Arsitektur Tempelan
SEBUAH ruang, satu tempat, sebuah wilayah, bagi manusia Bali, bisa diartikan sebuah arsitektur yang unik dan otentik.
Dalam ruang itu orang Bali melakukan aktivitas, bergumul sehari-hari dengan kebahagiaan dan duka nestapa. Di situ, di sebuah wilayah, mereka berkreativitas, memuji dan mencela karya-karya seni. Di wilayah itu produktivitas digelar, dipersoalkan.
Karena manusia Bali awalnya adalah petani, ruang dan wilayah arsitektur itu pun diciptakan dan dikembangkan untuk kaum tani. Ternak, hewan piara, tanaman, ditempatkan selaras dengan manusia. Makhluk hidup, benda-benda mati, berdampingan, ditata dalam ruang untuk petani bersama sanak saudara dan kerabatnya.
Dalam ruang itu, kehidupan dan kematian diatur sama penting, karena setelah mati orang Bali diyakini (akan) hidup lagi. Mereka harus diberi wilayah pantas. Kegembiraan dan kesedihan punya ruang sama. Kalaupun hendak dibedakan, semata untuk menunjukkan dua hal yang memang tidak sepenuhnya bisa diterima mutlak sama. Jika kematian pasti dapat tempat, kehidupan juga memperoleh wilayah. Sebaliknya, ketika tempat untuk hidup diberi peran, harus juga diberi tempat buat makna kematian. Dalam arsitektur Bali, ruang untuk ‘ada’, harus memberi tempat untuk ruang ‘tiada’.
Arsitektur Bali pun kemudian senantiasa memberi wilayah untuk skala (nyata) dan niskala (maya). Sebuah desa misalnya, mengatur ketat tempat untuk pemukiman, juga wilayah untuk kuburan. Di sebuah rumah, jelas dan nyata tempat untuk sanggah berhubungan dengan yang tiada, dan kamar untuk tidur, buat upacara, juga tempat untuk dapur, kamar mandi. Selalu jelas tampak yang ‘kotor’ dan yang ‘bersih’. Masing-masing punya wilayah tersendiri, tidak boleh dicampur aduk.
Pembagian bidang, ruang, wilayah, inilah yang menjadikan arsitektur Bali unik dan berciri. Aksesori untuk masing-masing ruang ini pun khas. Ukir-ukiran, ukuran, ke arah mana bangunan harus menghadap, di bagian mana ia ditempatkan, menjadi ciri khas arsitektur Bali. Semua mendapat tempat, tidak cuma dicatat.
Dari abad ke abad, pembagian ruang, penempatan aksesori yang tepat, menjadi pedoman jika seseorang hendak membangun rumah. Tempat tinggal, bangunan suci, punya ciri tersendiri. Masing-masing dibuat berdasarkan filosofi, sehingga bangunan-bangunan itu punya kharisma, bertaksu.Tak heran kalau orang berkomentar, arsitektur Bali selalu memancarkan wibawa, membuat yang menempatinya merasa nyaman. Untuk membangkitkan wibawa itu, sebelum dimanfaatkan, bangunan itu harus melalui proses penghayatan secara niskala, di-plaspas, sehingga yang menempati merasa aman dan damai.
Ketenangan, sesungguhnya, menjadi ciri arsitektur Bali. Bangunan khas Bali membangkitkan keinginan untuk berkelana ke alam spiritual. Material bangunan yang berasal dari alam menjanjikan bangunan itu sebagai ruang dan waktu buat melakukan penghayatan. Di ruang arsitektur Bali, waktu punya tempat untuk dihayati. Dia menjadi tempat yang kalem, teduh, memesona, dan menjanjikan kebahagiaan di masa depan.
Keunikan dan janji bahagia masa depan inilah yang antara lain membuat bangunan apa pun di Bali diupayakan berarsitektur Bali. Kantor pemerintah dan swasta, gedung-gedung bank, toko, pasar swalayan, hendaklah berarsitektur Bali. Sebab di bangunan itu tidak cuma keuntungan duniawi yang diburu, juga kebahagiaan jiwa yang hendak didapat. Di situ laba diharapkan datang bertumpuk-tumpuk. Seolah setiap bangunan Bali dilindungi dan direstui oleh dewa-dewa keberuntungan.
Tetapi, karena bangunan modern tidak selalu mengacu pada filosofi arsitektur, mengandalkan pandangan fisik semata, ia menjadi lucu, menjadi gedung yang cuma ditempeli aksesori. Kalau sudah ditempeli ukiran, dengan material batu padas dan bata gosok, beratap alang-alang, si empunya mengaku sudah membuat bangunan berarsitektur Bali. Tak peduli, apakah pembagian ruang dan wilayahnya mengikuti tata arsitektur Bali. Jika diminta mengacu pada keaslian arsitektur Bali, mereka berkilah biayanya mahal, dan sulit menerapkan secara murni untuk bangunan ruko atau pasar swalayan.
Menjadi tantangan, sejauh mana arsitektur khas Bali bisa dikembangkan untuk kawasan modern. Jika membangun sebuah hotel, deretan cottage, pasar umum, sejauh mana ia bisa dikatakan sudah mengacu pada pakem arsitektur Bali? Adakah pembagian ruang sudah memberi kesempatan kepada penghuninya, dan orang-orang yang berlalu-lalang di wilayah itu, merasa bahagia, nyaman, tenteram, damai, sehingga mereka merasa menikmati keindahan waktu ke masa depan?
