'Sang Maungpati' Terinspirasi dari Sang Hyang Pasupati
Seniman Ogoh-ogoh asal Banjar Gemeh, Dauh Puri Kangin, Denpasar Barat, Putu Marmar Herayukti, 36, dalam Pangerupukan Nyepi Tahun Saka 1941 menampilkan karya Ogoh-ogoh terbarunya bertajuk ‘Sang Maungpati’.
DENPASAR, NusaBali
Marmar mengungkap pemilihan nama dan wujud Sang Maungpati didapatnya dari cara pandangnya terhadap Sang Hyang Pasupati serta adaptasi dari kisah Bubuksah dan Gagang Aking. “Maungpati gambaran tentang Sang Hyang Pasupati (Bhatara Guru). Bhatara Guru dalam beberapa cerita digambarkan turun sebagai macan berwarna putih dalam kisah Bubuksah dan Gagang Aking,” ungkap Marmar kepada NusaBali, baru-baru ini.
Belum ada sastra yang menyinggung tentang Sang Maungpati karena itu merupakan pandangan Marmar dari hasil membaca beberapa sastra, cerita sejarah, hingga bertanya pada tokoh spiritual. “Lebih menekankan pada makna Pasupati bagi orang Bali yang identik dengan upacara memberikan ‘nyawa’ pada sesuatu. Menurut pandangan saya, itu bisa kita pikirkan pada badan kita karena kita ini juga dipasupati dari Panca Maha Bhuta yang tidak hidup itu bisa menjadi hidup karena adanya Sang Hyang Pasupati di dalamnya,” sambungnya.
Lebih lanjut, Ogoh-ogoh dengan tinggi 6,5 meter dan lebar 4,5 meter itu dikemas dengan beberapa tambahan lainnya, seperti penambahan 2 ekor macan di masing-masing sisi samping, serta sebuah keris besar yang akan ditempatkan di antara macan-macan tersebut. Wujud Sang Maungpati juga dilengkapi dengan 3 pasang tangan. Separang tangan mengarah ke atas sebagai simbol memutar semesta (Bhuana Agung), sepasang tangan tengah masing-masing menggenggam anak panah dan lontar simbol ketajaman pikiran dan penyimpanan data, sedangkan sepasang tangan di depan memegang semesta dalam bentuk kecil (Bhuana Alit).
“Keris, benda yang sakral dan tidak hanya berfungsi sebagai senjata, melainkan penyimpan data dalam bentuk energi. Beberapa orang memesan keris agar terlihat berwibawa atau ditakuti orang. Energi dalam keris juga ada dalam diri manusia. Jadi, manusia tidak sekedar hidup dan berkembang biak, melainkan juga menyimpan data,” ujar ayah satu anak itu.
Meski sempat mengalami kendala berupa manajemen waktu, namun dalam pertunjukan kali ini, Marmar dan Banjar Gemeh mengaku telah menyiapkan sesuatu yang berbeda. Sebuah kolaborasi dengan kelompok alat musik tradisional yang akan mengiringi gagahnya Sang Maungpati. Hal ini dianggap sebagai sebuah ide baru bagi para pemuda agar lebih kreatif, bahwa mengiringi Ogoh-ogoh tidak hanya dalam bentuk gamelan apalagi sound system. *cr41
Marmar mengungkap pemilihan nama dan wujud Sang Maungpati didapatnya dari cara pandangnya terhadap Sang Hyang Pasupati serta adaptasi dari kisah Bubuksah dan Gagang Aking. “Maungpati gambaran tentang Sang Hyang Pasupati (Bhatara Guru). Bhatara Guru dalam beberapa cerita digambarkan turun sebagai macan berwarna putih dalam kisah Bubuksah dan Gagang Aking,” ungkap Marmar kepada NusaBali, baru-baru ini.
Belum ada sastra yang menyinggung tentang Sang Maungpati karena itu merupakan pandangan Marmar dari hasil membaca beberapa sastra, cerita sejarah, hingga bertanya pada tokoh spiritual. “Lebih menekankan pada makna Pasupati bagi orang Bali yang identik dengan upacara memberikan ‘nyawa’ pada sesuatu. Menurut pandangan saya, itu bisa kita pikirkan pada badan kita karena kita ini juga dipasupati dari Panca Maha Bhuta yang tidak hidup itu bisa menjadi hidup karena adanya Sang Hyang Pasupati di dalamnya,” sambungnya.
Lebih lanjut, Ogoh-ogoh dengan tinggi 6,5 meter dan lebar 4,5 meter itu dikemas dengan beberapa tambahan lainnya, seperti penambahan 2 ekor macan di masing-masing sisi samping, serta sebuah keris besar yang akan ditempatkan di antara macan-macan tersebut. Wujud Sang Maungpati juga dilengkapi dengan 3 pasang tangan. Separang tangan mengarah ke atas sebagai simbol memutar semesta (Bhuana Agung), sepasang tangan tengah masing-masing menggenggam anak panah dan lontar simbol ketajaman pikiran dan penyimpanan data, sedangkan sepasang tangan di depan memegang semesta dalam bentuk kecil (Bhuana Alit).
“Keris, benda yang sakral dan tidak hanya berfungsi sebagai senjata, melainkan penyimpan data dalam bentuk energi. Beberapa orang memesan keris agar terlihat berwibawa atau ditakuti orang. Energi dalam keris juga ada dalam diri manusia. Jadi, manusia tidak sekedar hidup dan berkembang biak, melainkan juga menyimpan data,” ujar ayah satu anak itu.
Meski sempat mengalami kendala berupa manajemen waktu, namun dalam pertunjukan kali ini, Marmar dan Banjar Gemeh mengaku telah menyiapkan sesuatu yang berbeda. Sebuah kolaborasi dengan kelompok alat musik tradisional yang akan mengiringi gagahnya Sang Maungpati. Hal ini dianggap sebagai sebuah ide baru bagi para pemuda agar lebih kreatif, bahwa mengiringi Ogoh-ogoh tidak hanya dalam bentuk gamelan apalagi sound system. *cr41
Komentar