MUTIARA WEDA : Menjelekkan Orang Lain
Tidak usah heran dengan orang yang belum mengetahui sesuatu secara benar selalu menjelek-jelekkan yang belum jelas. Seperti halnya permaisuri para kirata (golongan pemburu pada zaman purba) menolak permata dari kepala gajah, sebaliknya memakai perhiasan biji gunja (biji-bijian yang terdapat di semak belukar).
Na veti yo yasya guna-prakarsam
Sa tam sada nindati natra citram
Yatha kirati kari-kumbha-labdaham
Muktam prityajya vibharti gunjam.
(Chanakya NIti Sastra, XI: 8)
SUKA menjelek-jelekkan orang lain merupakan tabiat manusia secara umum. Menjelek-jelekkan tersebut bisa dikategorikan sebagai kecil, sedang maupun besar, baik itu sadar maupun tidak sadar. Yang tergolong kategori kecil adalah mereka berguman di dalam hatinya atas ketidaksukaannya terhadap orang lain. Ia tidak suka melihat orang itu apakah karena kehadirannya, perilakunya, perkataannya, perhiasannya atau gayanya. Seperti misalnya ketika seseorang melihat orang lain berpakaian norak atau tidak sesuai standar, di dalam hatinya berguman tidak suka dan mencibir, “dasar tidak tahu fashion.” Menjelekkan orang lain dalam kategori sedang misalnya mendiskusikan kejelekan orang lain dengan keluarga dekat. Sementara menjelekkan orang lain secara besar-besaran adalah membicarakannya ke mana-mana, kepada siapa pun yang ditemui dan bahkan langsung di depan orang bersangkutan.
Menjelek-jelekkan orang lain bisa dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Kita sering menjelekkan orang lain secara tidak sadar. Seperti misalnya berguman sebagaimana contoh yang tadi, menyumpahi orang dalam hati, menyumpahi dengan kata-kata kasar pada saat berkendara, dan lain sebagainya. Sementara menjelekkan seseorang secara sadar artinya kita mendiskusikan kejelekan orang secara sadar sehingga orang lain terpengaruh dan ikut mencemooh. Pergunjingan ini kerap terjadi di mana-mana oleh siapa saja. Mengapa itu terjadi? Di samping oleh karena tabiat inheren manusia, teks di atas menyebut oleh karena kita tidak mengetahui kebenarannya. Seperti misalnya mengapa kita menyumpahi orang di jalan dengan mengatakan “dasar orang ini berkendara tidak punya otak, seenaknya saja”, sementara kita belum jelas mengetahui mengapa orang itu tampak melakukan kesalahan. Kita tidak tahu apakah orang itu baru belajar berkendara atau ada kendaraan lain di depannya yang menghalangi sementara kita tidak melihatnya. Hal ini sangat sering terjadi.
Apa konsekuensinya jika hal ini terjadi? Tentu membuat hati tidak damai baik bagi orang yang menjelekkan, lebih lebih bagi orang yang dijelekkan. Kalau sampai orang lain mengetahui bahwa kita sedang menjelekkan dirinya, orang itu akan sangat marah dan bisa berbalik memusuhi kita. Sementara yang paling banyak mengalami ketidakdamaian hati adalah orang yang menjelek-jelekkan itu. Mengapa? Karena di dalam dirinya selalu melihat kejelekan orang lain. Orang yang selalu melihat kejelekan tidak akan pernah damai karena kedamaian tidak pernah terletak pada sesuatu yang jelek. Oleh karena itu tidak ada untungnya menjelekkan orang lain karena cara kerjanya memakan ke dalam.
Tetapi, ada juga tipe orang yang sangat takut dikatakan jelek atau takut kalau orang berpikiran jelek kepada dirinya. Orang seperti ini juga tidak pernah tenang, sebab selamanya dia membangun pencitraan agar tampak baik di depan orang. Kalau dirinya sampai tahu ada yang menjelekkan, tentu orang ini sangat marah dan tidak terima dengan itu. Jadi, menjelekkan orang tidak membuat hati tenang, demikian juga takut dijelekkan sama-sama tidak bisa tenang. Orang-orang seperti ini sama-sama memiliki cara pandang yang penuh dengan kekotoran. Oleh karena kacamata yang dipakai kotor, maka siapa pun yang dilihat akan tampak kotor.
Apa yang bisa dikerjakan? Yang diperlukan adalah menjernihkan pikiran kita sendiri. Sebab, dengan kejernihan pikiran, kita tidak akan langsung menyalahkan orang lain, sebab kita memahami bahwa orang bisa saja salah berperilaku atau kita juga salah menginterpretasi dari perilaku orang lain. Orang yang pikirannya hening akan dapat melihat hal ini dengan jelas. Demikian juga ia tidak akan merasa apa-apa jika dijelekkan oleh orang lain, sebab dirinya mengerti bahwa mungkin saja dia melakukan kesalahan tanpa disengaja atau orang itu memiliki interpretasi yang salah kepada dirinya. Pemahaman ini akan muncul apabila pikiran kita masing-masing hening. Jadi, semakin riuh pikiran, maka semakin besar kita menaruh kesalahan pada pundak orang lain, demikian sebaliknya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Yatha kirati kari-kumbha-labdaham
Muktam prityajya vibharti gunjam.