Sejauh ini, mereka yang mendalami arsitektur Bali, lebih sering bergumul dengan hal-hal teknis, tinimbang mengkaji konsep. Perdebatan yang muncul acap saling menyalahkan. Jika berdebat, mereka masih sering mengacu pada lontar, tidak pada buku. Sampai kapan pembahasan itu tidak cuma sekadar perdebatan tempelan? *
Aryantha Soethama
Pengarang
Karena manusia Bali awalnya adalah petani, ruang dan wilayah arsitektur itu pun diciptakan dan dikembangkan untuk kaum tani. Ternak, hewan piara, tanaman, ditempatkan selaras dengan manusia. Makhluk hidup, benda-benda mati, berdampingan, ditata dalam ruang untuk petani bersama sanak saudara dan kerabatnya.
Dalam ruang itu, kehidupan dan kematian diatur sama penting, karena setelah mati orang Bali diyakini (akan) hidup lagi. Mereka harus diberi wilayah pantas. Kegembiraan dan kesedihan punya ruang sama. Kalaupun hendak dibedakan, semata untuk menunjukkan dua hal yang memang tidak sepenuhnya bisa diterima mutlak sama. Jika kematian pasti dapat tempat, kehidupan juga memperoleh wilayah. Sebaliknya, ketika tempat untuk hidup diberi peran, harus juga diberi tempat buat makna kematian. Dalam arsitektur Bali, ruang untuk ‘ada’, harus memberi tempat untuk ruang ‘tiada’.
Arsitektur Bali pun kemudian senantiasa memberi wilayah untuk skala (nyata) dan niskala (maya). Sebuah desa misalnya, mengatur ketat tempat untuk pemukiman, juga wilayah untuk kuburan. Di sebuah rumah, jelas dan nyata tempat untuk sanggah berhubungan dengan yang tiada, dan kamar untuk tidur, buat upacara, juga tempat untuk dapur, kamar mandi. Selalu jelas tampak yang ‘kotor’ dan yang ‘bersih’. Masing-masing punya wilayah tersendiri, tidak boleh dicampur aduk.
Pembagian bidang, ruang, wilayah, inilah yang menjadikan arsitektur Bali unik dan berciri. Aksesori untuk masing-masing ruang ini pun khas. Ukir-ukiran, ukuran, ke arah mana bangunan harus menghadap, di bagian mana ia ditempatkan, menjadi ciri khas arsitektur Bali. Semua mendapat tempat, tidak cuma dicatat.
Dari abad ke abad, pembagian ruang, penempatan aksesori yang tepat, menjadi pedoman jika seseorang hendak membangun rumah. Tempat tinggal, bangunan suci, punya ciri tersendiri. Masing-masing dibuat berdasarkan filosofi, sehingga bangunan-bangunan itu punya kharisma, bertaksu.Tak heran kalau orang berkomentar, arsitektur Bali selalu memancarkan wibawa, membuat yang menempatinya merasa nyaman. Untuk membangkitkan wibawa itu, sebelum dimanfaatkan, bangunan itu harus melalui proses penghayatan secara niskala, di-plaspas, sehingga yang menempati merasa aman dan damai.
Ketenangan, sesungguhnya, menjadi ciri arsitektur Bali. Bangunan khas Bali membangkitkan keinginan untuk berkelana ke alam spiritual. Material bangunan yang berasal dari alam menjanjikan bangunan itu sebagai ruang dan waktu buat melakukan penghayatan. Di ruang arsitektur Bali, waktu punya tempat untuk dihayati. Dia menjadi tempat yang kalem, teduh, memesona, dan menjanjikan kebahagiaan di masa depan.
Keunikan dan janji bahagia masa depan inilah yang antara lain membuat bangunan apa pun di Bali diupayakan berarsitektur Bali. Kantor pemerintah dan swasta, gedung-gedung bank, toko, pasar swalayan, hendaklah berarsitektur Bali. Sebab di bangunan itu tidak cuma keuntungan duniawi yang diburu, juga kebahagiaan jiwa yang hendak didapat. Di situ laba diharapkan datang bertumpuk-tumpuk. Seolah setiap bangunan Bali dilindungi dan direstui oleh dewa-dewa keberuntungan.
Tetapi, karena bangunan modern tidak selalu mengacu pada filosofi arsitektur, mengandalkan pandangan fisik semata, ia menjadi lucu, menjadi gedung yang cuma ditempeli aksesori. Kalau sudah ditempeli ukiran, dengan material batu padas dan bata gosok, beratap alang-alang, si empunya mengaku sudah membuat bangunan berarsitektur Bali. Tak peduli, apakah pembagian ruang dan wilayahnya mengikuti tata arsitektur Bali. Jika diminta mengacu pada keaslian arsitektur Bali, mereka berkilah biayanya mahal, dan sulit menerapkan secara murni untuk bangunan ruko atau pasar swalayan.
Menjadi tantangan, sejauh mana arsitektur khas Bali bisa dikembangkan untuk kawasan modern. Jika membangun sebuah hotel, deretan cottage, pasar umum, sejauh mana ia bisa dikatakan sudah mengacu pada pakem arsitektur Bali? Adakah pembagian ruang sudah memberi kesempatan kepada penghuninya, dan orang-orang yang berlalu-lalang di wilayah itu, merasa bahagia, nyaman, tenteram, damai, sehingga mereka merasa menikmati keindahan waktu ke masa depan?
Sejauh ini, mereka yang mendalami arsitektur Bali, lebih sering bergumul dengan hal-hal teknis, tinimbang mengkaji konsep. Perdebatan yang muncul acap saling menyalahkan. Jika berdebat, mereka masih sering mengacu pada lontar, tidak pada buku. Sampai kapan pembahasan itu tidak cuma sekadar perdebatan tempelan? *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar