Kasus HIV/AIDS di Bali Masih Tinggi
Tahun 2019, Ditemukan 15 WTS Positif HIV/AIDS
DENPASAR, NusaBali
Persoalan penyakit HIV/AIDS masih tinggi di Bali. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dalam kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai tahun 2018, total ada 20.471 orang terjangkit virus HIV/AIDS di Bali. Sebanyak 12.288 merupakan penderita HIV dan 8.813 penderita AIDS.
Dari data tersebut, diperkirakan karena faktor resiko heteroseksual (15.671), homoseksual (2.872), IDU (856), Perinatal (585), Biseksual (90), Tatto (10) dan tidak diketahui (386). Data di tahun 2018 saja menyebutkan, ada 2.174 orang baru, yang terdiri dari 742 orang penderita AIDS dan 1.432 orang terjangkt HIV. Posisi teratas daerah dengan penderita HIV/AIDS terbanyak masih dari Denpasar, Badung, dan Buleleng.
Terkait hal tersebut, Prof Dr dr Ketut Tuti Parwati Merati, dosen yang juga penemu virus HIV/AIDS pertama di Bali mengatakan, dirinya kerap dihindari pasien karena kerap menangani penderita HIV/AIDS. Menurutnya, timbul stigma negatif kepada penderita HIV/AIDS lantaran informasi atau pengetahuan masyarakat yang kurang paham bagaimana penularan HIV/AIDS tersebut. Padahal interaksi atau hubungan sosial tidak ada pengaruhnya terhadap penularan virus HIV,
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ini berharap stigma ini bisa dikikis perlahan sedikit demi sedikit. Apalagi penyakit HIV/AIDS ini sudah ada obatnya. Menurutnya, hal inilah yang harus terus disosialisasikan. “Sekarang sudah ada obatnya. Sehingga masyarakat jangan takut melakukan test HIV/Aids. Jika Anda berasa berisiko, periksakan aja,” ujarnya dalam diskusi santai yang digagas Yayasan Kesehatan Bali (YAKEBA), Forum Diskusi Peduli Bali dan Forum Peduli Aids Bali, di Kubu Kopi, Denpasar, Minggu (31/3).
Sementara Direktur Pelaksana LSM Citra Usadha, Made Efo Suarmiartha, mengatakan, saat ini mereka fokus menyasar para pekerja seks komersial untuk bisa memotong rantai penularan virus HIV. Mereka mengambil dua daerah yakni Badung dan Buleleng. Dalam tiga bulan pertama tahun 2019, setidaknya telah ditemukan 15 WTS yang positif HIV/AIDS. “Dalam tiga bulan dari Januari-Maret 2019, penelusuran kita di Badung dan Buleleng ada 15 WTS yang positif HIV/AIDS. Sedangkan tahun 2018 ada 34 orang. Berarti kan sudah menurun,” ungkap Efo.
Para pekerja seks komersial ini setelah ditemui akan diberikan edukasi. Setelah itu mereka akan diajak tes dan diberi obat. “Fokus kita pada pekerja seks. Jadi setelah dia tes, dapat obat. Obat kini berfungsi dua, yakni mengendalikan virus dan sebagai pencegah. Melalui tes kepada PSK ini, diharapkan maka bisa memotong mata rantai penularan, karena obat ini mampu mencegah. Sedangkan kita tidak bisa sampai ke yang jadi pelanggan. Sebab siapa yang menjadi pelanggan, tidak mau terbuka,” jelasnya. *ind
Persoalan penyakit HIV/AIDS masih tinggi di Bali. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dalam kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai tahun 2018, total ada 20.471 orang terjangkit virus HIV/AIDS di Bali. Sebanyak 12.288 merupakan penderita HIV dan 8.813 penderita AIDS.
Dari data tersebut, diperkirakan karena faktor resiko heteroseksual (15.671), homoseksual (2.872), IDU (856), Perinatal (585), Biseksual (90), Tatto (10) dan tidak diketahui (386). Data di tahun 2018 saja menyebutkan, ada 2.174 orang baru, yang terdiri dari 742 orang penderita AIDS dan 1.432 orang terjangkt HIV. Posisi teratas daerah dengan penderita HIV/AIDS terbanyak masih dari Denpasar, Badung, dan Buleleng.
Terkait hal tersebut, Prof Dr dr Ketut Tuti Parwati Merati, dosen yang juga penemu virus HIV/AIDS pertama di Bali mengatakan, dirinya kerap dihindari pasien karena kerap menangani penderita HIV/AIDS. Menurutnya, timbul stigma negatif kepada penderita HIV/AIDS lantaran informasi atau pengetahuan masyarakat yang kurang paham bagaimana penularan HIV/AIDS tersebut. Padahal interaksi atau hubungan sosial tidak ada pengaruhnya terhadap penularan virus HIV,
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ini berharap stigma ini bisa dikikis perlahan sedikit demi sedikit. Apalagi penyakit HIV/AIDS ini sudah ada obatnya. Menurutnya, hal inilah yang harus terus disosialisasikan. “Sekarang sudah ada obatnya. Sehingga masyarakat jangan takut melakukan test HIV/Aids. Jika Anda berasa berisiko, periksakan aja,” ujarnya dalam diskusi santai yang digagas Yayasan Kesehatan Bali (YAKEBA), Forum Diskusi Peduli Bali dan Forum Peduli Aids Bali, di Kubu Kopi, Denpasar, Minggu (31/3).
Sementara Direktur Pelaksana LSM Citra Usadha, Made Efo Suarmiartha, mengatakan, saat ini mereka fokus menyasar para pekerja seks komersial untuk bisa memotong rantai penularan virus HIV. Mereka mengambil dua daerah yakni Badung dan Buleleng. Dalam tiga bulan pertama tahun 2019, setidaknya telah ditemukan 15 WTS yang positif HIV/AIDS. “Dalam tiga bulan dari Januari-Maret 2019, penelusuran kita di Badung dan Buleleng ada 15 WTS yang positif HIV/AIDS. Sedangkan tahun 2018 ada 34 orang. Berarti kan sudah menurun,” ungkap Efo.
Para pekerja seks komersial ini setelah ditemui akan diberikan edukasi. Setelah itu mereka akan diajak tes dan diberi obat. “Fokus kita pada pekerja seks. Jadi setelah dia tes, dapat obat. Obat kini berfungsi dua, yakni mengendalikan virus dan sebagai pencegah. Melalui tes kepada PSK ini, diharapkan maka bisa memotong mata rantai penularan, karena obat ini mampu mencegah. Sedangkan kita tidak bisa sampai ke yang jadi pelanggan. Sebab siapa yang menjadi pelanggan, tidak mau terbuka,” jelasnya. *ind
Komentar