Desa Adat dan Zaman Now
Desa adat kini terintervensi oleh zaman now. Kesatuan masyarakat hukum adat memeroleh tantangan zaman super modern.
Tradisi dan tata krama pergaulan secara turun-temurun memeroleh tantangan serius dari revolusi internet. Tata hukum, yang bersendikan dresta setempat, harus dikelola agar tidak menciptakan konflik. Presiden Joko Widodo telah meresmikan ‘peta jalan’ yang disebut Making Indonesia 4.0. Bagaimana dengan desa pakraman di Bali?
Apakah awig-awig harus diberlakukan secara ketat asas? Awig-awig bukan peta jalan, ia merupakan tata krama pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun-temurun. Apabila hal ini hanya dilestarikan, niscaya daya saing krama Bali akan amat rendah. Pada zaman now, daya saing merupakan keharusan dalam ekonomi digital. Tanpa daya saing tinggi, krama Bali akan semakin tertinggal (left behind). Lalu bagaimana seharusnya desa adat menginisiasi daya saing?
Menurut Rektor UGM Prof Ir Dwikorita Karnawati MSc PhD, bahwa daya saing dapat diraih melalui pendidikan modern. Menurutnya, pendidikan modern harus berorientasi pada wirausaha sosial (socio-preneurship). Sejak dini, anak-anak harus dilatih berpikir kritis dan kreatif, bukan berorientasi pada naik kelas atau lulus ujian. Pada tingkat dasar dan menengah, anak harus memiliki capaian pembelajaran inovatif. Pada tingkat pendidikan tinggi, lulusan perguruan tinggi harus memiliki kompetensi dalam memasarkan produk inovatif unggulan krama Bali. Misalnya, kearifan lokal tidak hanya untuk pelestarian budaya, tetapi untuk mendatangkan manfaat, bukan profit tetapi benefit, bagi perkembangan krama Bali di era ekonomi digital.
Secara umum, kesenjangan tingkat dan mutu pendidikan krama Bali masih amat lebar. Disparitas tersebut terdapat hampir pada anak usia dini sampai usia dewasa lanjut. Sekadar perbandingan, menurut Intan Ahmad kesenjangan mutu antarperguruan tinggi di Indonesia amat lebar, dari 250.000 dosen baru 10 persen doktor dan 2 persen profesor. Hal ini tentunya berpengaruh pada hasil penelitian yang dilakukan.
Berpikir kritis itu tidak sama dengan berdebat atau mengkritik orang lain. Berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir jernih dan alasan logis. Logika adalah pernyataan yang digunakan untuk mendukung pernyataan selanjutnya. Argumen yang dimaksud bukan persoalan moral, etika, atau norma. Argumen yang baik gayut mendukung simpulan, sedangkan argumen yang buruk berwujud kritikan. Argumen yang baik harus memiliki premis, yang membuat simpulan menjadi kenyataan yang benar. Andaikan ada sebuah percakapan di desa pakraman, seperti, “Bapa Wayan tidak hadir dalam paruman desa“. Kenapa? Kemungkinan tanggapannya, “Memang dia pemalas”; “Bapa Wayan itu minder orangnya”; “Bapa Wayan sedang melakukan tugas di luar desa”. Dari tanggapan tersebut, hanya ketiga yang menunjukkan premis kritis, yaitu menunjukkan fakta dan kebenaran.
Di samping berpikir kritis, berpikir kreatif amat diperlukan juga. Kreativitas pada intinya merupakan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Taat pada tradisi tidak boleh mengesampingkan inovasi. Kemampuan memberikan gagasan-gagasan baru, yang dapat memecahkan masalah perlu dikembangkan di desa pakraman. Menurut Abraham Maslow, yang dikenal dengan Teori Hirarki Kebutuhan, berpendapat kreativitas merupakan salah satu aspek kepribadian yang berhubungan dengan aktualisasi diri. Menurutnya, setiap manusia lahir memiliki potensi kreatif dan realisasinya tergantung pada kondisi yang mendukung. Tradisi tidak dimaksudkan untuk mengikat, tetapi kemampuan untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu, dalam hubungan dengan diri sendiri, alam, dan orang lain. Krama kreatif adalah mereka yang merasakan dan mengamati adanya masalah. Mereka membuat dugaan tentang kekurangan, menilai, menguji dugaan, mengubah, dan akhirnya menyampaikan hasil-hasilnya, menurut Torrance (1988). Dengan modal kepribadian demikian niscaya daya saing krama Bali di era Revolusi Industri 4.0 akan berdampak positif. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Apakah awig-awig harus diberlakukan secara ketat asas? Awig-awig bukan peta jalan, ia merupakan tata krama pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun-temurun. Apabila hal ini hanya dilestarikan, niscaya daya saing krama Bali akan amat rendah. Pada zaman now, daya saing merupakan keharusan dalam ekonomi digital. Tanpa daya saing tinggi, krama Bali akan semakin tertinggal (left behind). Lalu bagaimana seharusnya desa adat menginisiasi daya saing?
