit dan bantuan lainnya kepada petani. Dikatakan, Lanang Haryawan, adalah masa yang krusial ketika perkebunan sudah menurun atau tidak produktif lain. Alasannya sederhana, rentan dialihfungsikan dengan budidaya tananaman lain non perkebunan. Jika sudah beralih fungsi, areal perkebunan menyusut dan otomatis produksi anjlok atau malah habis sama sekali. “Ini yang harus dicegah, jangan sampai dialihfungsikan,” ucap Lanang Haryawan.
Tegasnya komoditi sektor perkebunan yang berkontribusi pada ekspor harus tetap dipertahankan. Bukan saja semata-mata pada produksinya, namun kata Lanang Haryawan juga karena citra atau image produk perkebunan Bali sudah dikenal. Contohnya adalah kopi. “Ini kan juga branding Bali pendukung Bali sebagai daerah wisata,” ujarnya.
Karena itulah, upaya peremajaan perkebunan komoditi ekspor merupakan upaya jangan sampai salah satu brand Bali menguap. *k17
Indikasi terancamnya sub sektor perkebunan tersebut terungkap dari penjelasan Kabid Kabid Perkebunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali Lanang Haryawan, Jumat (15/2). “Kalau bicara ekspor kita harus bicara produktivitas, kualitas kontinuitas dan harga yang kompetitif,” ujar ketika dihubungi terkait potensi dan peluang ekspor sub sektor perkebunan Bali.
Menurut Lanang Haryawan, komoditi sektor perkebunan Bali memang merupakan salah satu komoditi punya kontribusi signifikan peningkatan PDRB di sektor pertanian. Setidaknya ada tiga jenis komoditi perkebunan Bali menjadi andalan ekspor. Keempatnya kopi, kakao, dan cengkeh. Masing-masing dengan luas areal 37 ribu hektare perkebunan kopi, terdiri perkebunan kopi arabica 14.000 hektare, perkebunan kopi robusta 23.000 hektare. Kakao sekitar 15.000 -an hektare. Dan Cengkeh luas areal perkebunannya 14.000 hektare. Juga perkebunan kelapa 73.000-an hektare.
Persoalannya adalah tidak sedikit areal perkebunan tersebut yang menurun produksinya, karena umur tanaman yang sudah atau atau mengalami kerusakan. “Bagaimana bicara ekspor kalau produksi menurun,” ujar Lanang Haryawan.
Tentunya akan sulit terpenuhi, kalau kemudian ada permintaan atau peningkatan volume ekspor. Karena lanjut Lanang Haryawan, soal ekspor tentu harus memastikan kemampuan produksi untuk memenuhi pasar. “Karena itulah kami sedang sedang meremajakan dan merehabilitasi perkebunan untuk ekspor,” jelas Lanang Haryawan, pejabat asal Buleleleng ini. Diantara rehab cengkeh 500 hektare, kakao 100 hektare dan kopi 700 hektare.
Peremajaan atau perehaban dilakukan dengan memberi bantuan bibit dan bantuan lainnya kepada petani. Dikatakan, Lanang Haryawan, adalah masa yang krusial ketika perkebunan sudah menurun atau tidak produktif lain. Alasannya sederhana, rentan dialihfungsikan dengan budidaya tananaman lain non perkebunan. Jika sudah beralih fungsi, areal perkebunan menyusut dan otomatis produksi anjlok atau malah habis sama sekali. “Ini yang harus dicegah, jangan sampai dialihfungsikan,” ucap Lanang Haryawan.
Tegasnya komoditi sektor perkebunan yang berkontribusi pada ekspor harus tetap dipertahankan. Bukan saja semata-mata pada produksinya, namun kata Lanang Haryawan juga karena citra atau image produk perkebunan Bali sudah dikenal. Contohnya adalah kopi. “Ini kan juga branding Bali pendukung Bali sebagai daerah wisata,” ujarnya.
Karena itulah, upaya peremajaan perkebunan komoditi ekspor merupakan upaya jangan sampai salah satu brand Bali menguap. *k17
Komentar