Pasutri yang Menek Medesa Adat Diupacarai Layaknya Pengantin
Tradisi ritual Nyeeb bermakna sebagai tanda pengesahan secara niskala bagi pasangan suami istri yang sudah menikah, untuk selanjutnya menjadi krama adat
Tradisi Ritual Nyeeb Pasca Nyepi di Desa Pakraman Tajun, Kecamatan Kubutambahan
SINGARAJA, NusaBali
Desa Pakraman Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng punya tradisi ritual unik yang digelar setelah perayaan Nyepi Tahun Baru Saka. Namanya, tradisi ritual Nyeeb, yang bermakna sebagai tanda pengesahan secara niskala bagi pasangan suami istri yang sudah menikah, untuk selanjutnya menjadi krama adat. Uniknya, pasangan suami istri peserta ritual Nyeeb melakoni rangkaian prosesi upacara layaknya sepasang pengantin.
Untuk Nyepi Tahun Baru Saka 1941, tradisi ritual Nyeeb dilaksanakan di Nista Mandala Pura Bale Agung Desa Pakraman Tajun berselang 5 hari setelah Nyepi, pada Soma Kliwon Uye, Senin (11/3) lalu. Dalam tradisi ritual Nyeeb tersebut, seluruh pasangan suami istri yang akan menek medesa adat (menjadi krama adat) berkumpul di Nista Mandala Pura Bale Agung, dengan mengenakan busana adat madya. Mereka mengikuti prosesi upacara yang dipimpin oleh Ulun Desa, mulai sore sekitar pukul 15.00 Wita.
Tradisi ritual Nyeeb kali ini diikuti 41 pasangan suami istri, yang rata-rata merupakan penganten baru yang menikah tahun 2018. Ada pula pasangan suami istri yang sudah cukup lama menikah, namun belum sempat mengikuti prosesi ritual Nyeeb sebelumnya.
Prosesi Nyeeb ini diawali dengan ritual pembersihan prayastista durmagala, kemudian natab banten beyakala. Selanjutnya, pasangan pengantin diberikan benang tebusan dan benang tridatu, untuk diikatkan di tangan merekai. Upacara ini memilki tujuan yang sama ketika upacara pawiwahan (perkawinan).
Setelah itu, pasangan suami istri ini kemudian diberikan karawista untuk dipasang di kepala. Barulah secara bergiliran mereka diminta menyiramkan air suci yang diambil dari wajan yang sudah disiapkan di pewaregan (dapur adat, Red). Wajan itu sudah dipanaskan terlebih dulu dengan menggunakan api kayu bakar. Selanjutnya, air suci disiramkan di tungku perapian yang sudah disediakan.
Begitu seterusnya ritual ini dilakukan secara bergiliran bagi seluruh pasangan suami istri yang mengikuti tradisi Nyeeb. Konon, penyiraman air panas ke tungku perapian ini sebagai simbolik pembersihan secara niskala untuk melebur sahananing mala (segala pengaruh negatif) yang ada pada diri pasangan suami istri.
Kelian Desa Pakraman Tajun, Jro Made Sumerta, mengatakan tradisi ritual Nyeeb yang diwarisi secara turun temurun ini sudah diatur dalam awig-awig. Nyeeb berasal dari kata Seeb, yang berarti melihat. Sehingga, Nyeeb diartikan bagi pasangan suami istri yang masuk sebagai krama adat, harus dapat melihat bagaimana para pendahulunya ikut ngayah sebagai krama adat.
“Kalau sudah turun ke desa sebagai krama adat, itu artinya mereka mulai bergaul dengan masyarakat. Nah, harapannya, para pengantin yang baru makrama adat itu tetap menjalankan prinsip Tri Kaya Parisuda, yakni berpikir yang baik, berbicara yang baik, dan berbuat yang baik. Karena, itulah modal dalam bergaul,” ujar Jro Made Sumerta kepada NusaBali di sela ritual Nyeeb sore itu.
