Menabung Rp 30 Juta Selama 6 Tahun, Foto Prewed Dilakukan di 3 Tempat
I Ketut Budiarsa lahir normal, tetapi saat usia 2 tahun mulai menderita osteogenesis imperfecta atau perapuhan tulang. Istrinya, Ida Ayu Ketut Kenari derita polio sejak umur 2 tahun.
Dua Sejoli Penyandang Disabilitas ‘Mesakapan’ di Ubud, Gianyar
GIANYAR, NusaBali
Rona bahagia terpancar dari raut wajah I Ketut Budiarsa, 37, dan Ida Ayu Ketut Kenari, 39. Sejoli penyandang disabilitas ini baru saja meresmikan hubungannya lewat ikatan pernikahan. Pasangan yang berpacaran sejak 6 tahun terakhir ini, mesakapan alias nganten pada Wraspati Pon Uye, Kamis (14/3), di kediaman Ketut Budiarsa di Banjar/Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Kebahagiaan pasangan ini bertambah, karena resepsi pernikahannya dihadiri sekitar 1.000 undangan, termasuk Ketua Bhayangkari Daerah Bali Ny Barbara Golose, istri walikota Denpasar Ny Selly Dharmawijaya Mantra, Kapolsek Payangan AKP I Gede Sudyatmaja, Kapolsek Ubud Kompol I Nyoman Nuryana, komunitas, serta undangan lainnya.
Menariknya, Ketut Budiarsa yang mengalami perapuhan tulang atau osteogenesis imperfecta sejak usia 2 tahun ini memproyeksikan pernikahannya ini sejak berpacaran dengan Dayu Kenari sekitar 6 tahun silam. Sejak itu, anak bungsu dari 6 bersaudara pasangan suami istri I Ketut Enggong dan Ni Made Kormi, ini mulai menabung. Selama enam tahun itu, Ketut Budiarsa berhasil menabung sekitar Rp 30 juta. Dengan modal uang Rp 30 juta, dia berani memutuskan untuk menikahi kekasihnya.
Sama halnya dengan Ketut Budiarsa yang beraktivitas dari atas kursi roda, istrinya Dayu Kenari juga mengalami kelumpuhan. Dayu Kenari asal Banjar Dinas Geria, Desa/Kecamatan Rendang, Karangasem ini divonis terjangkit polio sejak usia 2 tahun. Keduanya bertemu dalam sebuah organisasi sesama penyandang disabilitas. Kini keduanya bersama-sama mengelola Yayasan Cahaya Mutiara yang berlokasi di Kecamatan Tampaksiring. Ketut Budiarsa sebagai ketua yayasan, istrinya Dayu Kenari sebagai bendahara yayasan. Yayasan tersebut mewadahi para penyandang disabilitas, terutama penyandang kelumpuhan. Anggota yayasan kerapkali terlibat di kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti lari maraton bagi penyandang disabilitas, aksi bersih-bersih lingkungan, dan sebagainya.
“Awalnya hanya berteman biasa. Namun karena sering bertemu, mulai ada rasa. Apalagi tugas kami berdua saling terkait. Rasanya ketika salah satu kena masalah, yang satu ikut merasakan. Begitu juga sebaliknya, kami bahagia sama-sama,” ungkap Ketut Budiarsa tersipu malu saat ditemui di 3 Brother + 1 Art Gallery, Banjar Kedewatan, Ubud, Jumat (15/3).
Ketut Budiarsa mengaku komitmen untuk menikah telah ada sejak mulai pacaran dengan Dayu Kenari. Namun mereka tidak ingin buru-buru. Mereka pilih mempersiapkan segalanya secara bertahap. “Yang saya pikirkan pertama adalah bagaimana ke depan kami bisa hidup bermasyarakat dan mandiri. Sehingga cukup lama ambil sikap. Lalu setahun terakhir, kami mulai fokus dan komitmen untuk menikah tahun 2019 ini. Meski dengan banyak pertimbangan, kami sadari bahwa usia kami terus bertambah dan status pacaran harus segera disahkan dengan nganten. Akhirnya positive thinking, kami yakin ada jalan,” tuturnya.
