Pastika Beber Fakta Terkait Sandoz
Versi Pastika, Putu Sandoz menjadi konsultan AA Ngurah Alit Wiraputra hanya sampai proses keluarnya izin prinsip dari Pemprov Bali
Tegaskan Putranya Dapat Dana dalam Kapasitas Jadi Konsultan
DENPASAR, NusaBali
Gubernur Bali (2008-2018) Made Mangku Pastika beberkan fakta terkait putranya, Putu Sandoz, yang disebut menerima aliran dana oleh tersangka kasus dugaan penipuan pengurusan izin proyek Pelindo III Pelabuhan Benoa, Denpasar Selatan, AA Ngurah Alit Wiraputra. Mangku Pastika bantah Putu Sandoz ikut bagi-bagi uang hasil penipuan.
Menurut Mangku Pastika, Putu Sandoz mendapatkan dana sesuai dengan tugasnya sebagai konsultan ketika pihak Alit Wiraputra, Sutrisno Sastro Lukito, Made Jayantara, Candra Wijaya mengurus izin prinsip ke Pemprov Bali untuk kepentingan mengurus peizinan proyek di Pelindo III, Pelabuhan Benoa. Dalam kasus yang menyerat Ketua Kadin Bali AA Ngurah Alit Wiraputra sebagai terangka ini, Putu Sandoz sudah dimintai keterangannya sebagai saksi oleh penyidik Polda Bali.
“Putu Sandoz sudah dimintai keterangan oleh penyidik Polda Bali sebagai saksi. Sebenarnya, ini sudah selesai 2012-2014. Tapi, kenapa baru sekarang muncul? Ini jadi pertanyaan juga,” ujar Pastika dalam keterangan persnya di Denpasar, Sabtu (13/4).
Pastika membeberkan, sekitar tahun 2012 silam, Sutrisno Sastro Lukito bersama Alit Wiraputra, Made Jayantara, dan Candra Wijaya (dari satu perusahaan) akan berproses mengurus izin untuk proyek pelebaran Pelabuhan Benoa. Sebelum mengajukan perizinan lengkap ke Pelindo III Benoa, lebih dulu harus mendapatkan izin prinsip dari Pemprov Bali. Saat itu, Alit Wiraputra---pengusaha yang juga politisi Gerindra asal Banjar Tuka, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Badung--- meminta tolong kepada Putu Sandoz. Kebetulan, Alit Wiraputra dan Putu Sandoz sama-sama menjadi pengurus Kadin Bali.
“Saat itu, Sandoz membantu bukan karena punya akses atau sebagai anak Gubernur. Tapi, dia sebagai Wakil Ketua Bidang Investasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bali. Ketua Kadin Bali saat itu dipegang Gede Sumarjaya Linggih (Demer),” kenang Pastika.
Selain pengurus Kadin Bali, kata Pastika, Sandoz saat itu juga menjadi Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bali. “Sandoz saat itu menjadi konsultan untuk Alit Wiraputra. Dan, Alit Wiraputra yang membuat perjanjian dengan perusahaan Sutrisno. Sandoz tidak mau ikut di dalam perusahaan tersebut, karena tak mau ada konflik kepentingan,” lanjut Pastika.
Dalam perjanjian antara Sandoz dengan Alit Wiraputra sebagai wakil pihak perusahaan yang mengurus izin, hanya sebatas menyelesaikan atau mendapatkan izin prinsip dari Pemprov Bali. “Perjanjiannya sampai menyelesaikan izin prinsip dari Pemprov Bali. Siapa yang ditipu?” tanya Pastika.
Dalam perjalanan selanjutnya, kata Pastika, proses mendapatkan rekomendasi dari Pemprov Bali melalui mekanisme birokrasi di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Jabatan Kepala Bappeda Provinsi Bali saat itu dipegang Tjokorda Ngurah Pemayun.
“Dalam proses mengurus rekomendasi itu, ada presentasi bolak-balik di Bappeda. Berita acaranya ada. Rapat-rapat ada buktinya. Sampai ada pengajuan permohonan rekomendasi ke DPRD Bali. Ada rekomendasi dari DPRD Bali,” tandas mantan Kapolda Bali ini.
Pastika memaparkan, periode 2012-2014, seluruh proses di Bappeda Bali dan permohonan rekomendasi dari DPRD Bali selesai dan keluar izin prinsip untuk dipakai mengurus izin ke Pelindo III. Izin prinsip itu ditandatangani Kepala Bappeda Provinsi Bali, Tjok Ngurah Pemayun. “Izin prinsip itu bunyinya: ‘pada prinsipnya dapat menyetujui....’ Silakan tanya ke Pak Tjok Pemayun,” pinta Pastika.
Menurut Pastika, begitu izin prinsip dikeluarkan, kemudian diserahkan kepada Sutrisno Sastro Lukito---pemilik modal yang jadi pelapor dalam dugaan penipuan pengurusan perizinan proyek Pelindo III. Tanda terima penyerahan izin prinsip juga ada.
“Sandoz sudah selesai tugasnya sebagai konsultan sesuai dengan perjanjian. Kan dia bertugas sampai mengurus izin prinsip. Semuanya sudah selesai. Saya tegaskan Sandoz sebagai konsultan tidak pernah mendapatkan fasilitas atau kemudahan dari saya selaku Gubernur Bali saat itu. Seluruh prosedur dan mekanisme semuanya berjalan. Saya sudah tanya ke Tjok Pemayun, silakan konfirmasi ke dia,” papar Pastika.