Terlebih, kata Jro Sumerta, esensi dari tradisi ritual Nyeeb adalah untuk membersihkan diri secara niskala dari segala kekotoran, sebelum sah nantinya ngayah. Sarana yang digunakan dalam tradisi ritual Nyeeb adalah banten sesayut beakala, durmanggala yang fungsinya sebagai banten pelebur kekotoran.
“Banten beakala itu fungsinya untuk membersihkan sifat kala atau unsur negatif dalam diri manusia, sebelum mereka menek medesa (jadi krama adat, Red). Setelah bersih secara niskala, barulah mereka dibolehkan untuk ngayah di desa sebagai layaknya seorang krama adat,” jelas Jro Sumerta.
Tidak ada sanksi sosial bagi pasangan suami istri yang tak mengikuti tradisi ritual Nyeeb setelah menikah. Namun, pasangan suami itri di Desa Pakraman Tajun tidak berani mnengabaikan tradisi ini. Sebab, akibatnya bisa fatal.
Menurut Jro Sumerta, pasutri yang berani tidak mengikuti tradisi ritual Nyeeb dipastikan akan menerima hukuman secara niskala. Bentuknya beragam, entah itu sakit yang berkepanjangan, tidak memiliki keturunan, tak pernah akur dengan keluarga, terpuruk secara ekonomi, bahkan bisa meninggal dunia. Ini sudah banyak terjadi bagi pasutri yang tak mengikuti tradisi ritual Nyeeb.
“Nah, meskipun nanti pasutri meninggal dunia, mereka tetap diwajibkan mengikuti tradisi Nyeeb ini. Nanti melalui adegan itulah akan digunakan sebagai simbol orang yang sudah meninggal untuk mengikuti tradisi ini. Artinya, ritual Nyeeb akan dilakukan oleh anak atau keturuannya,” papar Jro Sumerta.
Lalu, bagaimana dengan pasutri yang sudah kawin-cerai atau salah satu dari pasangan telah meninggal? Jro Sumerta mengatakan, selama pasutri masih utuh perkawinannya, mereka wajib mengikuti tradisi ritual Nyeeb ini, dengan harapan segera bisa melaksanakan kewajibannya sebagai krama desa.
“Kalau salah satu dari mereka meninggal, kemudian menikah lagi, maka wajib hukumnya kembali mengikuti tradisi Nyeeb. Begitu juga kalau dimadu, kedua-duanya harus mengikuti tradisi Nyeeb ini,” katanya.
Desa Pakraman Tajun juga memberikan kebijakan bagi pasutri yang tinggal jauh di luar desa atau yang berhalangan hadir saat ritual Nyeeb berlangsung, untuk diwakilkan kepada orang lain. Dengan catatan, pasutri yang mewakili itu hanya datang untuk nunas tirta. Selanjutnya, tirta itu diberikan kepada pasutri yang memang seharusnya mengikuti ritual Nyeeb, namun tak bisa hadir.
Menurut Jro Sumerta, biaya untuk tradisi ritual Nyeeb di Desa Pakraman Tajun ini sepenuhnya dari urunan pasutri yang mengikutinya. Mereka akan dikenakan urunan sesuai dengan besaran biaya yang dihabiskan. “Nanti berapa habisnya, akan dibagi rata kepada pasutri yang ikut ritual Nyeeb. Sedangkan desa adat sifatnya hanya memfasilitasi dan menyiapkan sarana upakaranya,” tegas Jro Sumerta.
Sementara itu, salah seorang mempelai pria yang ikut tradisi Nyeeb, Gede Murjasa, mengaku baru empat bulan menikah. Dia memilih lebih cepat mengikuti tradisi ritual Nyeeb ini, dengan harapan segera bisa ngayah dan menek medesa. “Biar segera bisa ngayah di desa. Karena kalau masih reged, kami belum bisa ngayah. Jadi, cepat atau lambat pasti akan mengikuti tradisi ini,” beber Gede Murjasa.
