1.000 Krama Jimbaran Lakoni Ritual Siat Yeh
Krama Banjar Teba, Desa Pakraman Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung kembali mengelar tradisi ritual Siat Yeh saat Ngembak Gni Nyepi Tahun Baru Saka 1941, Jumat (8/3).
MANGUPURA, NusaBali
Ritual yang bermakna menyatukan dua sumber air untuk kehidupan serta meningkatkan keakraban dan solidaritas ini melibatkan 1.000 krama lanang (laki)-krama istri (perempuan), mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa.
Sesuai namanya, ritual Siat Yeh adalah berperang mengguanakan air. Siat atau perang itu mencerminkan bahwa sesungguhnya setiap hari manusia berperang dengan diri sendiri, antara keinginan yang baik vs tidak baik. Sedangkan Yeh atau air merupakan salah satu sumber kehidupan manusia, yang harus dijaga dan dihormati karena memberi kemakmuran.
Sebelum ritual Siat Yeh dimulai, seluruh krama sudah berkumpul di depan Bale Banjar Teba, Desa Pakraman Jimbaran, Jumat pagi pukul 08.00 Wita. Mereka membentuk barisan ke dua arah berbeda, yakni barat dan timur. Tiap barisan terdiri dari 500 krama lanang-istri, mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa, yang mengenakan busana khas.
Setelah segalanya siap, barisan kelompok yang menghadap ke timur kemudian bergerak mengambil air di sumber air tawar di rawa-rawa yang terletak 500 meter dari Bale Banjar Teba. Mereka semuanya mengenakan ikat kepala berupa kain kasa warna putih. Sedangkan kelompok barisan yang menghadap ke barat, bergerak mengambil air laut ke Pantai Segara yang juga berjarak 500 meter dari Bale Banjar Teba. Mereka semua mengenakan ikat kepala berwarna kuning. Jadi, di kedua kelompok berbeda mengambil sumber air di sisi barat dan sisi timur wilayah Banjar Teba.
Namun, kedua kelompok barisan membawa kendi dengan jumlah yang berbeda. Untuk kelompok timur (sumber air tawar), membawa 5 kendi untuk dipakai membawa air tawar. Sebaliknya, untuk kelompok barat membawa 7 kendi untuk diisi air laut.
Setelah melalui berbagai upacara di lokasi pengambilan air, kedua kelompok tersebut kembali ke Bale Banjar Teba guna menyatuhkan air dari sumber berbeda tersebut. Setibanya di bale banjar sekitar pukul 09.45 Wita, ada dua kendi dari masing-masing kelompok yang berisi air laut dan air tawar, dipecahkan. Selain itu, ada juga kendi berisi air sumber berbeda yang disimpan di Pura Sedan Penyarikan dekat balke banjar, untuk dijadikan sarana panglukatan agung.
Sedangkan air dari kendi-kendi lainnya dituangkan ke tempat penampungan masing-masing 5 drum di dua kelompok berbeda itu. Air campuran di dalam drum itulah yang kemudian digunakan kedua kelompok untuk berperang dalam ritual Siat Yeh. Kedua kelompok saling menyiram air satu sama lain menggunakan gayung dari batok kelapa, yang disebut sibuh pepek.
Mereka berperang dalam suasana kehgembiraan. Saat ritual Siat Air, ada yang terlibat perang-perangan sambil digendong temannya. Ritual Siat Yeh ini berlangsung hingga siang pukul 13.00 Wita.
Tradisi ritual Siat Yeh ini merupakan simbol penyatuan sumber mata air untuk kemakmuran. Selain itu, jika sebagai sarana meningkatkan persatuan, keakraban, dan solidaritas antar krama. “Harapan utama dari kegiatan ini tentu persatuan. Melalui kegiatan seperti ini, muncul rasa solidaritas, keakraban, dan kekompakan krama Banjar Teba sendiri,” jelas Ketua Panitia Ritual Siat Yeh, Anak Agung Bagus Cahya Dwijanata.
Menurut Cahya Dwijanata, 1.000 orang yang ikut ritual Siat Yeh kemarin, masing-masing terdiri dari 500 anggota Sekaa Teruna Bhakti Asih Banjar Teba, 250 orang anggota PKK Banjar Teba, dan 250 krama lainnya termasuk kalangan anak-anak dan remaja.