Terbukti, dua sejoli dalam keterbatasan ini mampu membuat sebuah pesta pernikahan yang tak kalah mewah dari pasangan normal. Bahkan, pasangan ini menyempatkan diri untuk foto prewedding. Sesi ini dilakaukan selama tiga hari di tiga tempat berbeda, yakni Bedugul, Kecamatan Baturiti, Tabanan, di Penglipuran, Kecamatan/Kabupaten Bangli, dan Pantai Melasti, Ungasan, Kuta Selatan, Badung. “Lokasi prewed berjauhan, sehingga satu lokasi diambil satu hari,” ungkapnya.
Foto-foto prewedding inilah yang dipasang pada kartu undangan mereka. Kartu undangan yang dicetak hanya sekitar 150 lembar, selebihnya dua sejoli ini menyebar undangan lewat media sosial sepert WhatsApp dan Facebook.
Sesi pemotretan disponsori oleh salah satu hotel di Ubud. “Cuma baju untuk prewed saja nyewa, foto dan video diberikan cuma-cuma,” imbuh pria kelahiran 25 Juli 1982 ini.
Diakui, modal awal Rp 30 juta tidaklah cukup sehingga Ketut Budiarsa meminjam uang sekitar Rp 15 juta untuk menambah ‘modal’. Di luar itu, banyak bantuan datang untuk menyukseskan pernikahannya ini. “Sisanya saya pinjam, kemudian ada juga bantuan konsumsi dan 500 porsi makanan ditambah pesan catering sendiri sebanyak 500 porsi, dengan perkiraan undangan 1.000 orang termasuk keluarga besar,” ungkap Ketut Budiarsa yang seorang pelukis.
Setelah dihitung secara kasar, pengeluaran untuk pernikahannya menghabiskan dana sekitar Rp 50 juta. Anggaran itu untuk banten upakara, payas agung, dekorasi, dan lain-lain.
Ketut Budiarsa mengaku jatuh cinta dengan Dayu Kenari yang terpaut usia 2 tahun lebih tua darinya karena karakter istrinya yang penyabar dan peka terhadap situasi. “Dayu orangnya sabar dan memiliki rasa sosial tinggi. Terpenting adalah, Dayu merasakan apa yang saya rasakan,” ungkapnya.
Setelah menikah, pasangan ini akan melanjutkan aktivitasnya mengelola Yayasan Cahaya Mutiara. Beruntung Dayu Kenari bisa mengendarai sepeda motor roda tiga, sehingga keduanya bisa dengan leluasa pergi pulang dari yayasan di Tampaksiring ke rumahnya di Ubud yang berjarak sekitar 16 kilometer.
Mengenai status istrinya yang beda kasta, Ketut Budiarsa mengaku sudah berdialog dengan pihak keluarga mempelai perempuan. “Pada intinya keluarga di Karangasem merestui. Namun karena nyerodin, maka perkawinan disebut ‘kawin lari’, jadi tidak ke rumah Dayu di Karangasem,” jelasnya.
Dari pernikahannya ini, mereka berharap segera dikaruniai momongan. “Sekarang belum hamil, masih dalam proses. Sebagai pasangan suami istri tentu ingin dapat keturunan yang sehat dan normal,” tuturnya.
Dalam waktu dekat, pasutri ini pun berencana melangsungkan bulan madu alias honeymoon. “Kebetulan saat resepsi, ada hadiah berupa voucher menginap di hotel. Nanti kami pakai honeymoon. Tapi waktunya belum tahu, dekat-dekat ini kayaknya,” ungkapnya.
