RUU Budaya Perlu Spirit
Pemerhati sosial budaya dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Musni Umar berharap RUU tentang Kebudayaan yang sedang dibahas oleh Panja Komisi X DPR RI memiliki spirit untuk kemandirian bangsa.
JAKARTA, NusaBali
Yaitu, bagaimana bangsa dan negara ini memiliki harga diri, kedaulatan, keunggulan dan semangat untuk mengalahkan bangsa lain dari bebagai aspek kehidupan. Baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, industri dan sebagainya.
“Saya merasa RUU Kebudayaan ini, masih belum ada spirit bagaimana bangsa ini bisa lebih maju, kuat, mandiri, bangkit dan mampu menghadapi tantangan global. Kalau dulu spirit bangsa ini gotong-royong melawan penjajah sampai merdeka. Tapi kini harus dengan spirit, mampu mengalahkan bangsa lain dari berbagai aspek kehidupan,” kata Musni di Kompleks Parlemen, Selasa (17/5).
Musni menegaskan, untuk melakukan itu pemerintah tidak bisa jalan sendiri. Melainkan harus bekerjasama dengan masyarakat. Dulu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mottonya ‘Indonesia Bisa’ dan Jokowi-JK ‘Indonesia Hebat’. Mestinya motto terimplementasi dalam kebijakan pemerintah di mana ekonomi dan industri Indonesia setidaknya bisa bersaing dan bahkan mampu mengalahkan negara lain.
“Mobil misalnya, orientasinya harus mampu memproduksi sendiri, tidak saja tergantung pada asing khususnya Jepang,” ujarnya. Seharusnya, menurut Musni, keunggulan BJ Habibie yang mampu membuat pesawat IPTN dulu terus diperjuangkan sampai menjadi industri pesawat terbang sendiri.
“Anggaran negara (APBN) pun harus diarahkan untuk kebudayaan. Saat ini kita sedang menikmati konsumtif produk-produk budaya asing. Ini yang harus diubah. Kalau tidak, maka Indonesia akan tetap jalan di tempat dan menjadi korban budaya global,” pungkasnya.
Sementara Kapuslitbang Film Kemdikbud RI Maman Wijaya menyatakan, budaya itu bisa dilakukan melalui pendidikan, tapi prosesnya lambat sehingga yang cepat adalah melalui kekuasaan. “Yaitu UU ini. Oleh karena itu, RUU ini sebaiknya secepatnya disahkan,” kata Maman.
Bagi Maman, ada dua aliran kebudayaan yaitu pesimistis dan optimistis. Yang optimis, justru membiarkan budaya itu berproses secara alami dan terus terjadi regenerasi sejak dari nenek moyang sampai generasi yang akan datang. Sedangkan yang pesimistis, tak akan mampu mempertahankan budaya yang ada meski dikawal oleh negara. K22
Komentar