Dalam ritual Siat Yeh kemarin, ada juga kegiatan duduk dan makan bersama untuk pasangan suami-istri, sebagai bentuk cinta kasih. Kegiatan makan bersama ini dianggap penting, karena kesibukan masing-masing pasangan dalam kesehariannya membuat mereka jarang bertemu.
Sementara itu, Kepala Lingkungan (Kaling) Banjar Teba, I Wayan Arnawa, tradisi ritual Siat Yeh dilaksanakan secara turun temurun setahun sekali pada Ngembak Gni (sehari setelah) Nyepi. Namun, tradisi ritual ini sempat menghilang selama 35 tahun sejak 1983, sebelum kemudian dilaksanakan kembali oleh krama Banjar Teba pada 2018 lalu. Menurut Wayan Arnawa, ketika terakhir kali digelar tahun 1983 silam, Siat Yeh masih berupa aksi bermain lumpur yang dilakukan muda-mudi di mata air rawa-rawa (sebelah timur) dan bermain pasir di Pantai Segara (sebelah ba-rat).
Kenapa tradisi Siat Yeh sempat ditinggalkan? Wayan Arnawa mengatakan, tradisi tersebut ditinggalkan muda-mudi Banjar Teba, karena lokasi pertemuan antara air tawar dan air laut yang biasa disebut Lobok sudah berubah menjadi bangunan hotel penunjang pariwisata.
Nah, di tengah kegelisahan karena kehilangan tradisi yang sudah diwarisi secara turun temurun, muda-mudi yang tergabung dalam ST Bhakti Asih Banjar Teba kemudian membangkitkannya lagi rituaol Siat Yeh tahun 2018 lalu. “Muda-mudi kita di Banjar Teba pernah mengungkapkan kegelisahan tentang sesuatu yang akan diwariskan kepada anak cucu mereka ke depan. Akhirnya, dihidupkan kembali-lah tradisi Siat Yeh itu. Kegiatan ini memang terbukti membakar semangat muda-mudi dalam semangat kebersamaan. Bukan hanya muda-mudi saja, tapi seluruh krama di Banjar Teba ikut antusias,” ujar Wayan Arnawa. *dar
Sesuai namanya, ritual Siat Yeh adalah berperang mengguanakan air. Siat atau perang itu mencerminkan bahwa sesungguhnya setiap hari manusia berperang dengan diri sendiri, antara keinginan yang baik vs tidak baik. Sedangkan Yeh atau air merupakan salah satu sumber kehidupan manusia, yang harus dijaga dan dihormati karena memberi kemakmuran.
Sebelum ritual Siat Yeh dimulai, seluruh krama sudah berkumpul di depan Bale Banjar Teba, Desa Pakraman Jimbaran, Jumat pagi pukul 08.00 Wita. Mereka membentuk barisan ke dua arah berbeda, yakni barat dan timur. Tiap barisan terdiri dari 500 krama lanang-istri, mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa, yang mengenakan busana khas.
Setelah segalanya siap, barisan kelompok yang menghadap ke timur kemudian bergerak mengambil air di sumber air tawar di rawa-rawa yang terletak 500 meter dari Bale Banjar Teba. Mereka semuanya mengenakan ikat kepala berupa kain kasa warna putih. Sedangkan kelompok barisan yang menghadap ke barat, bergerak mengambil air laut ke Pantai Segara yang juga berjarak 500 meter dari Bale Banjar Teba. Mereka semua mengenakan ikat kepala berwarna kuning. Jadi, di kedua kelompok berbeda mengambil sumber air di sisi barat dan sisi timur wilayah Banjar Teba.
Namun, kedua kelompok barisan membawa kendi dengan jumlah yang berbeda. Untuk kelompok timur (sumber air tawar), membawa 5 kendi untuk dipakai membawa air tawar. Sebaliknya, untuk kelompok barat membawa 7 kendi untuk diisi air laut.
