Teridentifikasi sebagai Prasasti Perpajakan
Lontar Dadia Kawitan Pasek Gelgel Kamasan, Desa/Kecamatan Sawan
SINGARAJA, NusaBali
Tim Balai Arkeologi (Balar) Denpasar dan tim peneliti Universitas Udayana (Unud) melanjutkan pelayanannya mengidentifikasi lontar milik krama Kawitan Pasek Gelgel Kamasan, di Banjar Dinas Brahmana, Desa/Kecamatan Sawan, Buleleng. Sebanyak 17 keping prasasti yang masih disakralkan pangempon kawitan diturunkan untuk diidentifikasi dan dibaca tim, Kamis (28/3) kemarin. Prasasti yang masih disimpan apik oleh pangempon kawitan di bangunan gedong kawitan disebut merupakan prasasti perpajakan.
Pamangku Dadia Kawitan Pasek Gelgel Kamasan, Jero Made Widiasa, menjelaskan belasan prasasti yang masih dijaga oleh anggota dadianya itu sudah diwarisi secara turun-temurun. Bahkan ia pun mensinyalir prasasti ini sudah berumur ratusan tahun. Hanya saja selama ini pengempon Kawitan Pasek Gelgeel Kamasan tak mengetahui secara gamblang apa isi prasasti yang mereka miliki. Meski Jro Widiasa mendapatkan cerita dari tetuanya yang menyatakan prasasti itu adalam pemberian dari Raja Anak Wungsu.
Selama ini pangempon dadia hanya mengupacarai prasasti yang mereka sakralkan itu saat pujawali dadia, yang jatuh pada Buda Umanis Prangbakat, setiap enam bulan sekali. “Terus terang kami kurang paham dan belum bisa membaca aksara yang tersurat di prasasti. Biar tidak salah mengartikan juga biar ahlinya dari Balai Arkeologi yang mengidentifikasi,” kata Jero Widiasa.
Belasan keping prasasti yang kemudian teridentifikasi memuat soal pemungutan pajak itu diakui kecocokannya keturunan dengan kondisi leluhur dan dirinya. Sepengetahuannya, leluhurnya memang bekerja sebagai sedahan dan kemudian kini dilajutkan olehnya. Jero Widiasa sendiri saat ini masih aktif sebagai pegawai di Badan Keuangan Daerah (BKD) Buleleng bidang pemungutan pajak.
Widiasa menyebut, secara umum isi prasasti itu menggambarkan tentang pemungutan pajak. Pihaknya pun berasumsi jika leluhurnya terdahulu merupakan petugas pemungut pajak kerajaan. Bahkan profesi itu hingga kini berlanjut sampai kepada dirinya yang menjadi petugas pemungut pajak di Badan Keuangan Daerah (BKD) Buleleng.
Pihaknya pun menjelaskan proses identifikasi dan pembacaan prasasti itu juga disepakati pangempon dadia, mengingat hingga saat ini mereka menyakini prasasti itu memiliki pengetahuan yang tak ternilai. Ilmu pengetahun yang terkandung didalamnya berasal dari Dewi Saraswati dan Ganapati, sehingga terus dirawat, dilestarikan agar memberikan manfaat bagi penerusnya.
Sementara itu proses identifikasi dan pembacaan lontar yang dilakukan Tim Balar Denpasar dan Peneliti Unud, dimulai dengan mengukur belasan prasasti yang terbuat dari keping tembaga. Dari pengukuran prasasti itu memiliki ukuran dan berat yang sama. Yakni panjang 38 cm, lebar 8,4, tebal 1,57 milimeter dan berat 365 gram.
Dari identifikasi tersebut tim kemudian mengelompokkan belasan prasasti itu menjadi tiga, yakni prasasti Sawan A, B dan C. Pengelompokan tersebut menurut Dosen Peneliti Fakultas Ilmu Budyaa, Unud, I Gusti Ngurah Tara Wiguna, karena ada tiga masa pembuatan belasan prasati itu. Kelompok A berangka tahun 897 Saka terdiri dari empat keping prasasti dan kelompok prasasti Sawan B, berjumlah empat keping berangka tahun 980 Saka diyakini dibuat pada masa Raja Anak Wungsu. Sedangkan prasasti Sawan C, berangka tahun 1020 Saka, terdiri dari sembilan keping prasasti dikeluarkan pada masa kepemimpinan Raja Saka Lindu Kirana.
“Isinya tentang perpajakan. Seperti pengurangan pajak, penataan perpajakan bahkan ada pembebasan pajak. Di dalam prasasti ini juga disebutkan tentang daerah yang berbeda-beda. Seperti wilayah Sukapura, Harangan, Bangli dan Jalan Tengah. Kami masih telusuri wilayah apa saja yang dimaksud itu,” ujar Ngurah Tara.
Koordinator Balai Arkeologi Bali, Nyoman Sunarya, menambahkan berdasarkan isi prasasti itu, pembayaran pajak kepada kerajaan dapat berupa uang dan barang. Nilai tukar uang, yang disebut dalam prasasti diantaranya bernama Masu, Masaka, Mas Warna, kupang, Saga dan Piling. Selain pembayaran dengan mata uang, juga disebutkan ketentuan pembayaran pajak yang dapat dibayar dengan barang.
“Pajak pada zaman itu bisa dibayarkan dalam bentuk uang atau barang. Jenis pajak yang dibayar masyarakat pun cukup beragam, dari perdagangan, pertukangan hingga kesenian,” kata Sunarya.
