Bali Aga dalam Buku 'Rumah Leluhur Kami'
Tantangan Sistem Pangan dalam Ekonomi Pariwisata
DENPASAR, NusaBali
Sejak dulu masyarakat Bali tidaklah homogen. Justru masyarakat Bali heterogen karena ada masyarakat Bali Aga dan Bali selatan. Bali Aga memiliki kekhasan tersendiri yang diungkap dalam buku ‘Rumah Leluhur Kami’ karya Prof Thomas Reuter. Buku ini melukiskan tentang budaya dan adat di Bali Aga, terutama di kawasan Kintamani dengan jariangan ritualnya yang berpusat di Pucak Penulisan, Sukawana, Kintamani, Bali.
Sang penulis buku, Prof Thomas Reuter mengatakan jika ingin memahami budaya Bali maka harus memulai dari awal. Peradaban Bali memang berasal dari utara, karena jalur perdagangan awalnya lewat laut utara bukan laut selatan. Dari jalur perdagangan ini kemudian muncul kerajaan klasik serta ditemukan satu budaya yang sangat asri yang berdiri sudah seribu tahun, yakni Bali Mula. Hal inilah yang membuatnya tertarik meneliti kemudian menerjemahkannya agar berguna bagi masyarakat Indonesia.
“Pada pokoknya bersistem hulu apad yang sangat khas, terinci, teratur, dan cukup demokratis. Saya kira bisa jadi contoh yang baik di zaman sekarang. Saya sudah menulis buku ini empat tahun lalu dalam Bahasa Inggris. Namun saya merasa buku ini akan berguna bagi orang Indonesia sendiri, jadi saya berusaha untuk diterjemahkan,” ungkapnya dalam diskusi buku ‘Rumah Leluhur Kami’ di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Jumat (12/4).
Menurutnya, tantangan yang akan dihadapi oleh masyarakat Bali Aga saat ini adalah sistem pangan yang sudah berubah. Sejak revolusi hijau tahun 1960-an, semua sistem pangan tradisional yang awalnya dimiliki Bali Aga dihancurkan dan diganti dengan sistem yang tidak berkelanjutan. “Sekarang dalam proses kembali dalam sistem pangan yang organik, saya kira ini satu perkembangan yang sangat penting, karena sistem pertanian industrial tidak bisa dilanjutkan dan bisa membahayakan pangan masyarakat,” tuturnya.
Ia yakin Bali sangat istimewa dan termasuk kuat dalam hal menjaga budaya. Yang terpenting menurutnya, orang Bali banyak berpartisipasi dalam ekonomi pariwisata. “Jangan sampai tersingkir. Selama orang Bali terlibat langsung dan memiliki hak serta kekuatan dalam industri pariwisata, maka selama itu mereka akan mampu mengarahkan industri itu sesuai dengan budaya di sini,” katanya.
Sementara dosen FIB Unud, Prof I Nyoman Darma Putra mengapresiasi hasil penelitian yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini selain memberikan pengetahuan tentang adat tradisi yang bertahan di Bali Aga, menurutnya juga memberikan hal-hal yang mengalami perubahan. Penelitian ini patut disyukuri, karena setelah melakukan penelitian, ada beberapa perubahan yang dinilai cukup bagus. Misalnya penggunaan jumlah aci kerbau dalam sebuah upacara. “Kita patut berterima kasih juga kepada peneliti yang telah memberikan pengetahuan. Tidak saja kepada dunia akademik, tetapi juga terhadap warga yang diteliti,” ujarnya.
Secara umum, Prof Darma menilai buku ini cukup komprehensif untuk dijadikan literature bagi mereka yang ingin mengenal lebih jauh kehidupan masyarakat Bali Ada. “Bagi orang yang ingin tahu kehidupan orang Bali Aga di Kintamani Bangli, buku ini adalah salah satu literature yang sangat komprehensif dan terbuka menyajikan dinamika internal masyarakat Bali Aga. Dalam buku ini juga akan diketahui bahwa mereka (Bali Aga) tidak semata diam, melainkan bergerak ke depan dengan segala dinamikanya,” tandasnya. *ind
Sang penulis buku, Prof Thomas Reuter mengatakan jika ingin memahami budaya Bali maka harus memulai dari awal. Peradaban Bali memang berasal dari utara, karena jalur perdagangan awalnya lewat laut utara bukan laut selatan. Dari jalur perdagangan ini kemudian muncul kerajaan klasik serta ditemukan satu budaya yang sangat asri yang berdiri sudah seribu tahun, yakni Bali Mula. Hal inilah yang membuatnya tertarik meneliti kemudian menerjemahkannya agar berguna bagi masyarakat Indonesia.
“Pada pokoknya bersistem hulu apad yang sangat khas, terinci, teratur, dan cukup demokratis. Saya kira bisa jadi contoh yang baik di zaman sekarang. Saya sudah menulis buku ini empat tahun lalu dalam Bahasa Inggris. Namun saya merasa buku ini akan berguna bagi orang Indonesia sendiri, jadi saya berusaha untuk diterjemahkan,” ungkapnya dalam diskusi buku ‘Rumah Leluhur Kami’ di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Jumat (12/4).
Menurutnya, tantangan yang akan dihadapi oleh masyarakat Bali Aga saat ini adalah sistem pangan yang sudah berubah. Sejak revolusi hijau tahun 1960-an, semua sistem pangan tradisional yang awalnya dimiliki Bali Aga dihancurkan dan diganti dengan sistem yang tidak berkelanjutan. “Sekarang dalam proses kembali dalam sistem pangan yang organik, saya kira ini satu perkembangan yang sangat penting, karena sistem pertanian industrial tidak bisa dilanjutkan dan bisa membahayakan pangan masyarakat,” tuturnya.
Ia yakin Bali sangat istimewa dan termasuk kuat dalam hal menjaga budaya. Yang terpenting menurutnya, orang Bali banyak berpartisipasi dalam ekonomi pariwisata. “Jangan sampai tersingkir. Selama orang Bali terlibat langsung dan memiliki hak serta kekuatan dalam industri pariwisata, maka selama itu mereka akan mampu mengarahkan industri itu sesuai dengan budaya di sini,” katanya.
Sementara dosen FIB Unud, Prof I Nyoman Darma Putra mengapresiasi hasil penelitian yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini selain memberikan pengetahuan tentang adat tradisi yang bertahan di Bali Aga, menurutnya juga memberikan hal-hal yang mengalami perubahan. Penelitian ini patut disyukuri, karena setelah melakukan penelitian, ada beberapa perubahan yang dinilai cukup bagus. Misalnya penggunaan jumlah aci kerbau dalam sebuah upacara. “Kita patut berterima kasih juga kepada peneliti yang telah memberikan pengetahuan. Tidak saja kepada dunia akademik, tetapi juga terhadap warga yang diteliti,” ujarnya.
Secara umum, Prof Darma menilai buku ini cukup komprehensif untuk dijadikan literature bagi mereka yang ingin mengenal lebih jauh kehidupan masyarakat Bali Ada. “Bagi orang yang ingin tahu kehidupan orang Bali Aga di Kintamani Bangli, buku ini adalah salah satu literature yang sangat komprehensif dan terbuka menyajikan dinamika internal masyarakat Bali Aga. Dalam buku ini juga akan diketahui bahwa mereka (Bali Aga) tidak semata diam, melainkan bergerak ke depan dengan segala dinamikanya,” tandasnya. *ind
Komentar