MUTIARA WEDA : Teori 'Kita'
Semoga Dia melindungi kita berdua, semoga Dia senang dengan kita berdua. Semoga kita bisa bekerjasama dengan penuh semangat. Semoga pelajaran ini menerangi kita. Semoga tidak ada kebencian di antara kita.
Om Saha nav avatu saha nau bhunaktu, saha viryam karavavahai
tejasvinavadhitam astu ma vidhvisavahai.
(Taittiriya Upanisad, II.1)
‘KITA’ dalam teks ini maksudnya adalah guru dan murid. Ada lima harapan bersama dituangkan di dalamnya. Dua harapan ditujukan kepada Realitas Tertinggi. Dua harapan lainnya mengenai relasi. Dan, satu harapan agar tercerahi bersama. Kepada-Nya memohon agar diberikan perlindungan dan selalu berada dalam pelukan-Nya. Ketika terjadi proses transfer dan transformasi pengetahuan dari guru ke murid, perlindungan dan dukungan dari Yang Tertinggi sangat diperlukan. Demikian juga dalam proses tersebut, kerjasama dan rasa kasih sayang antara guru dan murid tidak boleh melemah. Sehingga dengan demikian, transfer dan transformasi pengetahuan tersebut dapat memberikan jalan terang baik bagi guru maupun kepada murid. Seperti itulah kira-kira kejadian ideal yang ada di dalam proses guru-sisya di dalam sebuah perguruan spiritual.
Masalahnya adalah, mengapa harus ‘kita’? Mengapa tidak ‘dia’ atau ‘mereka’ jika yang mengucapkan mantra di atas adalah Sang Guru? Mengapa tidak ‘hamba’, ‘aku’ atau ‘kami’ jika yang mengucapkan adalah para murid? Bukankah seorang Guru tidak memerlukan lagi perlindungan dari Tuhan? Bukankah seorang guru tidak memerlukan lagi rasa senang dari Yang Tertinggi tersebut? Bukankah pengetahuan yang diajarkan oleh seorang guru telah menyinari dirinya sendiri dan tidak perlu lagi berharap untuk disinari? Bukankah seorang guru adalah dia yang merupakan Brahmanista (yang telah menyatu dengan Brahman) dan Srotriya (dia yang menguasai Veda)? Bukankah seorang guru sudah lepas dari rasa benci? Apa pentingnya ‘basa-basi’ seperti teks di atas?
Ada beberapa indikasi yang bisa diamati mengapa mantra di atas tetap penting baik bagi guru maupun bagi murid. Pertama, pertimbangan etik. Seorang guru ketika mengajar masih memerlukan badan, demikian juga seorang murid, sehingga mereka masing-masing berada dalam badan. Oleh karena badan mereka berbeda, maka diperlukan etika tertentu di dalam hubungannya. Pada prinsipnya pengetahuan itu bersumber dari Realitas Sejati melalui seorang guru, maka badan guru tersebut mesti tunduk pada kekuatan tersebut. Sehingga, secara etik, guru juga mesti menyampaikan rasa tunduk hati kepada kekuatan Beliau. Demikian juga bagi murid mesti menyampaikan hal yang sama. Itulah mengapa kata ‘kita’ dihadirkan agar tunduk di bawah perlindungan Tuhan. Demikian juga secara sosial mereka berada di dalam sebuah hubungan sehingga diharapkan dapat bekerja sama dan saling mengasihi di antara mereka.
Kedua, pertimbangan kesadaran. Guru adalah dia yang sudah jadi, sementara murid adalah dia yang telah siap dijadikan. Untuk sementara, kesadaran mereka masih berbeda. Tetapi, ketika proses transfer dan transformasi pengetahuan itu terjadi, baik guru maupun murid mesti berada dalam frekuensi yang sama. Tanpa frekuensi yang sama, transmisi yang dipancarkan oleh sang guru tidak bisa diterima oleh sang murid. Dalam rangka menyamakan frekuensi inilah mantra di atas menjadi signifikan. Hanya ketika keduanya sama-sama berada dalam lindungan Tuhan, berada dalam kondisi kerjasama, dan tanpa kebencian di antara mereka, maka pengetahuan yang disampaikan akan memberikan pencerahan. Ketika proses pembelajaran berlangsung, sang murid mesti mencurahkan kesadarannya secara penuh ke hadapan guru, demikian juga sang guru mengisi sang murid sesuai dengan level kesadaran sang murid itu sendiri.
