Pola Pemilihan Bendesa Masuk Ranperda
Versi Jro Suwena, Pesamuan MUDP telah hasilkan keputusan pemilihan bendesa adat dikembalikan kepada dresta masing-masing
Hindari Konflik di Desa Adat, Pemilihan Lewat Musyawarah
DENPASAR, NusaBali
Pansus Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Desa Adat DPRD Bali tawarkan pemilihan bendesa adat dilakukan dengan musyawarah. Hal ini untuk menghindari konflik yang sering terjadi di desa pakraman, lantaran proses pemilihan bendesa adat dengan pola demokrasi modern.
Ketua Pansus Ranperda Desa Adat DPRD Bali, Nyoman Parta, mengatakan aturan pemilihan bendesa adat dengan cara musyawarah ini ditawarkan untuk masuk dalam draft Ranperda Desa Adat yang kini sedang dimatangkan.
“Desa adat prinsipnya seguluk segilik, semangatnya salunglung subayantaka, dengan sumber pengambilan keputusan adalah awig-awig dan perarem. Seharusnya, bendesa adat dipilih dengan pola musyawarah, bukannya dilakukan dengan demokrasi barat atau voting,” tandas Nyoman Parta seusai memimpin rapat Pansus Ranperda Desa Adat DPRD Bali di Gedung Dewan, Niti Mandala Denpasar, Sabtu (9/3) siang.
Menurut Parta, dalam proses penyusunan Ranperda Desa Adat ini, Pansus menerima 6 pengaduan dari masyarakat. Dari 6 pengaduan tersebut, semuanya mengeluhkan masalah konflik desa adat, akibat adanya proses pemilihan bendesa dengan demokrasi barat.
“Kami menerima pengaduan yang isinya persoalan-persoalan konflik pemilihan bendesa. Kalau pemilihan kepala desa, ada Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, ada Perda-nya. Tapi, pemilihan bendesa adat tidak ada aturannya,” jelas Parta.
“Nah, ketika terjadi konflik, tidak ada yang menyelesaikan, karena aturan mainnya tak ada. Makanya, kami tawarkan bendesa adat agar dipilih dengan musyawarah dan mufakat. Ini untuk hindari konflik, supaya desa adat kita rukun,” lanjut politisi PDIP asal Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini.
Selain masalah pemilihan bendesa adat, Ranperda Desa Adat juga secara khusus mewadahi pengurusan desa adat dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Menurut Parta, dalam draft Ranperda Desa Adat ini dituangkan bahwa desa adat tidak lagi diurus oleh Dinas Kebudayaan. Nantinya, desa adat akan diurus oleh lembaga khusus. “Ada OPD khusus yang mengurus desa adat, supaya desa adat lebih terurus. OPD tersebut fokus hanya urusan desa adat. Selama ini Dinas Kebudayaan mengurus masalah kebudayaan desa adat seluruh Bali. Mereka kurang fokus ke desa adat,” tegas Parta yang juga Ketua Komisi IV DPRD Bali.
Dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Minggu (10/3), Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, Jro Gede Wayan Suwena Putus Upadesa, mengatakan masing-maisng desa adat punya drsta. Organisasi atau pengurus (prajuru) desa adat yang ada di Bali pun berbeda-beda sebutannya.
Karena itu, Bendesa Agung Provinsi Bali ini mengatakan terkait masalah pemilihan bendesa adat yang dimasukan dalam pasal Ranperda Desa Adat, hendaknya tidak disamaratakan seperti demokrasi modern. “Saya melihat, biarkan sesuai dengan desa adat yang bersangkutan. Menyesuaikan dengan dresta yang berlaku di desa adat tersebut,” ujar Jro Suwena.
Jro Suwena mengungkapkan, Pesamuan dan Paruman Agung MUDP Provinsi Bali telah menghasilkan keputusan pemilihan bendesa adat dikembalikan kepada dresta masing-masing. Sebab, desa adat itu beragam, ada desa kuno, ada desa pertengahan, ada desa baru.
“Di Desa Bali Aga, misalnya, bendesa adat berdasarkan keturunan. Kalau dilakukan pemilihan bendesa adat dengan demokrasi modern, kurang tepat, karena desa adat itu adalah budaya dan spiritual,” ujar tokoh adat asal Desa Muncan, Kecamatan Selat, Karangasem ini.
Jro Suwena menegaskan, desa adat di Bali juga punya aturan berbeda-beda dalam kegiatan adat dan spiritualnya. Tidak semua bisa disamakan dalam aturan umum. Kegiatan Ngusaba, misalnya, ada yang pelaksanaannya tidak disertai ritual melasti. Demikian pula dalam pelaksanaan Nyepi Tahun Baru Saka, ada desa adat yang tidak melasti ke pantai.
Kemudian, penyebutan prajuru di desa adat juga berbeda-beda. ”Saya sendiri menjadi bendesa adat di Desa Adat Muncan, sama dengan kepala pemerintahan. Kemudian, tidak ada penyebutan Sekretaris Desa Adat atau penyarikan, bendahara, dan seterusnya. Yang ada adalah Jro Kubayan (sekretaris), Jro Dangka (Bendahara), Jro Nyalian, Jro Taki, dan seterusnya,” tandas Jro Suwena.
“Jadi, tatanan beda-beda, tidak boleh diseragamkan. Yang menyangkut hal-hal di desa adat, ya nggak bisa diatur secara umum. Jangan dipaksakan, biarkan sesuai dengan dresta,” lanjut pensiunan Perwira Menengah Polri yang mantan Karo Ops Polda Bali ini. *nat
Komentar