Kurikulum Bahasa Bali Perlu Dikaji
Rembuk Sastra Lontar Kreta Basa di Puri Kauhan, Ubud
GIANYAR, NusaBali
Kurikulum pengajaran bahasa dan susastra Bali di SD, SMP, SMA/SMK sangat perlu dikaji kembali. Karena kurikulum mata pelajaran ini cenderung nyelogcag alias tidak runut dan berjenjang. Akibatnya, anak didik tidak menemukan pencerapan mendasar tentang bahasa dan susastra Bali.
Hal itu terungkap dalam Rembuk Sastra Lontar Kreta Basa duwe (milik) Puri Kauhan, Desa Pakraman Ubud, Ubud, Gianyar, di puri setempat, Rabu (20/2). Rembuk digagas tokoh Puri Kauhan Ubud, AA Ari Dwipayana ini menghadirkan dua pembahas yakni ahli lontar Sugi Lanus dan Ida Bagus Ari Wijaya, moderator Ida Bagus Oka Manubhawa dari PBB (Penyuluh Bahasa Bali).
Sugi Lanus merasakan ada keterputusan penguasaan bahasa dan susastra Bali untuk anak-anak bahkan di masyarakat. Karena sekolah tidak mengajarkan ‘pintu masuk’ belajar bahasa dan susastra Bali lebih utuh. Salah satu pintu masuk itu mesti diawali dengan kreta basa yakni tata krama berbahasa dan bersusastra. ‘’Misal, anak-anak SD mesti mengerti cerita Tantri (cerita tentang binatang,Red) dulu. Selanjutnya ke level lebih tinggi, misal cerita Panji, hingga Kakawain dan seterusnya,’’ tegas peneliti lontar hingga ke Leiden, Belanda ini.
Sugi Lanus juga mempertanyakan kelanjutan dari konservasi lontar yang dilakukan Penyuluh Bahasa Bali. Menurutnya, lontar tak hanya digebeg (teknik
perawatan lontar dengan diolesi minyak sereh,Red). Usai digebeg, lontar harus dibaca. Jika tak dibaca, maka akan muncul persoalan baru, antara lain, kegiatan konservasi tak menghasilkan pengetahuna apa pun. ‘’Ini tantangan bagi penyuluh bahasa Bali. Selanjutnya kita jangan hanya bisa nulis kata airport, dan salah,’’ jelasnya.
Sugi Lanus juga menantang mahasiswa jenga doktoral dan para akademisi di Bali untuk membuat kajian tentang sastra lontar. Setidaknya, kajian itu melahirkan pembenahaan kurikulum pengajaran bahasa dan susastra Bali, sebagaimana pernah dilakukan Prof DR Tjokorda Rai Sudartha melalui disertasi penelitiannya. ‘’Prof Rai Sudartha ini intelektual yang mengembangkan sistematika pengajaran bahasa dan susastra Bali secara berjenjang untuk SD dan SMP,’’ jelasnya.
Senada Sugi Lanus, salah seorang penanggap, pencinta susastra Bali Ketut Sumarta menilai diskusi ini sebagai momentum untuk mapekeling (mengingatkan) tentang pentingnya proses dalam memahami susastra Bali. ‘’Isi lontar Kreta Basa ini sebagai sarat dasar untuk memahami susastra. Jika milsa, pengucapan sastranya salah, maka artinya pun akan salah. Makanya, ini ile-ile (bahaya,Red),’’ jelas Sekretaris MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman) Bali ini. Ia pun mengusulkan pembahasan materi lontar Kreta Basa di Puri Kuahan Ubud ini berkelanjutan. Bentuknya mesti ada kelas-kelas khusus di desa pakraman, kampus, sekaa pesantian, lembaga lainnya.
Pembahas yang penekun lontar, Ida Bagus Ari Wijaya mengungkapkan Lontar Kreta Basa milik AA Agung Lingsir di Puri Kauhan Ubud ini sudah digitalisasi. Lontar ini terdiri dari 65 cakep lontar dengan 35 lembar, disalin pada tahun isaka 1864, tahun masehi 1942, dan tahun Nipon 2602. ‘’Materi dan pemaknaan dalam lontar ini sebenarnya sudah menjadi bagian dari wacana sastra sejak abad ke-8,’’ jelasnya.