Sedangkan terkait kewajiban makrama adat, Ketut Budiarsa juga telah berdialog dengan prajuru adat setempat. “Syukurnya, prajuru tidak menuntut pada kami ayah tenaga, melihat kondisi fisik kami tidak memungkinkan. Namun, dari segi iuran diharapkan ikut berpartisipasi,” ujarnya. Meski demikian, Ketut Budiarsa mengaku ingin sesekali ikut ngayah pada bidang-bidang tertentu yang memungkinkan untuk dia lakukan. “Harapan kami sebagai penyandang disabilitas, agar kawasan pura dilengkapi akses untuk disabilitas. Sehingga kami juga bisa ikut berperan ketika ada ngayah persiapan upacara,” harapnya yang setiap tahun rutin sembahyang ke Pura Besakih.
Mengenai osteogenesis imperfecta (OI), penyakit itu dialami sejak Ketut Budiarsa berusia 2 tahun. Padahal dia lahir normal dan tumbuh normal. “Usia 2 tahun saya lebih sering demam. Saat bermain sempat alami patah tulang dengan penyembuhan sekitar 3 sampai 4 bulan,” ungkapnya. Namun anehnya, kejadian patah tulang yang dialami terhitung sampai ratusan kali. Sehingga tumbuh kembangnya terhambat. Bahkan, hingga waktunya masuk sekolah dasar (SD), dia dan dua kakaknya yang mengalami kondisi serupa tidak diterima di sekolah. “Umur 8 tahun sekitar tahun 1989 saya coba dioperasi, dengan biaya mengandalkan bantuan donatur. Perkiraan dana waktu itu sekitar Rp 20 juta. Saya dirawat di RS Sanglah (Denpasar) selama 6 bulan,” ujarnya. Oleh karena kasusnya langka, tim medis saat itu sekaligus meneliti penyakit yang diderita Ketut Budiarsa. “Sempat dideteksi genetik, tapi orangtua dan leluhur saya semua normal. Hanya saya dan dua kakak saya yang seperti ini,” jelasnya.
Dari 6 bersaudara, anak pertama, kedua, dan ketiga tumbuh normal. Sedangkan mulai anak keempat, kelima, dan si bungsu Ketut Budiarsa mengalami penyakit perapuhan tulang. “Hasil operasi saat usia 8 tahun itu bertahan selama 1,5 tahun. Selanjutnya tulang pada kedua tangan dan kaki kembali melengkung. Pen yang dipakai penyangga tulang tembus kulit. Tapi syukurnya, otot dan sarafnya masih normal, sehingga masih bisa saya kendalikan,” jelasnya.
Kisah pilu 3 bersaudara dengan osteogenesis ini membuat seorang jurnalis asal Jakarta mendatangi rumahnya sekitar tahun 1994. “Dilihat kondisi kami, jurnalis itu tertarik menyekolahkan kami. Sebab di desa waktu itu, tidak mengizinkan kami ikut belajar dengan alasan tidak akan bisa mengikuti pelajaran olahraga sehingga tidak bisa naik kelas. Kami coba dicarikan sekolah di Suta Dharma di Desa Petulu, Kecamatan Ubud, sampai bisa lulus SD tahun 2000,” kenangnya. Tak cukup jenjang SD, ketiganya melanjutkan sekolah di SMPN 1 Ubud lanjut di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Batubulan yang kini jadi SMKN 1 Sukawati. Dari SMSR inilah bakat melukis ketiganya mulai diasah, hingga berkesempatan mengikuti sejumlah pameran. Bahkan pada Oktober 2018 lalu, sekitar 15 karya Ketut Budiarsa dikirim ke Belanda dalam rangka pameran karya para penyandang osteogenesis seluruh dunia. Tetapi dirinya tidak ikut ke Belanda. Hanya karya berikut video presentasi Ketut Budiarsa yang dikirim ke Belanda. “Selesai pameran, ada dua karya yang laku terjual,” ungkapnya.
Lukisan tiga bersaudara ini bertemakan fantasi. Mereka menuangkan imajinasi tentang rasa sebagai penyandang disabilitas lewat goresan kuas dan warna. Harga yang dibandrol untuk sebuah lukisan berukuran 150 meter x 100 meter, kisaran Rp 11 juta sampai Rp 15 juta. *nvi
Komentar