MUTIARA WEDA : Tetap Jaga Jarak
Jangan percaya kepada teman jahat. Juga jangan terlalu percaya dengan teman dekat, sebab ketika ia marah, segala rahasiamu akan dibukanya.
Na visvaset kumitre ca mitre capi na visvaset,
Kadacit kupitam mitram sarva guhyam prakasayet.
(Canakya Niti Sastra, II.6)
PEMIKIR besar sekaligus guru utama Wangsa Maurya penguasa Magadha abad ke-3 SM, Maharsi Chanakya menyatakan sebuah rahasia tentang pertemanan. Pernyataan ini sangat sederhana tetapi sangat penting diketahui dan dipahami dengan baik. Pernyataan ini menjadi penting karena merupakan kesimpulan dari perhelatan politik yang panjang dari sebuah kerajaan besar. Boleh dikatakan bahwa para kaisar Maurya berutang pengetahuan strategi politik kepada Chanakya. Kekaisaran Magadha di bawah Chandragupta dan keturunannya menjadi kuat dan berkuasa penuh atas tanah Bharat yang demikian luas karena bimbingan dari Mahaguru ini. Sehingga, apapun yang dinyatakannya akan menjadi diktum penting, karena telah diuji melalui proses pemikiran yang panjang.
Pernyataan Chanakya seperti teks di atas memiliki dua pesan pokok. Pertama, ‘jangan percaya kepada teman yang jahat’. Kedua, ‘jangan juga percaya kepada teman dekat’. Pernyataan pertama mudah dipahami, tetapi yang kedua sedikit sulit dan mengejutkan. Secara umum, orang akan dengan sendirinya menjaga jarak kepada mereka yang jahat. Ini telah biasa dilakukan oleh manusia yang memiliki kecerdasan walau sedikit. Hanya orang idiot yang berkolaborasi dengan orang jahat atau hanya mereka yang jahat pula yang dekat dengan orang jahat karena mereka berniat saling memanfaatkan, saling mengambil keuntungan. Sebagian besar politikus biasanya mempertahankan pertemanannya meskipun dirinya tahu siapa temannya itu sepanjang itu menguntungkan dirinya, sebelum akhirnya mereka benar-benar bermusuhan.
Sementara pernyataan kedua juga menyatakan bahwa dengan teman dekat pun mestinya jangan terlalu dipercaya, karena dalam siatuasi tertentu teman itu bisa membahayakan kita. Ini yang jarang orang tahu bahkan bagi mereka yang sangat cerdas sekali pun. Dalam hidup, disadari atau tidak, setiap hubungan apapun berimplikasi pada pemanfataan satu dengan yang lainnya. Bahkan, bagi mereka yang melakukan kegiatan kemanusiaan yang tanpa pamrih sekalipun tetap memanfaatkan orang lain. Orang yang tulus melakukan kebaikan demi kemanusiaan maupun mereka yang bertindak hanya untuk mengambil keuntungan saja dari orang lain pada prinsipnya sama-sama memanfaatkan orang lain. Agar disebut tulus tindakan itu, maka diperlukan orang lain yang mendapatkan manfaat dari apa yang kita kerjakan. Contohnya, agar tindakan ‘menolong’ kita memiliki nilai ‘ketulusan’, diperlukan orang yang betul-betul memerlukan pertolongan itu. Tanpa ada orang yang butuh, ‘ketulusan’ kita tidak akan memanifestasi. Ketulusan itu ibarat benih dan akan mekar ha
nya ketika ditaruh ke dalam lahan. Demikian juga pertolongan kita itu.
Artinya, kekuasaan, penguasaan, dan menguasai adalah tabiat inheren dalam kehidupan apakah diinginkan atau tidak, disadari atau tidak. Sepanjang kehidupan sosial sebagai concern, kekuasaan, penguasaan, dan menguasai adalah manifestasinya. Meskipun seorang Yogi yang Purna Vairagi, ketika kesempurnaannya itu didedikasikan untuk pelayanan pada kemanusiaan, ketiga hal tersebut tidak bisa terlepas. Walaupun Yogi tidak pernah menginginkan setitik pun kekuasaan, penguasaan, dan menguasai, proses ketiganya itu tetap berlangsung. Mengapa demikian? Itulah hidup. Sesuatu yang awalnya tampak berjalan sangat baik, tetapi dalam perjalanan waktu, kebaikan itu bisa berubah menjadi keburukan. Seorang Vairagi di sini tidak bisa lepas dari ini, hanya saja dirinya tidak terpengaruh dengan dualitas ini, sebab secara natural, alam prakerti berjalan di dalam dualitas ini.
Jadi, ‘tidak terlalu percaya dengan teman’ artinya bukan mencurigainya, melainkan kita harus tetap menjadi pulau yang terpisah walaupun beraktivitas dan larut dalam kehidupan sosial. Kita boleh mengembangkan pertemanan (maitri) dan kasih sayang (karuna), tetapi jangan sampai kehilangan diri. Prinsip Vairagya sangat mutlak diperlukan dalam hidup. Ketidakterikatan dengan apapun akan membuat seseorang selamat terutama dalam mengarungi pekatnya kebodohan (avidya). Dalam konteks sosial, ada hal yang dibiarkan tetap menjadi misteri bagi teman dari diri kita, dan sebaliknya. Ketika teman kita memiliki persepsi yang berbeda dari sebelumnya, hal-hal yang semestinya tidak pantas dibawa ke publik kemungkinan besar diumumkannya. Ini tentu berbahaya. *
Kadacit kupitam mitram sarva guhyam prakasayet.
