Punya Bayi Kembar Buncing, Wajib Mondok di Ujung Desa Selama 3 Bulan
Selama 3 kali Tilem mondok di tanggun desa, kedua orangtua bayi kembar buncing setiap malam dijaga krama Desa Pakraman Padangbulia. Segala keperluan mereka juga dilayani krama desa, termasuk urusan masak memasak
Keunikan Laku Tradisi Kembar Buncing di Desa Pakraman Padangbulia, Kecamatan Buleleng
SINGARAJA, NusaBali
Desa Pakraman Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Buleleng kembali menggelar tradisi unik bagi krama yang melahirkan kembar buncing (laki-laki dan perempuan). Dalam tradisi ini, krama yang memiliki bayi kembar buncing (dulu dikenal dengan istilah manak salah) diwajibkan mondok selama tiga kali tilem (3 bulan) di tanggun (ujung) desa dan dibuatkan upacara khusus oleh desa pakraman.
Berbeda dengan tradisi lainnya di Bali, tradisi kembar buncing di Desa Pakraman Padangbulia ini waktu pelaksanaannya tidak menentu, tergantung adanya krama yang melaihkan bayi kembar buncing. Terakhir, tradisi kembar buncing dilaksanakan Desa Pakraman Padangbulia tahun 2007 silam.
Kali ini, tradisi ritual yang disertai mondok selama 3 kali tilem (bulan mati) ini kembali digelar menyusul kelahiran bayi kembar buncing dari pasangan suami istri (pasutri) I Gede Sadia Utama, 34, dan Ni Made Welianingsih, 30, krama Banjar Runuh Kubu, Desa Padangbulia. Bayi kembar buncing yang merupakan anak kedua dan ketiga dari pasutri Gede Sadia Utama-Made Welianingsih ini lahir melalui operasi caesar di RS KDH Bross, Selasa (12/3) lalu. Bayi yang perempuan lebih dulu lahir, dengan berat 2,40 kilogram. Sedangkan bayi yang laki lahir belakangan, dengan berat 2,45 kilogram.
Krama Desa Pakraman Padangbulia pun sudah mulai ngayah membuatkan pondok di tanggun desa dan persiapan tradisi kembar buncing, sejak kelahiran bayi kembar buncing tersebut dilaporkan secara resmi ke desa adat. Bayi kembar buncing berikut kedua orangtuanya pun sudah tiba dan menempati pondok di tanggun desa pada Sukra Wage Uye, Jumat (15/3) sore.
Pantauan NusaBali sore itu, sebagian krama Desa Pakraman Padangbulia yang telah berkumpul di pondok tanggun desa tampak tak sabar menunggu kedatangan bayi kembar buncing tersebut dari rumah sakit. Sejak siang, krama lanang-istri (pria wanita) dari segala usia sudah memadati pondok yang dibuatkan bagi keluarga bayi kembar buncing untuk menjalani tradisi.
Sebelum bayi kembar buncing dan keluarganya datang, di bilik kamar pondok sudah disiapkan tempat tidur, lengkap dengan kasur dan spray, listrik, juga kamar mandi dan dapur, yang semuanya dibangun oleh krama desa. Di luar kamar juga disiapkan kalangan sebagai tempat krama sekampung magebagan (ronda malam seraya menjaga bayi dan keluarganya).
Menurut Kelian Desa Pakraman Padangbulia, I Gusti Komang Suparta, tradisi kembar buncing ini diwarisi dari leluhur dan dilaksanakan secara turun temurun. Namun, tidak diketahui secara pasti kapan dimulainya tradisi ini. Yang jelas, kata IGK Suparta, pelaksanaan tradisi ini mengacu pada Lontar Brahma Sapa, Babad Hindu Bali Gobed Gobleg, dan Lontar Medangkemulan.
Berdasarkan lontar-lontar tersebut, desa pakraman wajib melakukan upacara jika terjadi praciri jagat awatara yang dicirikan oleh kelahiran tidak wajar, baik dari tumbuh-tumbuhan, hewan, maupun bayi kembar buncing. “Upacara tersebut digelar untuk menghindari kemalangan dan hal-hal yang tidak diinginkan,” ungkap IGK Suparta saat ditemui NusaBali di pondok tanggun desa, sore itu.
Menurut Suparta, banyi kembar buncing dan orangtuanya langsung menuju pondok sederhana yang sudah disiapkan krama di tanggun desa, begitu mereka Orang tua diiizinkan pulang dari rumah sakit. Jadi, mereka tidak sempat pulang ke rumahnya, namun langsung ke pondok tanggun desa. Mereka pun dilarnag menginjakkan kaki di pekarangan rumah dan wewidangan (wilayah) lainnya selain sekitar pondok tanggun desa. Larangan ini berlaku selama tiga kali Tilem, sekitar 3 bulan.
