Puluhan Lempeng Prasasti Tamblingan Di-review
Balai Arkeologi Denpasar bersama Tim Peneliti Universitas Udayana (Unud) didampingi Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng lanjut menelusuri sejumlah desa dan tempat bersejarah di Buleleng.
SINGARAJA, NusaBali
Pembacaan prasasti pun kembali dilakukan kali ini menyasar sejumlah prasasti yang tersimpan di Puri Gobleg, Desa Gobleg, Kecamatan Banjar, Buleleng, Kamis (4/4).
Puluhan lempeng prasasti yang masih tersimpan apik itu membahas tentang Desa Tamblingan yang dahulu diduga mewilayahi catur desa. Namun sejumlah prasasti saat ini dibaca dalam kondisi karatan dan rapuh.
Tim Balar dan peneliti Unud sudah sampai di Puri Gobleg pada pukul 10.00 WITA, disambut oleh pangerajeg Puri Gobleg, I Gusti Agung Ngurah Pradnyan. Dalam pembacaan kembali prasasti tamblingan, Pangerajeg Puri Gobleg, I Gusti Agung Ngurah Pradnyan mengeluarkan dua buah tempat penyimpananan prasasti. Satu berbentuk guci berukuran besar yang dililit kain kasa putih dan satu lagi berbentuk keropak.
Menurut I Gusti Agung Ngurah Pradnyan, khusus untuk belasan prasasti yang disimpan di dalam guci, disebutnya ditemukan sekitar tahun 2001 silam di wilayah Pura Endek, kawasan Danau Tamblingan, Banjar Dinas Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar Buleleng. Saat itu krama pengempon sedang bergotong royong pelebaran tembok panyengker pura. Secara tidak sengaja, tutup guci itu terlihat krama dan setelah diangkat ditengahnya berisi belasan prasasti, yang kini dikenal dengan prasasti Pura Endek.
“Saat didapat sudah begitu disimpan dalam guci, kami wilayah catur desa yakni Gobleg, Munduk, Umajero dan Gesing memang sampai sekarang masih solid melestarikan puluhan pura yang konon dulu catur desa ini masuk dalam wilayah Desa Tamblingan yang berpusat di sekitar Danau Tamblingan,” tutur I Gusti Agung Ngurah Pradnyan.
Menurut sejarah dari hasil penelitian dan tutur leluhurnya terdahulu konon Desa Tamblingan yang mewilayahi catur desa ini memang sudah ditemukan peradabannya di sekitar Danau Tamblingan bernagka tahun 800. Selanjutnya sekitar tahun 1.400, peradaban Desa Tamblingan disebut-sebut dipindah ke Gobleg, karena upaya pelestarian dan penghormatan Danau Tamblingan sebagai daerah hulu yang disucikan. Selain juga Danau Tamblingan disetrilkan karena dipercaya sebagai sumber kehidupan dengan kelimpahan ketersediaan airnya.
“Kalau dulu di sana tidak bisa dilakukan upacara Pitra Yadnya, karena menurut sejarah saat dilakukan upacara pitra yadnya tiba-tiba, sawa (jenazah) menghilang misterius, apakah karena kesuburan tanah atau kesucian wilayah itu karena posisinya memang di hulu (diatas) desa,” imbuh pangerajeg Puri Gobleg I Gusti Agung Ngurah Pradnyan.
Sedangkan delapan lempeng prasasti lainnya yang ada di dalam sebuah keropak kayu disebut I Gusti Ngurah Agung Pradnyan ditemukan pada masa kolonial Belanda. Prasasti itu pun sudah diwarisi secara turun temurun oleh keluarga Puri Gobleg. “Yang di keropak memang tami tinami (warisan turun temurun) sejak dulu sudah ada, cerita dari ibu dulu sudha diterima begitu. Hanya dibilang pernah dibaca Dr Goris, akhir-akhir ini baru direview kembali,” kata pangerajeg Puri berusia 65 tahun itu.
Puluhan keping prasasti yang disimpan keluarga Puri Gobleg sejauh ini memang dijaga baik. Meskipun tidak ada upacara khusus yang dilakukan dan tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan upacara di puluhan pura yang disungsung oleh catur desa. “Tidak ada upacara khusus paling saat Tumpek Lnadep dibersihkan secara simbolis saja, kalau isinya jarang ada yang tahu,” imbuh I Gusti Agung Ngurah Pradnyan.
Terkait kondisi prasasti yang sebagian memang sudah keropos, pihak Puri pun berharap bisa direstorasi kembali oleh Balai Pelestai Cagar Budaya (BPCB) Bali, sehingga keberadaan prasasti Tamblingan sebagai saksi sejarah dapat dilestarikan.