Menurut Rektor UGM Prof Ir Dwikorita Karnawati MSc PhD, bahwa daya saing dapat diraih melalui pendidikan modern. Menurutnya, pendidikan modern harus berorientasi pada wirausaha sosial (socio-preneurship). Sejak dini, anak-anak harus dilatih berpikir kritis dan kreatif, bukan berorientasi pada naik kelas atau lulus ujian. Pada tingkat dasar dan menengah, anak harus memiliki capaian pembelajaran inovatif. Pada tingkat pendidikan tinggi, lulusan perguruan tinggi harus memiliki kompetensi dalam memasarkan produk inovatif unggulan krama Bali. Misalnya, kearifan lokal tidak hanya untuk pelestarian budaya, tetapi untuk mendatangkan manfaat, bukan profit tetapi benefit, bagi perkembangan krama Bali di era ekonomi digital.
Secara umum, kesenjangan tingkat dan mutu pendidikan krama Bali masih amat lebar. Disparitas tersebut terdapat hampir pada anak usia dini sampai usia dewasa lanjut. Sekadar perbandingan, menurut Intan Ahmad kesenjangan mutu antarperguruan tinggi di Indonesia amat lebar, dari 250.000 dosen baru 10 persen doktor dan 2 persen profesor. Hal ini tentunya berpengaruh pada hasil penelitian yang dilakukan.
Berpikir kritis itu tidak sama dengan berdebat atau mengkritik orang lain. Berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir jernih dan alasan logis. Logika adalah pernyataan yang digunakan untuk mendukung pernyataan selanjutnya. Argumen yang dimaksud bukan persoalan moral, etika, atau norma. Argumen yang baik gayut mendukung simpulan, sedangkan argumen yang buruk berwujud kritikan. Argumen yang baik harus memiliki premis, yang membuat simpulan menjadi kenyataan yang benar. Andaikan ada sebuah percakapan di desa pakraman, seperti, “Bapa Wayan tidak hadir dalam paruman desa“. Kenapa? Kemungkinan tanggapannya, “Memang dia pemalas”; “Bapa Wayan itu minder orangnya”; “Bapa Wayan sedang melakukan tugas di luar desa”. Dari tanggapan tersebut, hanya ketiga yang menunjukkan premis kritis, yaitu menunjukkan fakta dan kebenaran.
Di samping berpikir kritis, berpikir kreatif amat diperlukan juga. Kreativitas pada intinya merupakan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Taat pada tradisi tidak boleh mengesampingkan inovasi. Kemampuan memberikan gagasan-gagasan baru, yang dapat memecahkan masalah perlu dikembangkan di desa pakraman. Menurut Abraham Maslow, yang dikenal dengan Teori Hirarki Kebutuhan, berpendapat kreativitas merupakan salah satu aspek kepribadian yang berhubungan dengan aktualisasi diri. Menurutnya, setiap manusia lahir memiliki potensi kreatif dan realisasinya tergantung pada kondisi yang mendukung. Tradisi tidak dimaksudkan untuk mengikat, tetapi kemampuan untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu, dalam hubungan dengan diri sendiri, alam, dan orang lain. Krama kreatif adalah mereka yang merasakan dan mengamati adanya masalah. Mereka membuat dugaan tentang kekurangan, menilai, menguji dugaan, mengubah, dan akhirnya menyampaikan hasil-hasilnya, menurut Torrance (1988). Dengan modal kepribadian demikian niscaya daya saing krama Bali di era Revolusi Industri 4.0 akan berdampak positif. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Komentar