Prasasti perpajakan itu pun diyakininya dibuat kerajaan untuk mengantisipasi adanya korupsi dari tukang pungut pajak yang saat itu disebut Mangilala Srawya Haji. Raja pun akhirnya mengeluarkan prasasti tentang perpajakan untuk memberikan informasi kepada masyaakatnya berapa jumlah pasti pajak yang harus mereka bayarkan ke kerajaan.*k23
Pamangku Dadia Kawitan Pasek Gelgel Kamasan, Jero Made Widiasa, menjelaskan belasan prasasti yang masih dijaga oleh anggota dadianya itu sudah diwarisi secara turun-temurun. Bahkan ia pun mensinyalir prasasti ini sudah berumur ratusan tahun. Hanya saja selama ini pengempon Kawitan Pasek Gelgeel Kamasan tak mengetahui secara gamblang apa isi prasasti yang mereka miliki. Meski Jro Widiasa mendapatkan cerita dari tetuanya yang menyatakan prasasti itu adalam pemberian dari Raja Anak Wungsu.
Selama ini pangempon dadia hanya mengupacarai prasasti yang mereka sakralkan itu saat pujawali dadia, yang jatuh pada Buda Umanis Prangbakat, setiap enam bulan sekali. “Terus terang kami kurang paham dan belum bisa membaca aksara yang tersurat di prasasti. Biar tidak salah mengartikan juga biar ahlinya dari Balai Arkeologi yang mengidentifikasi,” kata Jero Widiasa.
Belasan keping prasasti yang kemudian teridentifikasi memuat soal pemungutan pajak itu diakui kecocokannya keturunan dengan kondisi leluhur dan dirinya. Sepengetahuannya, leluhurnya memang bekerja sebagai sedahan dan kemudian kini dilajutkan olehnya. Jero Widiasa sendiri saat ini masih aktif sebagai pegawai di Badan Keuangan Daerah (BKD) Buleleng bidang pemungutan pajak.
Widiasa menyebut, secara umum isi prasasti itu menggambarkan tentang pemungutan pajak. Pihaknya pun berasumsi jika leluhurnya terdahulu merupakan petugas pemungut pajak kerajaan. Bahkan profesi itu hingga kini berlanjut sampai kepada dirinya yang menjadi petugas pemungut pajak di Badan Keuangan Daerah (BKD) Buleleng.
Pihaknya pun menjelaskan proses identifikasi dan pembacaan prasasti itu juga disepakati pangempon dadia, mengingat hingga saat ini mereka menyakini prasasti itu memiliki pengetahuan yang tak ternilai. Ilmu pengetahun yang terkandung didalamnya berasal dari Dewi Saraswati dan Ganapati, sehingga terus dirawat, dilestarikan agar memberikan manfaat bagi penerusnya.
Sementara itu proses identifikasi dan pembacaan lontar yang dilakukan Tim Balar Denpasar dan Peneliti Unud, dimulai dengan mengukur belasan prasasti yang terbuat dari keping tembaga. Dari pengukuran prasasti itu memiliki ukuran dan berat yang sama. Yakni panjang 38 cm, lebar 8,4, tebal 1,57 milimeter dan berat 365 gram.
Dari identifikasi tersebut tim kemudian mengelompokkan belasan prasasti itu menjadi tiga, yakni prasasti Sawan A, B dan C. Pengelompokan tersebut menurut Dosen Peneliti Fakultas Ilmu Budyaa, Unud, I Gusti Ngurah Tara Wiguna, karena ada tiga masa pembuatan belasan prasati itu. Kelompok A berangka tahun 897 Saka terdiri dari empat keping prasasti dan kelompok prasasti Sawan B, berjumlah empat keping berangka tahun 980 Saka diyakini dibuat pada masa Raja Anak Wungsu. Sedangkan prasasti Sawan C, berangka tahun 1020 Saka, terdiri dari sembilan keping prasasti dikeluarkan pada masa kepemimpinan Raja Saka Lindu Kirana.
“Isinya tentang perpajakan. Seperti pengurangan pajak, penataan perpajakan bahkan ada pembebasan pajak. Di dalam prasasti ini juga disebutkan tentang daerah yang berbeda-beda. Seperti wilayah Sukapura, Harangan, Bangli dan Jalan Tengah. Kami masih telusuri wilayah apa saja yang dimaksud itu,” ujar Ngurah Tara.
Koordinator Balai Arkeologi Bali, Nyoman Sunarya, menambahkan berdasarkan isi prasasti itu, pembayaran pajak kepada kerajaan dapat berupa uang dan barang. Nilai tukar uang, yang disebut dalam prasasti diantaranya bernama Masu, Masaka, Mas Warna, kupang, Saga dan Piling. Selain pembayaran dengan mata uang, juga disebutkan ketentuan pembayaran pajak yang dapat dibayar dengan barang.
“Pajak pada zaman itu bisa dibayarkan dalam bentuk uang atau barang. Jenis pajak yang dibayar masyarakat pun cukup beragam, dari perdagangan, pertukangan hingga kesenian,” kata Sunarya.
Prasasti perpajakan itu pun diyakininya dibuat kerajaan untuk mengantisipasi adanya korupsi dari tukang pungut pajak yang saat itu disebut Mangilala Srawya Haji. Raja pun akhirnya mengeluarkan prasasti tentang perpajakan untuk memberikan informasi kepada masyaakatnya berapa jumlah pasti pajak yang harus mereka bayarkan ke kerajaan.*k23
Komentar