Sementara itu dari review yang dilakukan oleh tim peneliti Unud dan Balar Denpasar, memang tak dipungkiri prasasti Tmablingan mengalami karatan dan keropos. Bahkan ada sejumlah bagian menjadi keping-keping kecil yang sulit untuk dibaca isinya secara keseluruhan. Dosen Peneliti Fakultas Ilmu Budyaa, Unud, Dr I Gusti Ngurah Tara Wiguna, MHum, menjelaskan dari puluhan prasasti Tamblingan baik dari Prasasti Pura Endek di dalam Guci dan Prasasti Pura Batur dalam keropak, hanya 22 keping yang utuh dan bisa dibaca secara keseluruhan. Sedangkan sejumlah lainnya dalam bentuk keping patahan yang belum dapat dibaca secara utuh.
Sesuai dengan hasil pembacaan prasasti Tamblingan itu secara umum menjelaskan tentang batas Desa Tamblingan yang tergambarkan wilayahnya cukup luas meliputi daerah Catur Desa. Dalam prasasti itu pun disebutkan sejumlah nama-nama perbatasan desa seperti, batu mecapak, kedu, pangi, batu mejan, batu ngadeg, hingga belah manuk. Selain juga membahas terkait perpajakan dan kewajiban serta hak warga desa Tamblingan pada masa itu.
“Saat ini kami re-cek kembali tentang hasil bacaan terdahulu, ada kemungkinan kesalahan pembacaan dan kemudian diambil isinya sebagai data sejarah lokal. Kami ingin telusuri desa yang disebutkan dalam prasasti batas desa, apakah berdiri sendiri atau ditopang daerah lainnya,” kata Ngurah Tara.
Berdasarkan hasil pengempokan, prasasti Tamblingan dibuat oleh tiga raja yang pernah mempimpin Bali. Yakni sejumlah lempeng prasasti berangka tahun 884 saka dibuat pada masa Raja Ugrasena, sejumlah prasasti yang tak disebut tahun pembuatannya oleh Raja Udayana dan terakhir pada masa kerajaan Suradipa berangka tahun 1041 saka.
Rata-rata lempeng prasasti berbahan plat tembaga itu memiliki panjang 42,4 sentimeter, lebar 8, 7 sentimeter, tebal 2,7 milimeter dan berat 800 gram. Namun ada pula lempeng yang lebih besar dan lebar dnegan bentuk melengkung, yang disebut-sebut dipengaruhi oleh tempat penyimpangan dalam guci. Seluruh prasasti ditulis dnegan huruf Bali Kuno atau huruf Kawi berbahasa Jawa Kuno.
“Bentuknya ada yang sudah melengkung karena pengaruh penyimpanan dalam waktu cukup lama, tertanam di tanah akan mengalami masa keseimbangan setelah diangkat dengan suhu berbeda itu yang menyebabkan korosi dan patah, kami nanti akan rekomendasikan kepada BPCB untuk direstorasi,” ujar Ngurah Tara. *k23
Puluhan lempeng prasasti yang masih tersimpan apik itu membahas tentang Desa Tamblingan yang dahulu diduga mewilayahi catur desa. Namun sejumlah prasasti saat ini dibaca dalam kondisi karatan dan rapuh.
Tim Balar dan peneliti Unud sudah sampai di Puri Gobleg pada pukul 10.00 WITA, disambut oleh pangerajeg Puri Gobleg, I Gusti Agung Ngurah Pradnyan. Dalam pembacaan kembali prasasti tamblingan, Pangerajeg Puri Gobleg, I Gusti Agung Ngurah Pradnyan mengeluarkan dua buah tempat penyimpananan prasasti. Satu berbentuk guci berukuran besar yang dililit kain kasa putih dan satu lagi berbentuk keropak.
Menurut I Gusti Agung Ngurah Pradnyan, khusus untuk belasan prasasti yang disimpan di dalam guci, disebutnya ditemukan sekitar tahun 2001 silam di wilayah Pura Endek, kawasan Danau Tamblingan, Banjar Dinas Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar Buleleng. Saat itu krama pengempon sedang bergotong royong pelebaran tembok panyengker pura. Secara tidak sengaja, tutup guci itu terlihat krama dan setelah diangkat ditengahnya berisi belasan prasasti, yang kini dikenal dengan prasasti Pura Endek.
“Saat didapat sudah begitu disimpan dalam guci, kami wilayah catur desa yakni Gobleg, Munduk, Umajero dan Gesing memang sampai sekarang masih solid melestarikan puluhan pura yang konon dulu catur desa ini masuk dalam wilayah Desa Tamblingan yang berpusat di sekitar Danau Tamblingan,” tutur I Gusti Agung Ngurah Pradnyan.
Menurut sejarah dari hasil penelitian dan tutur leluhurnya terdahulu konon Desa Tamblingan yang mewilayahi catur desa ini memang sudah ditemukan peradabannya di sekitar Danau Tamblingan bernagka tahun 800. Selanjutnya sekitar tahun 1.400, peradaban Desa Tamblingan disebut-sebut dipindah ke Gobleg, karena upaya pelestarian dan penghormatan Danau Tamblingan sebagai daerah hulu yang disucikan. Selain juga Danau Tamblingan disetrilkan karena dipercaya sebagai sumber kehidupan dengan kelimpahan ketersediaan airnya.