(Canakya Niti Sastra, II.6)
PEMIKIR besar sekaligus guru utama Wangsa Maurya penguasa Magadha abad ke-3 SM, Maharsi Chanakya menyatakan sebuah rahasia tentang pertemanan. Pernyataan ini sangat sederhana tetapi sangat penting diketahui dan dipahami dengan baik. Pernyataan ini menjadi penting karena merupakan kesimpulan dari perhelatan politik yang panjang dari sebuah kerajaan besar. Boleh dikatakan bahwa para kaisar Maurya berutang pengetahuan strategi politik kepada Chanakya. Kekaisaran Magadha di bawah Chandragupta dan keturunannya menjadi kuat dan berkuasa penuh atas tanah Bharat yang demikian luas karena bimbingan dari Mahaguru ini. Sehingga, apapun yang dinyatakannya akan menjadi diktum penting, karena telah diuji melalui proses pemikiran yang panjang.
Pernyataan Chanakya seperti teks di atas memiliki dua pesan pokok. Pertama, ‘jangan percaya kepada teman yang jahat’. Kedua, ‘jangan juga percaya kepada teman dekat’. Pernyataan pertama mudah dipahami, tetapi yang kedua sedikit sulit dan mengejutkan. Secara umum, orang akan dengan sendirinya menjaga jarak kepada mereka yang jahat. Ini telah biasa dilakukan oleh manusia yang memiliki kecerdasan walau sedikit. Hanya orang idiot yang berkolaborasi dengan orang jahat atau hanya mereka yang jahat pula yang dekat dengan orang jahat karena mereka berniat saling memanfaatkan, saling mengambil keuntungan. Sebagian besar politikus biasanya mempertahankan pertemanannya meskipun dirinya tahu siapa temannya itu sepanjang itu menguntungkan dirinya, sebelum akhirnya mereka benar-benar bermusuhan.
Sementara pernyataan kedua juga menyatakan bahwa dengan teman dekat pun mestinya jangan terlalu dipercaya, karena dalam siatuasi tertentu teman itu bisa membahayakan kita. Ini yang jarang orang tahu bahkan bagi mereka yang sangat cerdas sekali pun. Dalam hidup, disadari atau tidak, setiap hubungan apapun berimplikasi pada pemanfataan satu dengan yang lainnya. Bahkan, bagi mereka yang melakukan kegiatan kemanusiaan yang tanpa pamrih sekalipun tetap memanfaatkan orang lain. Orang yang tulus melakukan kebaikan demi kemanusiaan maupun mereka yang bertindak hanya untuk mengambil keuntungan saja dari orang lain pada prinsipnya sama-sama memanfaatkan orang lain. Agar disebut tulus tindakan itu, maka diperlukan orang lain yang mendapatkan manfaat dari apa yang kita kerjakan. Contohnya, agar tindakan ‘menolong’ kita memiliki nilai ‘ketulusan’, diperlukan orang yang betul-betul memerlukan pertolongan itu. Tanpa ada orang yang butuh, ‘ketulusan’ kita tidak akan memanifestasi. Ketulusan itu ibarat benih dan akan mekar ha
nya ketika ditaruh ke dalam lahan. Demikian juga pertolongan kita itu.
Artinya, kekuasaan, penguasaan, dan menguasai adalah tabiat inheren dalam kehidupan apakah diinginkan atau tidak, disadari atau tidak. Sepanjang kehidupan sosial sebagai concern, kekuasaan, penguasaan, dan menguasai adalah manifestasinya. Meskipun seorang Yogi yang Purna Vairagi, ketika kesempurnaannya itu didedikasikan untuk pelayanan pada kemanusiaan, ketiga hal tersebut tidak bisa terlepas. Walaupun Yogi tidak pernah menginginkan setitik pun kekuasaan, penguasaan, dan menguasai, proses ketiganya itu tetap berlangsung. Mengapa demikian? Itulah hidup. Sesuatu yang awalnya tampak berjalan sangat baik, tetapi dalam perjalanan waktu, kebaikan itu bisa berubah menjadi keburukan. Seorang Vairagi di sini tidak bisa lepas dari ini, hanya saja dirinya tidak terpengaruh dengan dualitas ini, sebab secara natural, alam prakerti berjalan di dalam dualitas ini.
Jadi, ‘tidak terlalu percaya dengan teman’ artinya bukan mencurigainya, melainkan kita harus tetap menjadi pulau yang terpisah walaupun beraktivitas dan larut dalam kehidupan sosial. Kita boleh mengembangkan pertemanan (maitri) dan kasih sayang (karuna), tetapi jangan sampai kehilangan diri. Prinsip Vairagya sangat mutlak diperlukan dalam hidup. Ketidakterikatan dengan apapun akan membuat seseorang selamat terutama dalam mengarungi pekatnya kebodohan (avidya). Dalam konteks sosial, ada hal yang dibiarkan tetap menjadi misteri bagi teman dari diri kita, dan sebaliknya. Ketika teman kita memiliki persepsi yang berbeda dari sebelumnya, hal-hal yang semestinya tidak pantas dibawa ke publik kemungkinan besar diumumkannya. Ini tentu berbahaya. *
I Gede Suwantana
1
Komentar