PHDI Imbau Pralina Ogoh-ogoh
Kalau konteksnya untukupacara harus dihilangkan, berbeda halnya dengan ogoh-ogoh yang digunakan sebagai kreasi.
GIANYAR, NusaBali
Sejumlah ogoh-ogoh pasca pelaksanaan pangrupukan masih tampak dipajang di depan bale banjar. Terkait kondisi ini, Ketua PHDI Kabupaten Gianyar I Nyoman Patra mengimbau agar ogoh-ogoh yang melambangkan bhuta kala tersebut segera dipralina.
Pasalnya penggunaannya sudah selesai saat Tawur Kasanga di masing-masing banjar maupun desa. “Kalau konteksnya untukupacara harus dihilangkan, berbeda halnya dengan ogoh-ogoh yang digunakan sebagai kreasi tanpa diupacarai entah dijual ataupun dipajang tidak masalah,” terangnya, Jumat (8/3).
Meski kewenangannya tidak sejauh untuk mengharuskan membakar ogoh-ogoh yang sudah tidak digunakan, namun pihaknya sebatas menghimbau. Pasalnya boleh atau tidaknya dipajang setelah pengurupukan kewenangannya lebih pada masing-masing desa pakraman. Yaitu sesuai awig-awig dan dresta yang berlaku di setiap desa maupun banjar.
“Ini sama halnya dengan penggunaan penjor, kalau penjor Galungan saat Pegatuakan krama harus mencabutnya dan dibakar sampahnya di depan rumah. Sedangkan penjor untuk kreasi, kapan saja bisa dipasang dan dibongkar. Sama seperti ogoh-ogoh ini, kalau digunakan upacara ya dipralina dan untuk kreasi terserah yang punya,” tegas Patra.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga mengaku akan mencari kajian dan dasarnya agar semua ogoh-ogoh bisa dipralina setelah digunakan. Sehingga setiap banjar dan desa setelah pengurupukan tidak ada lagi yang memajang ogoh-ogoh bekas upacara pengrupukan. Mengingat fungsinya menggambarkan bhuta yang dibangunkan saat sasih kesanga, ketika itu dibiarkan dan dipajang dirasanya secara etika keliru.
“Ini akan dibahas supaya lebih matang, dan menghindari adanya ketersinggungan di masyarakat. Karena ini masalahnya sangat kontradiktif. Bukan masalah benar dan salah, namun menyangkut Tata, Susila, dan Upakaranya seperti apa,” paparnya.
Salah seorang ketua pemuda, I Wayan Putra Arimbawa mengaku akan membakar ogoh-ogohnya setelah sehari setelah panyepian. Lantaran saat pengrupukan anggotanya pada lesu semua setelah mengarak ogoh-ogoh. “Sudah biasa seperti itu, saat pengurupukan karena capek ditaruh dulu, sehari atau dua hari setelah panyepian baru dibakar. Itupun bahan yang bisa digunakan kita taruh, yang tidak difungsikan kita bakar atau pralina” paparnya.
Disinggung jika ada yang membeli ogoh-ogohnya ia mengatakan tidak mau menjualnya. Lantaran digunakan upacara pengrupukan dan sudah dianggap dimasukki bhuta kala. Sehingga ia tidak mau mengambil resiko jika ogoh-ogoh tersebut secara niskala hidup kembali. “Pada umumnya itu harus dibakar, kalau mau ada yang beli kita buatkan lagi yang khusus kreasi tanpa diupacarai,” imbuhnya. *nvi
Pasalnya penggunaannya sudah selesai saat Tawur Kasanga di masing-masing banjar maupun desa. “Kalau konteksnya untukupacara harus dihilangkan, berbeda halnya dengan ogoh-ogoh yang digunakan sebagai kreasi tanpa diupacarai entah dijual ataupun dipajang tidak masalah,” terangnya, Jumat (8/3).
Meski kewenangannya tidak sejauh untuk mengharuskan membakar ogoh-ogoh yang sudah tidak digunakan, namun pihaknya sebatas menghimbau. Pasalnya boleh atau tidaknya dipajang setelah pengurupukan kewenangannya lebih pada masing-masing desa pakraman. Yaitu sesuai awig-awig dan dresta yang berlaku di setiap desa maupun banjar.
“Ini sama halnya dengan penggunaan penjor, kalau penjor Galungan saat Pegatuakan krama harus mencabutnya dan dibakar sampahnya di depan rumah. Sedangkan penjor untuk kreasi, kapan saja bisa dipasang dan dibongkar. Sama seperti ogoh-ogoh ini, kalau digunakan upacara ya dipralina dan untuk kreasi terserah yang punya,” tegas Patra.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga mengaku akan mencari kajian dan dasarnya agar semua ogoh-ogoh bisa dipralina setelah digunakan. Sehingga setiap banjar dan desa setelah pengurupukan tidak ada lagi yang memajang ogoh-ogoh bekas upacara pengrupukan. Mengingat fungsinya menggambarkan bhuta yang dibangunkan saat sasih kesanga, ketika itu dibiarkan dan dipajang dirasanya secara etika keliru.
“Ini akan dibahas supaya lebih matang, dan menghindari adanya ketersinggungan di masyarakat. Karena ini masalahnya sangat kontradiktif. Bukan masalah benar dan salah, namun menyangkut Tata, Susila, dan Upakaranya seperti apa,” paparnya.
Salah seorang ketua pemuda, I Wayan Putra Arimbawa mengaku akan membakar ogoh-ogohnya setelah sehari setelah panyepian. Lantaran saat pengrupukan anggotanya pada lesu semua setelah mengarak ogoh-ogoh. “Sudah biasa seperti itu, saat pengurupukan karena capek ditaruh dulu, sehari atau dua hari setelah panyepian baru dibakar. Itupun bahan yang bisa digunakan kita taruh, yang tidak difungsikan kita bakar atau pralina” paparnya.
Disinggung jika ada yang membeli ogoh-ogohnya ia mengatakan tidak mau menjualnya. Lantaran digunakan upacara pengrupukan dan sudah dianggap dimasukki bhuta kala. Sehingga ia tidak mau mengambil resiko jika ogoh-ogoh tersebut secara niskala hidup kembali. “Pada umumnya itu harus dibakar, kalau mau ada yang beli kita buatkan lagi yang khusus kreasi tanpa diupacarai,” imbuhnya. *nvi
Komentar