Bayi kembar buncing dan orangtuanya baru dibolehkan pulang ke rumahnya dan menjalani kehidupan normal, setelah Desa Pakraman Padangbulia menggelar upacara pecaruan agung dan melasti, yang bermakna pembersihan secara niskala. “Kalau ada kelahiran kembar buncing ini, otomatis menjadi sebel desa, sehingga harus diupacarai agar tidak terjadi serangan hama, gerubug, dan hal-hal yang tidak kita inginkan lainnya,” jelas Suparta.
Kenapa harus mondok di tanggun desa? Menurut Suparta, hal ini dilakukan untuk anyuci laksana, yakni merenungkan diri dan memohon kepada Tuhan agar tidak mengalami hal-hal negatif.
Suparta menegaskan, tradisi mondok di tanggun desa selama 3 kali Tilem ini bukan bentuk pengasingan bagi bayi kembar buncing dan keluarganya. “Ini bukan pengasingan ya. Karena selama tradisi ini terlaksana, orngtua dan bayi kembar buncing dilayani dan dijaga betul oleh seluruh krama. Bahkan, seluruh keperluan selama tradisiditanggung desa pakraman,” tegas Suparta.
Selama menjalani kehidupan di pondok tanggun desa, kata Suparta, krama ikut berjaga semalaman. Seluruh keperluan orangtua dan bayi kembar buncing disediakan oleh krama. Bahkan, untuk makan sehari-hari pun dimasak oleh krama secara bergantian. “Mereka ini (bayi kembar buncing) diistimewakan, karena membawa sebuah ciri-ciri, sehingga benar-benar dijaga dan diupacarai,” katanya.
Suparta memaparkan, selama 3 bulan berlangsungnya tradisi kembar buncing, seluruh pelaksanaan ritual keagamaan yang berhubungan dengan Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan) dihentikan sementara di Desa Pakraman Padangbulia. Meski demikian, jika ada krama yang sedang mengalami kedukaan (kematian) atau telubulanan, upacaranya tetap digelar, tapi sesederhana mungkin. Tirta yang biasanya dimohon di pura pun cukup dengan cara ‘nyawang’ (memohon dari jarak jauh, tak masuk ke areal pura).
Menurut Suparta, tradisi kembar buncing ini pernah tidak dilaksanakan oleh Desa Pakraman Padangbulia. Terjadi kemudian keanehan, di mana orangtua bayi kembar buncing kembali lagi ‘dihadiahi’ kembar buncing di kelahiran bayi berikutnya. Sejak itu, Desa Pakraman Padangbulia tak berani abai lagi melaksanakan tradisi kembar buncing.
Sementara itu, ayah bayi kembar buncing, I Gede Sadia Utama, mengaku sudah sangat siap dengan tradisi harus mondok selama 3 bulan di tanggun desa. Bahkan, Sadia Utama langsung memilih melapor kepada desa pakraman untuk menjalani tradisi, hanya beberapa jam setelah kelahiran bayi kembar buncingnya di rumah sakit.
Bagi Sadia Utama, kelahiran bayi kembar buncing merupakan kebahagian dan ke-banggaan keluarga, karena langsung dikarunia sepasang anak dalam sekali kelahiran. “Saya sangat bahagia, karena ini anugerah besar dari Tuhan. Saya beruntung karena orang lain belum tentu mendapatkan anugerah sama seperti saya,” tutur Sadia Utama kepada NusaBali.
Menurut Sadia Utama, dirinya baru tahu bayi dalam kandungan istrinya kembar buncing, setelah lahir melalui operasi cesar. Padahal, pada masa kehamilan istrinya, Made Weliningsih (yang merupakan staf Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Buleleng), hasil USG menunjukkan bayinya kembar perempuan.
Meski demikian, Sadia Utama dan istrinya siap menjalani tradisi kembar buncing selama 3 kali Tilem di pondok bersama anak-anaknya, termasuk si sulung Putu Agus Manik Putra Sena, 5. “Kami siap karena kami menghargai dan melestarikan tradisi. Apalagi, kami diberikan kemudahan untuk bisa kontrol kesehatan bayi dan ibunya yang ditanggung desa pakraman. Selain itu, kami juga masih bisa bekerja seperti biasa, asalkan sepulang kerja langsung kembali ke pondok,” tandas Sadia Utama, yang kesehariannya bekerja sebagai Staf LPD Desa Pakraman Padangbulia. *k23
Komentar