Rembuk dibuka Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr Hilmar Farid, dihadiri para tokoh adat, agama, seniman, dan budayawan, serta pencinta susastra Bali. *lsa
Hal itu terungkap dalam Rembuk Sastra Lontar Kreta Basa duwe (milik) Puri Kauhan, Desa Pakraman Ubud, Ubud, Gianyar, di puri setempat, Rabu (20/2). Rembuk digagas tokoh Puri Kauhan Ubud, AA Ari Dwipayana ini menghadirkan dua pembahas yakni ahli lontar Sugi Lanus dan Ida Bagus Ari Wijaya, moderator Ida Bagus Oka Manubhawa dari PBB (Penyuluh Bahasa Bali).
Sugi Lanus merasakan ada keterputusan penguasaan bahasa dan susastra Bali untuk anak-anak bahkan di masyarakat. Karena sekolah tidak mengajarkan ‘pintu masuk’ belajar bahasa dan susastra Bali lebih utuh. Salah satu pintu masuk itu mesti diawali dengan kreta basa yakni tata krama berbahasa dan bersusastra. ‘’Misal, anak-anak SD mesti mengerti cerita Tantri (cerita tentang binatang,Red) dulu. Selanjutnya ke level lebih tinggi, misal cerita Panji, hingga Kakawain dan seterusnya,’’ tegas peneliti lontar hingga ke Leiden, Belanda ini.
Sugi Lanus juga mempertanyakan kelanjutan dari konservasi lontar yang dilakukan Penyuluh Bahasa Bali. Menurutnya, lontar tak hanya digebeg (teknik
perawatan lontar dengan diolesi minyak sereh,Red). Usai digebeg, lontar harus dibaca. Jika tak dibaca, maka akan muncul persoalan baru, antara lain, kegiatan konservasi tak menghasilkan pengetahuna apa pun. ‘’Ini tantangan bagi penyuluh bahasa Bali. Selanjutnya kita jangan hanya bisa nulis kata airport, dan salah,’’ jelasnya.
Sugi Lanus juga menantang mahasiswa jenga doktoral dan para akademisi di Bali untuk membuat kajian tentang sastra lontar. Setidaknya, kajian itu melahirkan pembenahaan kurikulum pengajaran bahasa dan susastra Bali, sebagaimana pernah dilakukan Prof DR Tjokorda Rai Sudartha melalui disertasi penelitiannya. ‘’Prof Rai Sudartha ini intelektual yang mengembangkan sistematika pengajaran bahasa dan susastra Bali secara berjenjang untuk SD dan SMP,’’ jelasnya.
Senada Sugi Lanus, salah seorang penanggap, pencinta susastra Bali Ketut Sumarta menilai diskusi ini sebagai momentum untuk mapekeling (mengingatkan) tentang pentingnya proses dalam memahami susastra Bali. ‘’Isi lontar Kreta Basa ini sebagai sarat dasar untuk memahami susastra. Jika milsa, pengucapan sastranya salah, maka artinya pun akan salah. Makanya, ini ile-ile (bahaya,Red),’’ jelas Sekretaris MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman) Bali ini. Ia pun mengusulkan pembahasan materi lontar Kreta Basa di Puri Kuahan Ubud ini berkelanjutan. Bentuknya mesti ada kelas-kelas khusus di desa pakraman, kampus, sekaa pesantian, lembaga lainnya.
Pembahas yang penekun lontar, Ida Bagus Ari Wijaya mengungkapkan Lontar Kreta Basa milik AA Agung Lingsir di Puri Kauhan Ubud ini sudah digitalisasi. Lontar ini terdiri dari 65 cakep lontar dengan 35 lembar, disalin pada tahun isaka 1864, tahun masehi 1942, dan tahun Nipon 2602. ‘’Materi dan pemaknaan dalam lontar ini sebenarnya sudah menjadi bagian dari wacana sastra sejak abad ke-8,’’ jelasnya.
Rembuk dibuka Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr Hilmar Farid, dihadiri para tokoh adat, agama, seniman, dan budayawan, serta pencinta susastra Bali. *lsa
Komentar