Untuk mengikuti tradisi ritual Nyeeb ini, Gede Murjasa mengaku hanya membayar urunan Rp 200.000. Dana tersebut sangatlah terjangkau ketimbang dilakukan secara swadaya. “Biayanya tidak seberapa. Semaikin banyak peserta ritual Nyeeb, semakin murah kenanya. Sekarang karena 41 pasangan, maka kenanya segitu (Rp 200.000 per pasangan),” tandas Murjasa. *k19
SINGARAJA, NusaBali
Desa Pakraman Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng punya tradisi ritual unik yang digelar setelah perayaan Nyepi Tahun Baru Saka. Namanya, tradisi ritual Nyeeb, yang bermakna sebagai tanda pengesahan secara niskala bagi pasangan suami istri yang sudah menikah, untuk selanjutnya menjadi krama adat. Uniknya, pasangan suami istri peserta ritual Nyeeb melakoni rangkaian prosesi upacara layaknya sepasang pengantin.
Untuk Nyepi Tahun Baru Saka 1941, tradisi ritual Nyeeb dilaksanakan di Nista Mandala Pura Bale Agung Desa Pakraman Tajun berselang 5 hari setelah Nyepi, pada Soma Kliwon Uye, Senin (11/3) lalu. Dalam tradisi ritual Nyeeb tersebut, seluruh pasangan suami istri yang akan menek medesa adat (menjadi krama adat) berkumpul di Nista Mandala Pura Bale Agung, dengan mengenakan busana adat madya. Mereka mengikuti prosesi upacara yang dipimpin oleh Ulun Desa, mulai sore sekitar pukul 15.00 Wita.
Tradisi ritual Nyeeb kali ini diikuti 41 pasangan suami istri, yang rata-rata merupakan penganten baru yang menikah tahun 2018. Ada pula pasangan suami istri yang sudah cukup lama menikah, namun belum sempat mengikuti prosesi ritual Nyeeb sebelumnya.
Prosesi Nyeeb ini diawali dengan ritual pembersihan prayastista durmagala, kemudian natab banten beyakala. Selanjutnya, pasangan pengantin diberikan benang tebusan dan benang tridatu, untuk diikatkan di tangan merekai. Upacara ini memilki tujuan yang sama ketika upacara pawiwahan (perkawinan).
Setelah itu, pasangan suami istri ini kemudian diberikan karawista untuk dipasang di kepala. Barulah secara bergiliran mereka diminta menyiramkan air suci yang diambil dari wajan yang sudah disiapkan di pewaregan (dapur adat, Red). Wajan itu sudah dipanaskan terlebih dulu dengan menggunakan api kayu bakar. Selanjutnya, air suci disiramkan di tungku perapian yang sudah disediakan.
Begitu seterusnya ritual ini dilakukan secara bergiliran bagi seluruh pasangan suami istri yang mengikuti tradisi Nyeeb. Konon, penyiraman air panas ke tungku perapian ini sebagai simbolik pembersihan secara niskala untuk melebur sahananing mala (segala pengaruh negatif) yang ada pada diri pasangan suami istri.
Kelian Desa Pakraman Tajun, Jro Made Sumerta, mengatakan tradisi ritual Nyeeb yang diwarisi secara turun temurun ini sudah diatur dalam awig-awig. Nyeeb berasal dari kata Seeb, yang berarti melihat. Sehingga, Nyeeb diartikan bagi pasangan suami istri yang masuk sebagai krama adat, harus dapat melihat bagaimana para pendahulunya ikut ngayah sebagai krama adat.
“Kalau sudah turun ke desa sebagai krama adat, itu artinya mereka mulai bergaul dengan masyarakat. Nah, harapannya, para pengantin yang baru makrama adat itu tetap menjalankan prinsip Tri Kaya Parisuda, yakni berpikir yang baik, berbicara yang baik, dan berbuat yang baik. Karena, itulah modal dalam bergaul,” ujar Jro Made Sumerta kepada NusaBali di sela ritual Nyeeb sore itu.
Terlebih, kata Jro Sumerta, esensi dari tradisi ritual Nyeeb adalah untuk membersihkan diri secara niskala dari segala kekotoran, sebelum sah nantinya ngayah. Sarana yang digunakan dalam tradisi ritual Nyeeb adalah banten sesayut beakala, durmanggala yang fungsinya sebagai banten pelebur kekotoran.