(Chanakya NIti Sastra, XI: 8)
SUKA menjelek-jelekkan orang lain merupakan tabiat manusia secara umum. Menjelek-jelekkan tersebut bisa dikategorikan sebagai kecil, sedang maupun besar, baik itu sadar maupun tidak sadar. Yang tergolong kategori kecil adalah mereka berguman di dalam hatinya atas ketidaksukaannya terhadap orang lain. Ia tidak suka melihat orang itu apakah karena kehadirannya, perilakunya, perkataannya, perhiasannya atau gayanya. Seperti misalnya ketika seseorang melihat orang lain berpakaian norak atau tidak sesuai standar, di dalam hatinya berguman tidak suka dan mencibir, “dasar tidak tahu fashion.” Menjelekkan orang lain dalam kategori sedang misalnya mendiskusikan kejelekan orang lain dengan keluarga dekat. Sementara menjelekkan orang lain secara besar-besaran adalah membicarakannya ke mana-mana, kepada siapa pun yang ditemui dan bahkan langsung di depan orang bersangkutan.
Menjelek-jelekkan orang lain bisa dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Kita sering menjelekkan orang lain secara tidak sadar. Seperti misalnya berguman sebagaimana contoh yang tadi, menyumpahi orang dalam hati, menyumpahi dengan kata-kata kasar pada saat berkendara, dan lain sebagainya. Sementara menjelekkan seseorang secara sadar artinya kita mendiskusikan kejelekan orang secara sadar sehingga orang lain terpengaruh dan ikut mencemooh. Pergunjingan ini kerap terjadi di mana-mana oleh siapa saja. Mengapa itu terjadi? Di samping oleh karena tabiat inheren manusia, teks di atas menyebut oleh karena kita tidak mengetahui kebenarannya. Seperti misalnya mengapa kita menyumpahi orang di jalan dengan mengatakan “dasar orang ini berkendara tidak punya otak, seenaknya saja”, sementara kita belum jelas mengetahui mengapa orang itu tampak melakukan kesalahan. Kita tidak tahu apakah orang itu baru belajar berkendara atau ada kendaraan lain di depannya yang menghalangi sementara kita tidak melihatnya. Hal ini sangat sering terjadi.
Apa konsekuensinya jika hal ini terjadi? Tentu membuat hati tidak damai baik bagi orang yang menjelekkan, lebih lebih bagi orang yang dijelekkan. Kalau sampai orang lain mengetahui bahwa kita sedang menjelekkan dirinya, orang itu akan sangat marah dan bisa berbalik memusuhi kita. Sementara yang paling banyak mengalami ketidakdamaian hati adalah orang yang menjelek-jelekkan itu. Mengapa? Karena di dalam dirinya selalu melihat kejelekan orang lain. Orang yang selalu melihat kejelekan tidak akan pernah damai karena kedamaian tidak pernah terletak pada sesuatu yang jelek. Oleh karena itu tidak ada untungnya menjelekkan orang lain karena cara kerjanya memakan ke dalam.
Tetapi, ada juga tipe orang yang sangat takut dikatakan jelek atau takut kalau orang berpikiran jelek kepada dirinya. Orang seperti ini juga tidak pernah tenang, sebab selamanya dia membangun pencitraan agar tampak baik di depan orang. Kalau dirinya sampai tahu ada yang menjelekkan, tentu orang ini sangat marah dan tidak terima dengan itu. Jadi, menjelekkan orang tidak membuat hati tenang, demikian juga takut dijelekkan sama-sama tidak bisa tenang. Orang-orang seperti ini sama-sama memiliki cara pandang yang penuh dengan kekotoran. Oleh karena kacamata yang dipakai kotor, maka siapa pun yang dilihat akan tampak kotor.
Apa yang bisa dikerjakan? Yang diperlukan adalah menjernihkan pikiran kita sendiri. Sebab, dengan kejernihan pikiran, kita tidak akan langsung menyalahkan orang lain, sebab kita memahami bahwa orang bisa saja salah berperilaku atau kita juga salah menginterpretasi dari perilaku orang lain. Orang yang pikirannya hening akan dapat melihat hal ini dengan jelas. Demikian juga ia tidak akan merasa apa-apa jika dijelekkan oleh orang lain, sebab dirinya mengerti bahwa mungkin saja dia melakukan kesalahan tanpa disengaja atau orang itu memiliki interpretasi yang salah kepada dirinya. Pemahaman ini akan muncul apabila pikiran kita masing-masing hening. Jadi, semakin riuh pikiran, maka semakin besar kita menaruh kesalahan pada pundak orang lain, demikian sebaliknya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar