Peternak Ayam Petelur di Banjar Utu Terus Berkurang
Jumlah peternak ayam petelur di Banjar Utu, Desa Babahan, Kecamatan Penebel, Tabanan, terus berkurang.
TABANAN, NusaBali
Sebelum krisis moneter tahun 1998, jumlah peternak mencapai 90 persen dari penduduk Banjar Utu. Setelah dihantam kasus flu burung, jumlah peternak yang masih bertahan sekitar 20 persen. Modal yang besar membuat mereka tak bisa bangkit dari kerugian akibat kasus flu burung.
Bendesa Adat Pakraman Utu, I Wayan Seriawan mengatakan, jumlah peternak ayam petelur yang masih bertahan sekitar 20 kepala keluarga (KK) dari 100 KK adat. Usaha beternak ayam petelur telah dimulai sejak tahun 1975 dan menjadi cikal bakal peternakan ayam petelur di Kabupaten Tabanan. Saat itu, hampir 100 persen KK adat punya ayam minimal 1.500 ekor di setiap rumah tangga. Pemasukan ke banjar adat pun sangat bagus. “Virus flu burung menyebabkan seluruh ayam mati dan peternak merugi. Memulai dari nol sangatlah sulit,” ungkap Seriawan saat ditemui di rumahnya, Minggu (29/5).
Seriawan menegaskan, ada dua faktor utama sentra peternakan ayam petelur di Banjar Utu tak bisa dibangkitkan lagi. Selain modal awal, juga kesulitan dapat tenaga kerja. Warga yang sebagian besar dulunya sebagai peternak ayam petelur beralih profesi sebagai petani. Lahan yang dulunya dijadikan kandang ayam kembali difungsikan sebagai kebun. “Sekarang kami tanam pisang dan ketela,” ungkap Seriawan.
Kelian Banjar Dinas Utu, I Wayan Sukatika, 46, menambahkan, 20 peternak ayam yang masih bertahan karena masih bisa memutar modal. “Di antara mereka masih ada yang ngutang,” sebutnya. Salah seorang peternak ayam petelur, I Kadek Sugamayasa mengaku masih bertahan karena usaha turun temurun. Saat ini ia dibantu dua orang buruh. “Saya pelihara 6.500 ayam petelur,” ungkapnya. Harga telur Rp 950 per butir. Dalam menjalankan usahanya, Sugamayasa mendatangkan bibit dan pakan ternak dari Jawa Timur. Harga pakan ternak rata-rata Rp 200.000/sak. 7 cr61
Komentar