Apakah Sandoz mendapatkan dana seperti yang ditudingkan tersangka Alit Wiraputra? “Ya, memang Sandoz dapat dana. Uang tersebut diberikan dalam setiap termin pekerjaan. Artinya, dana dalam termin sebagai konsultan. Masa orang kerja nggak dibayar? Itu resmi sebagai konsultan, lho.”
Sayangnya, Tjok Pemayun belum bisa dimintai komentar terkait dengan posisinya sebagai Kepala Bappeda Bali 2012-2014 sehubungan dengan pengurusan izin prinsip yang diajukan pihak Alit Wiraputra, dengan konsultas Putu Sandoz. Saat dihubungi NusaBali per telepon, Minggu kemarin, Tjok Pemayun yang juga mantan Sekda Provinsi Bali ini tidak angkat ponselnya. Pesan WhatsApp yang dikirim NusaBali juga tidak dibalas.
Sementara itu, mantan Ketua Kadin Bali Gede Sumarjaya Linggih alias Demer, mengatakan memang dirinya yang menjabat sebagai Ketua Kadin Bali saat Alit Wiraputra mengurus izin prinsip ke Pemprov Bali tahun 2012. Saat itu, Alit Wiraputra dan Putu Sandoz menjadi Wakil Ketua Bidang Kadin Bali.
Namun, kata Demer, dirinya tidak pernah mengetahui urusan antara Alit Wiraputra dan Sandoz terkait pengurusan izin proyek pelebaran Pelabuhan benoa. “Saya memang menjabat Ketua Kadin Bali saat itu. Tapi, kalau mereka (Alit Wiraputra dan Sandoz, Red) mengurus izin, saya nggak tahu itu,” ujar Demer saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Minggu (14/4).
Demer menegaskan, sepengetahuan dirinya sebagai anggota Komisi VI DPR RI (yang membidangi BUMN) saat itu, urusan izin prinsip dari BUMN kepada Pemprov biasanya melalui pemerintah dengan pemerintah. “Pelindo kan BUMN itu. Jadi, kalau ada mengurus izin prinsip ke Pemprov Bali, ya Pelindo dengan Pemprov Bali. Saya nggak tahu, kok bisa ada Alit Wiraputra dan perusahaan Sutrisno di sana. Nggak ngerti dah,” ujar politisi asal Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng yang juga Plt Ketua DPD I Golkar Bali ini.
Sebelumnya, tersangka AA Ngurah Alit Wiraputra bersuara lantang sesaat sebelum dijebloskan ke sel tahanan Polda Bali, Kamis (11/4) sore pukul 15.30 Wita. Alit Wiraputra mengaku perkara ini sebenarnya diatur oleh Putu Sandoz, Made Jayantara, dan Candra Wijaya. Menurut tersangka, 50 persen dari uang Rp 16 miliar yang diterimanya diberikan untuk Sandos. “Ya, 50 persen dari uang itu untuk Sandoz yang saya kenal saat itu adalah putra Gubernur Bali. Sisanya untuk kami bertiga (Alit Wiraputra, Jayantara, dan Candra Wijaya, Red),” tegas Alit Wiraputra.
Tersangka Alit Wiraputra sendiri ditangkap Tim Resmob Dit Reskrimum Polda Bali di Jakarta, Kamis dinihari. Ketua Kadin Bali 2015-2020 ini ditangkap sebagai tersangka kasus dugaan penipuan perizinan pengembangan kawasan Pelindo III di Pelabuhan Benoa.
Kasus ini berawal Januari 2012 silam. Saat itu, tersangka Alit Wiraputra bekerjasama dengan pelapor Sutrisno Lukito Disastro. Keduanya sepakat untuk melakukan lobi kerjasama dengan Pelindo III dalam proyek pengembangan dan pembangunan kawasan Pelabuhan Benoa. Sutrisno adalah pengembang selaku pemilik dana, sementara tersangka bekerjasama dalam rangka proses mengurus perizinan di Pemprov Bali.
Keduanya sepakat untuk membuat sebuah perusahaan yang diberi nama PT Bangun Segitiga Mas (BSM). Perusahaan ini rencananya akan kerja sama dengan PT Pelindo III dalam pengembangan Pelabuhan Benoa. Untuk memeluskan kerja sama tersebut, ada langkah-langkah yang dilalui, seperti membuat draft kerja sama, mengurus audiensi dan izin-izin dengan Gubernur, mengurus rekomendasi dari Gubernur, dan mengurus izin prinsip dari Gubernur. Semua ini dilakukan oleh tersangka.
Dalam kerja sama ini, antara korban (pelapor) Sutrisno dan tersangka bikin kesepakatan, di mana korban mengeluarkan biaya operasional sebesar Rp 30 miliar. Dana itu direncanakan untuk pengurusan sampai izin persetujuan prinsip dari Gubernur Bali keluar. Dari dana Rp 30 miliar itu, sebesar Rp 16 miliar telah dicairkan dalam dua kali tahapan. Pertama, sebesar Rp 6 miliar yang rencananya digunakan tersangka untuk audiensi dengan Gubernur dan Wagub. Tahap kedua, pelapor kembali mengucurkan dana sebesar Rp 10 miliar. Uang itu, sesuai kesepakatan, rencananya digunakan untuk mendapatkan rekomendasi dari Gubernur. *nat
1
Komentar