“Banten beakala itu fungsinya untuk membersihkan sifat kala atau unsur negatif dalam diri manusia, sebelum mereka menek medesa (jadi krama adat, Red). Setelah bersih secara niskala, barulah mereka dibolehkan untuk ngayah di desa sebagai layaknya seorang krama adat,” jelas Jro Sumerta.
Tidak ada sanksi sosial bagi pasangan suami istri yang tak mengikuti tradisi ritual Nyeeb setelah menikah. Namun, pasangan suami itri di Desa Pakraman Tajun tidak berani mnengabaikan tradisi ini. Sebab, akibatnya bisa fatal.
Menurut Jro Sumerta, pasutri yang berani tidak mengikuti tradisi ritual Nyeeb dipastikan akan menerima hukuman secara niskala. Bentuknya beragam, entah itu sakit yang berkepanjangan, tidak memiliki keturunan, tak pernah akur dengan keluarga, terpuruk secara ekonomi, bahkan bisa meninggal dunia. Ini sudah banyak terjadi bagi pasutri yang tak mengikuti tradisi ritual Nyeeb.
“Nah, meskipun nanti pasutri meninggal dunia, mereka tetap diwajibkan mengikuti tradisi Nyeeb ini. Nanti melalui adegan itulah akan digunakan sebagai simbol orang yang sudah meninggal untuk mengikuti tradisi ini. Artinya, ritual Nyeeb akan dilakukan oleh anak atau keturuannya,” papar Jro Sumerta.
Lalu, bagaimana dengan pasutri yang sudah kawin-cerai atau salah satu dari pasangan telah meninggal? Jro Sumerta mengatakan, selama pasutri masih utuh perkawinannya, mereka wajib mengikuti tradisi ritual Nyeeb ini, dengan harapan segera bisa melaksanakan kewajibannya sebagai krama desa.
“Kalau salah satu dari mereka meninggal, kemudian menikah lagi, maka wajib hukumnya kembali mengikuti tradisi Nyeeb. Begitu juga kalau dimadu, kedua-duanya harus mengikuti tradisi Nyeeb ini,” katanya.
Desa Pakraman Tajun juga memberikan kebijakan bagi pasutri yang tinggal jauh di luar desa atau yang berhalangan hadir saat ritual Nyeeb berlangsung, untuk diwakilkan kepada orang lain. Dengan catatan, pasutri yang mewakili itu hanya datang untuk nunas tirta. Selanjutnya, tirta itu diberikan kepada pasutri yang memang seharusnya mengikuti ritual Nyeeb, namun tak bisa hadir.
Menurut Jro Sumerta, biaya untuk tradisi ritual Nyeeb di Desa Pakraman Tajun ini sepenuhnya dari urunan pasutri yang mengikutinya. Mereka akan dikenakan urunan sesuai dengan besaran biaya yang dihabiskan. “Nanti berapa habisnya, akan dibagi rata kepada pasutri yang ikut ritual Nyeeb. Sedangkan desa adat sifatnya hanya memfasilitasi dan menyiapkan sarana upakaranya,” tegas Jro Sumerta.
Sementara itu, salah seorang mempelai pria yang ikut tradisi Nyeeb, Gede Murjasa, mengaku baru empat bulan menikah. Dia memilih lebih cepat mengikuti tradisi ritual Nyeeb ini, dengan harapan segera bisa ngayah dan menek medesa. “Biar segera bisa ngayah di desa. Karena kalau masih reged, kami belum bisa ngayah. Jadi, cepat atau lambat pasti akan mengikuti tradisi ini,” beber Gede Murjasa.
Untuk mengikuti tradisi ritual Nyeeb ini, Gede Murjasa mengaku hanya membayar urunan Rp 200.000. Dana tersebut sangatlah terjangkau ketimbang dilakukan secara swadaya. “Biayanya tidak seberapa. Semaikin banyak peserta ritual Nyeeb, semakin murah kenanya. Sekarang karena 41 pasangan, maka kenanya segitu (Rp 200.000 per pasangan),” tandas Murjasa. *k19
1
Komentar