Hebat di Filosofis Ketimbang Laris
Jika diracik dan dikemas secara tepat, menu serombotan masih akan bersaing. Karena trend makanan sehat masa depan tak lagi berbasis karnivoral atau berdaging.
Cita Rasa Jukut Serombotan, Kuliner Khas Klungkung
SEMARAPURA, NusaBali
Bali kaya dengan ragam kuliner yang masing-masing bercita rasa khas. Di antara itu, khusus kuliner khas Bali berbasis sayur-mayur dan kacang-kacangan, tak ada yang lebih ‘istimewa’ dibandingkan serombotan. Kuliner khas Klungkung ini bercita rasa amat otentik; kuat, lezat, terutama pedasnya nendang, dan ada gurih-gurih. Amat beda jika dibandingkan jukut (sayur) jenis lain.
Namun sial, kuliner serombotan lebih hebat dalam kancah makna filosopis ketimbang laris di pasaran kuliner modern, jenis restoran, kafe, atau rumah makan lain. Fitur pelbagai jenis meja makan di Bali pun membuktikan serombotan tak sepopuler masakan Bali jenis lain. Misal, lawar, betutu, bebek goreng, be guling, urutan, oret, ares, serapah, timbungan, dan lainnya. Pelbagai jenis kuliner ini tak hanya melegenda, namun juga makin bertebar di meja meja makan restoran lokal ternama. Jika di antara itu terselip hidangan berbahan sayur-mayur berpadu kacang-kacangan bersambal kental, namun jarang dengan taste (selera rasa) khas serombotan Klungkung.
Patut diduga, tukang masak atau koki masakan khas Bali enggan dituduh mimikri atau meniru menu, jika terang-terangan menyebut serombotan Klungkung. Padahal yang suguhannya murni olahan gaya serombotan Klungkung.
Ketua Majelis Pertimbangan Kebudayaan (Listibya) Kabupaten Klungkung I Dewa Gde Alit Saputra mengakui serombotan salah satu makanan khas yang dikenal di Bali. Namun jenis kuliner ini masih bersifat lokalan Klungkung dan jauh dari kesan makanan ‘orang mewah’. Ia menengarai sulitnya serombotan tembus ke meja kuliner nasional dan global karena beberapa sebab. Di antaranya, belum terdengar ada orang Klungkung atau pebisnis kulinernya yang berani ambil terobosan. Antara lain, buka rumah makan dengan menu utama serombotan. Sepertinya, mereka kurang yakin akan minat konsumen dengan serombotan. Kalau toh ada yang berani, mereka cenderung tak konsisten. ‘’Jangankan rumah makan di luar Klungkug, rumah makan di Klungkung saja tak ada yang punya menu khusus serombotan khas Klungkung. Ini bukti ketakyakinan itu,’’ jelas pegiat budaya di Klungkung ini.
Namun, Dewa Alit mengaku cukup memaklumi kondisi itu. Berdasarkan amatan sederhana, serombotan bukan karena makanan tak memenuhi syarat asupan gizi manusia modern. Namun, salah satunya, penyajian serombotan kurang praktis. Penyajian menunya mengamil bidang lebih luas dibandingkan menu makanan lain. Saat akan menggambil menunya juga agak lama. Karena serombotan bukan makan jenis adonan, melainkan terpisah antara jenis satu bahan dengan bahan lain. Mulai dari jenis sayur yang lebeng-lebeng (sudah matang dan setengah matang) hingga yang benar-benar mentah. Seperti rendaman kacang merah, kecai (rendaman kacang hijau,Red), dan terong kering.
Jelas Dewa Alit, terlepas dari pola sajian menunya, dalam pandangan sosial budaya, serombotan masih cenderung berlabel miring. Dalam tataran bergaulan praksis di lapangan, kata ‘serombotan’ sering dijadikan prasa untuk membully atau mengolok-olok orang-orang yang dianggap berwajah tak lazim, bahkan mungkin aneh. Jeneng caine serombotan. Begitu orang sering mengatakan. Sebaliknya, tidak ada orang yang berani menyebut matimpal pang care serombotan, yang dapat diartikan bergaul dengan segala golongan atau lapisan. ‘’Habit (kebiasaan) berujar basa (bahasa,Red) tentu berpengaruh ke soal ada dan tak ada gengsi. Keadaan ini harus dimaklumi karena ini era global bahkan milineal,’’ jelasnya.
Ia memaklumi. Multi persepsi setiap orang tentang serombotan memang beragam. Karena secara etimologi ‘serombotan’ (bahasa Bali) berarti campur campur atau maadukan. Arti harfiahnya, menu yang terdiri dari pelbagai jenis sayur. Ada yang direbus dan setengah direbus, hingga ada yang mentah-mentah. ‘’Makna ‘campur-campur’ pada serombotan sangat bebas, luas, dan multi tafsir. Tinggal masyarakat Klungkung sendiri yang mesti menariknya ke image yang lebih positif,’’ ujarnya.
Dewa Alit meyakini, jika diracik dan dikemas secara tepat, menu serombotan masih akan bersaing. Karena trend makanan sehat masa depan tak lagi berbasis karnivoral atau berdaging, tapi vegetarian atau non daging yakni sayur, kacang-kacangan, dan buah. Tak kalah penting, serombotan itu paduan rasa antara laku kultural dan natural. ‘’Dengan serombotan, ada rasa yang plural. Taste di lidah akan tercerap ke rasa bathin, nyedot. Mungkin karena pedagang serombotan, seperti orang Bali umumnya mancagera (ahli memasak), termasuk menyelaraskan segala rasa di lidah,’’ jelasnya. *wil
Komentar