Kurikulum Bahasa Bali Dinilai Cenderung Generik
Akademisi yang banyak meneliti bahasa Bali, Nengah Arnawa menilai kurikulum pelajaran bahasa Bali saat ini cenderung generik.
DENPASAR, NusaBali
Artinya berlaku umum untuk semua jenjang pendidikan. Dia menyarankan peninjauan ulang kurikulum yang lebih bersifat khusus selaras dengan kebutuhan pada masing-masing jenjang dan karakteristik pendidikan.
Menurut Arnawa, penetapan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No 1 tahun 2018 dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 20 tahun 2013 patut diapresiasi karena menjadi payung hukum pengajaran bahasa Bali sebagai muatan lokal wajib. Namun demikian, perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan kembali secara cermat Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) agar lebih sesuai dengan kebutuhan pembelajaran bahasa Bali. Hal ini mengingat variabel peserta didik dan karakteristik sekolah sangat beragam.
"Pada lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pergub, kompetensi pelajaran bahasa Bali yang dideskripsikan hanya memuat kebutuhan pembelajaran untuk sekolah umum, seperti SD, SMP, dan SMA; sedangkan sekolah yang memiliki karakteristik khusus, seperti: Madrasah, SLB, SMK, dan paket belajar belum tersentuh," ungkapnya.
Kesenjangan yuridis ini membawa posisi guru bahasa Bali pada sekolah khusus menjadi dilematis. Jika pengajaran bahasa Bali dilakukan secara konsisten dengan mengacu pada lampiran Pergub Bali, kompetensi yang diajarkan tidak sesuai kebutuhan pembelajaran, bahkan dalam hal tertentu mustahil dilakukan. "Sebaliknya, jika guru berorentasi pada kebutuhan dan kondisi nyata pembelajaran, maka melanggar pergub yang hingga saat ini masih berlaku," ujarnya.
Ia memaparkan, pada kompetensi dasar untuk siswa kelas I SD tertulis membaca nyaring suku kata dan kata dengan lafal yang tepat. Kompetensi ini sulit diimplementasikan pada siswa kelas I SD SLB B (tunarungu). Kepada siswa kelas II SD SLB A tidak mungkin diajarkan aksara Bali sesuai kompetensi inti dan kompetensi dasar karena tidak tersedia sistem braille. Kepada siswa kelas X SMA SLB B pun tidak mungkin diajak melagukan pupuh. "Hal yang sama pun terjadi pada program paket belajar yang usia peserta didiknya telah melampaui usia wajib belajar. Peserta didik baru pada program paket A, misalnya, tidak bermanfaat jika diajarkan penggunaan bahasa Bali dalam setting bermain," katanya.
Menurutnya, pendeskripsian kebutuhan pembelajaran bahasa Bali dirasakan sangat penting, perlu, dan mendesak karena alokasi waktu yang tersedia sangat terbatas, yakni hanya dua jam pelajaran/minggu serta karakteristik peserta didik dan sekolah yang sangat bervariasi. Fakta adanya keragaman variabel peserta didik dan lembaga persekolahan harus diselaraskan dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang menjadi tujuan pembelajarannya. *ind
Menurut Arnawa, penetapan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No 1 tahun 2018 dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 20 tahun 2013 patut diapresiasi karena menjadi payung hukum pengajaran bahasa Bali sebagai muatan lokal wajib. Namun demikian, perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan kembali secara cermat Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) agar lebih sesuai dengan kebutuhan pembelajaran bahasa Bali. Hal ini mengingat variabel peserta didik dan karakteristik sekolah sangat beragam.
"Pada lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pergub, kompetensi pelajaran bahasa Bali yang dideskripsikan hanya memuat kebutuhan pembelajaran untuk sekolah umum, seperti SD, SMP, dan SMA; sedangkan sekolah yang memiliki karakteristik khusus, seperti: Madrasah, SLB, SMK, dan paket belajar belum tersentuh," ungkapnya.
Kesenjangan yuridis ini membawa posisi guru bahasa Bali pada sekolah khusus menjadi dilematis. Jika pengajaran bahasa Bali dilakukan secara konsisten dengan mengacu pada lampiran Pergub Bali, kompetensi yang diajarkan tidak sesuai kebutuhan pembelajaran, bahkan dalam hal tertentu mustahil dilakukan. "Sebaliknya, jika guru berorentasi pada kebutuhan dan kondisi nyata pembelajaran, maka melanggar pergub yang hingga saat ini masih berlaku," ujarnya.
Ia memaparkan, pada kompetensi dasar untuk siswa kelas I SD tertulis membaca nyaring suku kata dan kata dengan lafal yang tepat. Kompetensi ini sulit diimplementasikan pada siswa kelas I SD SLB B (tunarungu). Kepada siswa kelas II SD SLB A tidak mungkin diajarkan aksara Bali sesuai kompetensi inti dan kompetensi dasar karena tidak tersedia sistem braille. Kepada siswa kelas X SMA SLB B pun tidak mungkin diajak melagukan pupuh. "Hal yang sama pun terjadi pada program paket belajar yang usia peserta didiknya telah melampaui usia wajib belajar. Peserta didik baru pada program paket A, misalnya, tidak bermanfaat jika diajarkan penggunaan bahasa Bali dalam setting bermain," katanya.
Menurutnya, pendeskripsian kebutuhan pembelajaran bahasa Bali dirasakan sangat penting, perlu, dan mendesak karena alokasi waktu yang tersedia sangat terbatas, yakni hanya dua jam pelajaran/minggu serta karakteristik peserta didik dan sekolah yang sangat bervariasi. Fakta adanya keragaman variabel peserta didik dan lembaga persekolahan harus diselaraskan dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang menjadi tujuan pembelajarannya. *ind
1
Komentar