“Kalau dulu di sana tidak bisa dilakukan upacara Pitra Yadnya, karena menurut sejarah saat dilakukan upacara pitra yadnya tiba-tiba, sawa (jenazah) menghilang misterius, apakah karena kesuburan tanah atau kesucian wilayah itu karena posisinya memang di hulu (diatas) desa,” imbuh pangerajeg Puri Gobleg I Gusti Agung Ngurah Pradnyan.
Sedangkan delapan lempeng prasasti lainnya yang ada di dalam sebuah keropak kayu disebut I Gusti Ngurah Agung Pradnyan ditemukan pada masa kolonial Belanda. Prasasti itu pun sudah diwarisi secara turun temurun oleh keluarga Puri Gobleg. “Yang di keropak memang tami tinami (warisan turun temurun) sejak dulu sudah ada, cerita dari ibu dulu sudha diterima begitu. Hanya dibilang pernah dibaca Dr Goris, akhir-akhir ini baru direview kembali,” kata pangerajeg Puri berusia 65 tahun itu.
Puluhan keping prasasti yang disimpan keluarga Puri Gobleg sejauh ini memang dijaga baik. Meskipun tidak ada upacara khusus yang dilakukan dan tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan upacara di puluhan pura yang disungsung oleh catur desa. “Tidak ada upacara khusus paling saat Tumpek Lnadep dibersihkan secara simbolis saja, kalau isinya jarang ada yang tahu,” imbuh I Gusti Agung Ngurah Pradnyan.
Terkait kondisi prasasti yang sebagian memang sudah keropos, pihak Puri pun berharap bisa direstorasi kembali oleh Balai Pelestai Cagar Budaya (BPCB) Bali, sehingga keberadaan prasasti Tamblingan sebagai saksi sejarah dapat dilestarikan.
Sementara itu dari review yang dilakukan oleh tim peneliti Unud dan Balar Denpasar, memang tak dipungkiri prasasti Tmablingan mengalami karatan dan keropos. Bahkan ada sejumlah bagian menjadi keping-keping kecil yang sulit untuk dibaca isinya secara keseluruhan. Dosen Peneliti Fakultas Ilmu Budyaa, Unud, Dr I Gusti Ngurah Tara Wiguna, MHum, menjelaskan dari puluhan prasasti Tamblingan baik dari Prasasti Pura Endek di dalam Guci dan Prasasti Pura Batur dalam keropak, hanya 22 keping yang utuh dan bisa dibaca secara keseluruhan. Sedangkan sejumlah lainnya dalam bentuk keping patahan yang belum dapat dibaca secara utuh.
Sesuai dengan hasil pembacaan prasasti Tamblingan itu secara umum menjelaskan tentang batas Desa Tamblingan yang tergambarkan wilayahnya cukup luas meliputi daerah Catur Desa. Dalam prasasti itu pun disebutkan sejumlah nama-nama perbatasan desa seperti, batu mecapak, kedu, pangi, batu mejan, batu ngadeg, hingga belah manuk. Selain juga membahas terkait perpajakan dan kewajiban serta hak warga desa Tamblingan pada masa itu.
“Saat ini kami re-cek kembali tentang hasil bacaan terdahulu, ada kemungkinan kesalahan pembacaan dan kemudian diambil isinya sebagai data sejarah lokal. Kami ingin telusuri desa yang disebutkan dalam prasasti batas desa, apakah berdiri sendiri atau ditopang daerah lainnya,” kata Ngurah Tara.
Berdasarkan hasil pengempokan, prasasti Tamblingan dibuat oleh tiga raja yang pernah mempimpin Bali. Yakni sejumlah lempeng prasasti berangka tahun 884 saka dibuat pada masa Raja Ugrasena, sejumlah prasasti yang tak disebut tahun pembuatannya oleh Raja Udayana dan terakhir pada masa kerajaan Suradipa berangka tahun 1041 saka.
Rata-rata lempeng prasasti berbahan plat tembaga itu memiliki panjang 42,4 sentimeter, lebar 8, 7 sentimeter, tebal 2,7 milimeter dan berat 800 gram. Namun ada pula lempeng yang lebih besar dan lebar dnegan bentuk melengkung, yang disebut-sebut dipengaruhi oleh tempat penyimpangan dalam guci. Seluruh prasasti ditulis dnegan huruf Bali Kuno atau huruf Kawi berbahasa Jawa Kuno.
“Bentuknya ada yang sudah melengkung karena pengaruh penyimpanan dalam waktu cukup lama, tertanam di tanah akan mengalami masa keseimbangan setelah diangkat dengan suhu berbeda itu yang menyebabkan korosi dan patah, kami nanti akan rekomendasikan kepada BPCB untuk direstorasi,” ujar Ngurah Tara. *k23
1
Komentar