Sebagai Ajang Silaturahmi dan Saling Memaafkan
Tradisi Mbed-mbedan saat Ngembak Gni di Desa Adat Semate
MANGUPURA, NusaBali
Krama Desa Adat Semate, Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung kembali melaksanakan tradisi Mbed-mbedan pada Ngembak Gni, di jaba Pura Puseh lan Pura Desa setempat Jumat (8/3). Tradisi yang telah ada turun temurun ini mirip dengan tarik tambang.
Aturan main dari tradisi Mbed-mbedan tak ubahnya permainan tarik tambang. Satu kelompok berada di satu sisi dan kelompok satunya di sisi berlawanan. Kemudian satu sama lain saling tarik menarik tali yang sudah dipersiapkan. Tali yang dipergunakan salah satunya menggunakan tumbuhan menjalar. Krama setempat menyebut ‘bun kalot’. ‘Bun kalot’ ini dipergunakan sebagai simbolis saja, sedangkan selanjutnya menggunakan tali tambang biasa.
Peserta Mbed-mbedan pun bergilir, mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu, hingga kalangan remaja di Desa Adat Semata. Usai melaksanakan tradisi turun temurun tersebut, warga kembali masuk ke dalam pura. Dilanjutkan dengan makan tipat bantal bersama yang telah dihaturkan sebelumnya.
Bendesa Adat Semate I Gede Suryadi, mengatakan tradisi Mbed-mbedan yang merupakan tradisi turun temurun ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan rasa persaudaraan antar krama di Desa Adat Semata khususnya. “Ajang untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan antar krama,” katanya.
Gede Suryadi lebih lanjut mengatakan, tradisi ini adalah momen untuk mengingat kedatangan Rsi Mpu Bantas yang dahulu kala melakukan perjalanan ke kawasan tersebut. Awalnya, sebelum ada Desa Adat Semate, wilayah setempat merupakan hutan angker. Berkat Rsi Mpu Bantas, orang-orang di sana diminta membangun tempat pemujaan Ida Bhatara. Setelah selesai dibangun, terjadi perdebatan tentang nama pura. Oleh Rsi Mpu Bantas kemudian disarankan diberi nama Putih Semate. Putih berasal dari kata Kayu Putih, sedangkan Semate karena orang-orang tersebut bersatu, tidak mau tunduk pada orang lain dan berketetapan hati untuk tinggal di wilayah tersebut, sehidup-semati. “Semenjak saat itu diadakan tradisi Mbed-mbedan sebagai simbol tarik ulurnya penamaan pura ini,” ungkapnya.
Selain untuk mempererat tali silaturahmi warga, menggelar tradisi ini berarti sekaligus mohon keselamatan dan anugrah Hyang Bhatara. “Supaya tetap rukun di dalam keluarga maupun masyarakat,” tandas Gede Suryadi.
Sementara itu, Bendesa Adat Abianbase I Made Sunarta yang turut hadir dalam tradisi tersebut menyampaikan apresiasi, masyarakat bisa melestarikan tradisi leluhur. Menurutnya, tradisi ini penting dilestarikan guna meneladani persatuan para pendahulu. “Termasuk dalam pengambilan keputusan, terkadang terjadi tarik ulur seperti tarik-menarik dalam Mbed-mbedan ini. Namun, selalu diselesaikan dengan hati nurani yang baik,” ujarnya.
Sunarta yang juga Wakil Ketua DPRD Badung ini menyatakan komitmennya melestarikan tradisi warisan nenek moyang tersebut. “Kami di anggota dewan, tetap mendukung pelestarian tradisi ini dan tradisi lainnya yang dapat memotivasi masyarakat untuk saling asah, asih, dan asuh. Apa lagi di Kelurahan Abianbase ini termasuk heterogen, Muslimnya ada, Kristennya ada, Hindunya banyak,” katanya. *asa
Krama Desa Adat Semate, Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung kembali melaksanakan tradisi Mbed-mbedan pada Ngembak Gni, di jaba Pura Puseh lan Pura Desa setempat Jumat (8/3). Tradisi yang telah ada turun temurun ini mirip dengan tarik tambang.
Aturan main dari tradisi Mbed-mbedan tak ubahnya permainan tarik tambang. Satu kelompok berada di satu sisi dan kelompok satunya di sisi berlawanan. Kemudian satu sama lain saling tarik menarik tali yang sudah dipersiapkan. Tali yang dipergunakan salah satunya menggunakan tumbuhan menjalar. Krama setempat menyebut ‘bun kalot’. ‘Bun kalot’ ini dipergunakan sebagai simbolis saja, sedangkan selanjutnya menggunakan tali tambang biasa.
Peserta Mbed-mbedan pun bergilir, mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu, hingga kalangan remaja di Desa Adat Semata. Usai melaksanakan tradisi turun temurun tersebut, warga kembali masuk ke dalam pura. Dilanjutkan dengan makan tipat bantal bersama yang telah dihaturkan sebelumnya.
Bendesa Adat Semate I Gede Suryadi, mengatakan tradisi Mbed-mbedan yang merupakan tradisi turun temurun ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan rasa persaudaraan antar krama di Desa Adat Semata khususnya. “Ajang untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan antar krama,” katanya.
Gede Suryadi lebih lanjut mengatakan, tradisi ini adalah momen untuk mengingat kedatangan Rsi Mpu Bantas yang dahulu kala melakukan perjalanan ke kawasan tersebut. Awalnya, sebelum ada Desa Adat Semate, wilayah setempat merupakan hutan angker. Berkat Rsi Mpu Bantas, orang-orang di sana diminta membangun tempat pemujaan Ida Bhatara. Setelah selesai dibangun, terjadi perdebatan tentang nama pura. Oleh Rsi Mpu Bantas kemudian disarankan diberi nama Putih Semate. Putih berasal dari kata Kayu Putih, sedangkan Semate karena orang-orang tersebut bersatu, tidak mau tunduk pada orang lain dan berketetapan hati untuk tinggal di wilayah tersebut, sehidup-semati. “Semenjak saat itu diadakan tradisi Mbed-mbedan sebagai simbol tarik ulurnya penamaan pura ini,” ungkapnya.
Selain untuk mempererat tali silaturahmi warga, menggelar tradisi ini berarti sekaligus mohon keselamatan dan anugrah Hyang Bhatara. “Supaya tetap rukun di dalam keluarga maupun masyarakat,” tandas Gede Suryadi.
Sementara itu, Bendesa Adat Abianbase I Made Sunarta yang turut hadir dalam tradisi tersebut menyampaikan apresiasi, masyarakat bisa melestarikan tradisi leluhur. Menurutnya, tradisi ini penting dilestarikan guna meneladani persatuan para pendahulu. “Termasuk dalam pengambilan keputusan, terkadang terjadi tarik ulur seperti tarik-menarik dalam Mbed-mbedan ini. Namun, selalu diselesaikan dengan hati nurani yang baik,” ujarnya.
Sunarta yang juga Wakil Ketua DPRD Badung ini menyatakan komitmennya melestarikan tradisi warisan nenek moyang tersebut. “Kami di anggota dewan, tetap mendukung pelestarian tradisi ini dan tradisi lainnya yang dapat memotivasi masyarakat untuk saling asah, asih, dan asuh. Apa lagi di Kelurahan Abianbase ini termasuk heterogen, Muslimnya ada, Kristennya ada, Hindunya banyak,” katanya. *asa
1
Komentar