Ketiga, pertimbangan eksistensi. Menurut ajaran Advaita Vedanta, pada prinsipnya Atman dan Brahman itu tidak berbeda. Atman adalah tunggal, yang menyelimuti segalanya. Sehingga, jiwa yang ada pada sang guru maupun jiwa yang ada pada murid sesungguhnya Atman yang tunggal itu. Situasi yang terjadi antara mereka sebenarnya hanya bermain peran dalam drama kehidupan, yang satu sebagai guru dan yang lainnya sebagai murid, sementara segala di balik semua itu adalah Sang Dalang yang tunggal itu. Segala sesuatu di luar Atman atau Brahman adalah maya, yakni sesuatu yang tidak memiliki eksistensi. Sang murid pada saat itu diceritakan masih terselubung maya sehingga belum mampu melihat dirinya yang Nyata. Dalam rangka menemukan yang Nyata itulah mengapa drama kehidupaan itu harus diperankan. Mantra di atas pada prinsipnya mengindikasikan seperti demikian, baik guru maupun murid pada prinsipnya tidak berbeda satu dengan yang lain. Dan, untuk itu mantra di atas menggunakan kata ‘kita’. *
I Gede Suwantana
(Taittiriya Upanisad, II.1)
‘KITA’ dalam teks ini maksudnya adalah guru dan murid. Ada lima harapan bersama dituangkan di dalamnya. Dua harapan ditujukan kepada Realitas Tertinggi. Dua harapan lainnya mengenai relasi. Dan, satu harapan agar tercerahi bersama. Kepada-Nya memohon agar diberikan perlindungan dan selalu berada dalam pelukan-Nya. Ketika terjadi proses transfer dan transformasi pengetahuan dari guru ke murid, perlindungan dan dukungan dari Yang Tertinggi sangat diperlukan. Demikian juga dalam proses tersebut, kerjasama dan rasa kasih sayang antara guru dan murid tidak boleh melemah. Sehingga dengan demikian, transfer dan transformasi pengetahuan tersebut dapat memberikan jalan terang baik bagi guru maupun kepada murid. Seperti itulah kira-kira kejadian ideal yang ada di dalam proses guru-sisya di dalam sebuah perguruan spiritual.
Masalahnya adalah, mengapa harus ‘kita’? Mengapa tidak ‘dia’ atau ‘mereka’ jika yang mengucapkan mantra di atas adalah Sang Guru? Mengapa tidak ‘hamba’, ‘aku’ atau ‘kami’ jika yang mengucapkan adalah para murid? Bukankah seorang Guru tidak memerlukan lagi perlindungan dari Tuhan? Bukankah seorang guru tidak memerlukan lagi rasa senang dari Yang Tertinggi tersebut? Bukankah pengetahuan yang diajarkan oleh seorang guru telah menyinari dirinya sendiri dan tidak perlu lagi berharap untuk disinari? Bukankah seorang guru adalah dia yang merupakan Brahmanista (yang telah menyatu dengan Brahman) dan Srotriya (dia yang menguasai Veda)? Bukankah seorang guru sudah lepas dari rasa benci? Apa pentingnya ‘basa-basi’ seperti teks di atas?
Ada beberapa indikasi yang bisa diamati mengapa mantra di atas tetap penting baik bagi guru maupun bagi murid. Pertama, pertimbangan etik. Seorang guru ketika mengajar masih memerlukan badan, demikian juga seorang murid, sehingga mereka masing-masing berada dalam badan. Oleh karena badan mereka berbeda, maka diperlukan etika tertentu di dalam hubungannya. Pada prinsipnya pengetahuan itu bersumber dari Realitas Sejati melalui seorang guru, maka badan guru tersebut mesti tunduk pada kekuatan tersebut. Sehingga, secara etik, guru juga mesti menyampaikan rasa tunduk hati kepada kekuatan Beliau. Demikian juga bagi murid mesti menyampaikan hal yang sama. Itulah mengapa kata ‘kita’ dihadirkan agar tunduk di bawah perlindungan Tuhan. Demikian juga secara sosial mereka berada di dalam sebuah hubungan sehingga diharapkan dapat bekerja sama dan saling mengasihi di antara mereka.
Kedua, pertimbangan kesadaran. Guru adalah dia yang sudah jadi, sementara murid adalah dia yang telah siap dijadikan. Untuk sementara, kesadaran mereka masih berbeda. Tetapi, ketika proses transfer dan transformasi pengetahuan itu terjadi, baik guru maupun murid mesti berada dalam frekuensi yang sama. Tanpa frekuensi yang sama, transmisi yang dipancarkan oleh sang guru tidak bisa diterima oleh sang murid. Dalam rangka menyamakan frekuensi inilah mantra di atas menjadi signifikan. Hanya ketika keduanya sama-sama berada dalam lindungan Tuhan, berada dalam kondisi kerjasama, dan tanpa kebencian di antara mereka, maka pengetahuan yang disampaikan akan memberikan pencerahan. Ketika proses pembelajaran berlangsung, sang murid mesti mencurahkan kesadarannya secara penuh ke hadapan guru, demikian juga sang guru mengisi sang murid sesuai dengan level kesadaran sang murid itu sendiri.
Ketiga, pertimbangan eksistensi. Menurut ajaran Advaita Vedanta, pada prinsipnya Atman dan Brahman itu tidak berbeda. Atman adalah tunggal, yang menyelimuti segalanya. Sehingga, jiwa yang ada pada sang guru maupun jiwa yang ada pada murid sesungguhnya Atman yang tunggal itu. Situasi yang terjadi antara mereka sebenarnya hanya bermain peran dalam drama kehidupan, yang satu sebagai guru dan yang lainnya sebagai murid, sementara segala di balik semua itu adalah Sang Dalang yang tunggal itu. Segala sesuatu di luar Atman atau Brahman adalah maya, yakni sesuatu yang tidak memiliki eksistensi. Sang murid pada saat itu diceritakan masih terselubung maya sehingga belum mampu melihat dirinya yang Nyata. Dalam rangka menemukan yang Nyata itulah mengapa drama kehidupaan itu harus diperankan. Mantra di atas pada prinsipnya mengindikasikan seperti demikian, baik guru maupun murid pada prinsipnya tidak berbeda satu dengan yang lain. Dan, untuk itu mantra di atas menggunakan kata ‘kita’. *
I Gede Suwantana
1
Komentar