Setelah melalui berbagai upacara di lokasi pengambilan air, kedua kelompok tersebut kembali ke Bale Banjar Teba guna menyatuhkan air dari sumber berbeda tersebut. Setibanya di bale banjar sekitar pukul 09.45 Wita, ada dua kendi dari masing-masing kelompok yang berisi air laut dan air tawar, dipecahkan. Selain itu, ada juga kendi berisi air sumber berbeda yang disimpan di Pura Sedan Penyarikan dekat balke banjar, untuk dijadikan sarana panglukatan agung.
Sedangkan air dari kendi-kendi lainnya dituangkan ke tempat penampungan masing-masing 5 drum di dua kelompok berbeda itu. Air campuran di dalam drum itulah yang kemudian digunakan kedua kelompok untuk berperang dalam ritual Siat Yeh. Kedua kelompok saling menyiram air satu sama lain menggunakan gayung dari batok kelapa, yang disebut sibuh pepek.
Mereka berperang dalam suasana kehgembiraan. Saat ritual Siat Air, ada yang terlibat perang-perangan sambil digendong temannya. Ritual Siat Yeh ini berlangsung hingga siang pukul 13.00 Wita.
Tradisi ritual Siat Yeh ini merupakan simbol penyatuan sumber mata air untuk kemakmuran. Selain itu, jika sebagai sarana meningkatkan persatuan, keakraban, dan solidaritas antar krama. “Harapan utama dari kegiatan ini tentu persatuan. Melalui kegiatan seperti ini, muncul rasa solidaritas, keakraban, dan kekompakan krama Banjar Teba sendiri,” jelas Ketua Panitia Ritual Siat Yeh, Anak Agung Bagus Cahya Dwijanata.
Menurut Cahya Dwijanata, 1.000 orang yang ikut ritual Siat Yeh kemarin, masing-masing terdiri dari 500 anggota Sekaa Teruna Bhakti Asih Banjar Teba, 250 orang anggota PKK Banjar Teba, dan 250 krama lainnya termasuk kalangan anak-anak dan remaja.
Dalam ritual Siat Yeh kemarin, ada juga kegiatan duduk dan makan bersama untuk pasangan suami-istri, sebagai bentuk cinta kasih. Kegiatan makan bersama ini dianggap penting, karena kesibukan masing-masing pasangan dalam kesehariannya membuat mereka jarang bertemu.
Sementara itu, Kepala Lingkungan (Kaling) Banjar Teba, I Wayan Arnawa, tradisi ritual Siat Yeh dilaksanakan secara turun temurun setahun sekali pada Ngembak Gni (sehari setelah) Nyepi. Namun, tradisi ritual ini sempat menghilang selama 35 tahun sejak 1983, sebelum kemudian dilaksanakan kembali oleh krama Banjar Teba pada 2018 lalu. Menurut Wayan Arnawa, ketika terakhir kali digelar tahun 1983 silam, Siat Yeh masih berupa aksi bermain lumpur yang dilakukan muda-mudi di mata air rawa-rawa (sebelah timur) dan bermain pasir di Pantai Segara (sebelah ba-rat).
Kenapa tradisi Siat Yeh sempat ditinggalkan? Wayan Arnawa mengatakan, tradisi tersebut ditinggalkan muda-mudi Banjar Teba, karena lokasi pertemuan antara air tawar dan air laut yang biasa disebut Lobok sudah berubah menjadi bangunan hotel penunjang pariwisata.
Nah, di tengah kegelisahan karena kehilangan tradisi yang sudah diwarisi secara turun temurun, muda-mudi yang tergabung dalam ST Bhakti Asih Banjar Teba kemudian membangkitkannya lagi rituaol Siat Yeh tahun 2018 lalu. “Muda-mudi kita di Banjar Teba pernah mengungkapkan kegelisahan tentang sesuatu yang akan diwariskan kepada anak cucu mereka ke depan. Akhirnya, dihidupkan kembali-lah tradisi Siat Yeh itu. Kegiatan ini memang terbukti membakar semangat muda-mudi dalam semangat kebersamaan. Bukan hanya muda-mudi saja, tapi seluruh krama di Banjar Teba ikut antusias,” ujar Wayan Arnawa. *dar
Komentar