Gung Astrid Kawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Tersendatnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) mengundang keprihatinan berbagai kalangan. Anggota DPR RI, I Gusti Agung Putri Astrid mendukung sepenuhnya upaya-upaya untuk mendesak pengesahan RUU tersebut.
DENPASAR, NusaBali
Gung Tri panggilan akrab anggota Komisi VIII DPR RI ini mengatakan masalah perdagangan anak dan kasus pedofilia sudah sangat meresahkan. “Situasinya sudah sangat mendesak. Apalagi bila dikaitkan dengan masalah perdagangan perempuan dan anak serta kasus pedofilia,” ujarnya di sela-sela diskusi mengenai RUU tersebut di Sanur, Senin (18/2) yang diselenggarakan LBH APIK Bali.
Aktivis perempuan ini membantah tudingan bahwa RUU tersebut bertujuan memberi perlindungan pada pelaku perzinahan dan perilaku LGBT. “Urusannya tak sampai ke situ. Ini benar-benar hanya untuk melakukan pencegahan dan memberi perlindungan pada korban,” tegasnya.
Selama ini, kata dia, belum ada sistem yang terintegrasi ketika kekerasan terjadi pada perempuan sehingga bila terjadi kasus tidak jelas pula siapa yang bertanggungjawab melakukan penanganan dan bagaimana soal anggarannya. Bagi Bali, kata dia, RUU PKS ini diperlukan karena salah-satu ekses pariwisata biasanya adalah terjadinya perdagangan orang yang harus dicegah dan diantisipasi. “Pariwisata Bali harus kita usahakan tidak tercemari oleh kekerasan seksual. Kalau pun ada kasus harus bisa segera diselesaikan, siapapun korbannya,” tegas srikandi asal Puri Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung ini.
Sementara Sekretaris LBH APIK, Luh Anggreni menegaskan, RUU ini diperlukan untuk menunjukkan keseriusan negara dalam menangani kekerasan terhadap perempuan. “Jadi hak korban untuk mendapatkan rehabilitasi hingga ganti rugi mendapat perhatian. Sebab kekerasan itu menimbulkan trauma yang berkepanjangan,” ujar Anggreni.
Saat ini RUU tersebut telah menjadi prioritas DPR, namun menjelang pengesahan ada pihak-pihak yang menebar isu seolah-olah RUU ini adalah hasil perjuangan para feminis yang ingin melegalkan seks bebas. “Kami dari daerah-daerah ingin mendapatkan dukungan masyarakat,” tegasnya. Di akhir diskusi semua peserta yang berasal dari kalangan politisi dan aktivis membacakan dan menandatangani deklarasi untuk mendukung penghapusan kekerasan seksual. *nat
Aktivis perempuan ini membantah tudingan bahwa RUU tersebut bertujuan memberi perlindungan pada pelaku perzinahan dan perilaku LGBT. “Urusannya tak sampai ke situ. Ini benar-benar hanya untuk melakukan pencegahan dan memberi perlindungan pada korban,” tegasnya.
Selama ini, kata dia, belum ada sistem yang terintegrasi ketika kekerasan terjadi pada perempuan sehingga bila terjadi kasus tidak jelas pula siapa yang bertanggungjawab melakukan penanganan dan bagaimana soal anggarannya. Bagi Bali, kata dia, RUU PKS ini diperlukan karena salah-satu ekses pariwisata biasanya adalah terjadinya perdagangan orang yang harus dicegah dan diantisipasi. “Pariwisata Bali harus kita usahakan tidak tercemari oleh kekerasan seksual. Kalau pun ada kasus harus bisa segera diselesaikan, siapapun korbannya,” tegas srikandi asal Puri Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung ini.
Sementara Sekretaris LBH APIK, Luh Anggreni menegaskan, RUU ini diperlukan untuk menunjukkan keseriusan negara dalam menangani kekerasan terhadap perempuan. “Jadi hak korban untuk mendapatkan rehabilitasi hingga ganti rugi mendapat perhatian. Sebab kekerasan itu menimbulkan trauma yang berkepanjangan,” ujar Anggreni.
Saat ini RUU tersebut telah menjadi prioritas DPR, namun menjelang pengesahan ada pihak-pihak yang menebar isu seolah-olah RUU ini adalah hasil perjuangan para feminis yang ingin melegalkan seks bebas. “Kami dari daerah-daerah ingin mendapatkan dukungan masyarakat,” tegasnya. Di akhir diskusi semua peserta yang berasal dari kalangan politisi dan aktivis membacakan dan menandatangani deklarasi untuk mendukung penghapusan kekerasan seksual. *nat
1
Komentar