Perempuan di Bali Berani Bicara dalam Kampanye Womens March Bali 2019
Womens March Bali 2019
Car Free Day
Kekerasan perempuan
Kekerasan seksual
Womens March 2019
GSHR Udayana
Hari perempuan internasional dimaknai sebagai peringatan untuk mendorong perempuan terus berkarya dan berani berbicara.
DENPASAR, NusaBali
Secara global, kampanye bertajuk ‘Womens March’ adalah satu perayaan hari perempuan internasional tersebut. Termasuk di Bali, kegiatan Womens March Bali 2019 diinisiasi oleh GSHR (Gender, Sexuality, and Human Rights) Udayana, saat Car Free Day mengelilingi Lapangan Puputan Margarana, Niti Mandala Denpasar, Minggu (28/4) pagi.
Puluhan peserta yang ikut masing-masing membawa spanduk dan tulisan yang berisikan ajakan dan seruan untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan serta kaum minoritas dan termarjinalkan.
Koordinator, Humas, dan Media Social Womens March Bali 2019, Devy Cendana mengatakan, kegiatan ini digelar serangkaian memperingati hari perempuan internasional yang jatuh pada 8 Maret lalu. Namun mengingat pada bulan tersebut Indonesia sedang masa kampanye pileg dan pilpres, kegiatan ini diundur menjadi bulan April sesudah pencoblosan. “Kami tidak ingin kegiatan ini dianggap sebagai hal yang berbau politik dan tidak ingin kegiatan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dalam tahun politik ini. Ini murni gerakan sosial dari berbagai komunitas dan masyarakat kaum perempuan yang turun ke jalan untuk berani bersuara,” ujarnya, di sela acara.
Devy menilai, kaum perempuan di Bali masih kurang awareness, kurang berani berbicara dan keluar dari zona nyaman mereka. Seperti untuk mengumpulkan massa dalam kegiatan Womens March Bali 2019 ini, diakuinya tidak gampang. “Kita mendekati mereka dan bahkan organisasi yang kita coba rangkul, masih banyak yang enggan untuk datang. Kegiatan seperti ini sangat rentan dikaitkan dengan kegiatan politik,” jelas Devy.
Adapun komunitas ataupun organisasi yang bergabung kemarin di antaranya perwakilan dari LBH Bali, Kisara dan Remaja Kisara, Women Cycling Club, Indo Runners Bali, Gaya Dewata, dan masyarakat umum yang didominasi kaum perempuan. Selain ada juga beberapa orang laki-laki yang ikut, termasuk pula transgender. Devy menambahkan, kegiatan ini tidak hanya menyuarakan pesan perempuan berani bicara, namun ikut juga melawan diskriminasi kelompok marginal dan minoritas.
“Menggerakkan orang untuk bersuara cukup susah ya. Mungkin juga karena budaya timur kita yang lebih diam dan pasif. Jadinya mengajak orang untuk datang dan bersuara menjadi tantangan bagi kita. Tapi melalui gerakan ini diharapkan para perempuan tak lagi takut bicara, termasuk yang termaginalkan seperti kaum transgender,” katanya.
Ada beberapa tuntutan yang mereka suarakan dalam aksi Womens March Bali 2019, hentikan pelecehan seksual terhadap perempuan, termasuk yang kerapkali terjadi di kampus, patriarki, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pelanggaran HAM dan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok marginal dan minoritas. “Harapannya isu-isu yang kita angkat ini lebih banyak lagi dibicarakan,” tandasnya.
Puluhan peserta yang ikut masing-masing membawa spanduk dan tulisan yang berisikan ajakan dan seruan untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan serta kaum minoritas dan termarjinalkan.
Koordinator, Humas, dan Media Social Womens March Bali 2019, Devy Cendana mengatakan, kegiatan ini digelar serangkaian memperingati hari perempuan internasional yang jatuh pada 8 Maret lalu. Namun mengingat pada bulan tersebut Indonesia sedang masa kampanye pileg dan pilpres, kegiatan ini diundur menjadi bulan April sesudah pencoblosan. “Kami tidak ingin kegiatan ini dianggap sebagai hal yang berbau politik dan tidak ingin kegiatan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dalam tahun politik ini. Ini murni gerakan sosial dari berbagai komunitas dan masyarakat kaum perempuan yang turun ke jalan untuk berani bersuara,” ujarnya, di sela acara.
Devy menilai, kaum perempuan di Bali masih kurang awareness, kurang berani berbicara dan keluar dari zona nyaman mereka. Seperti untuk mengumpulkan massa dalam kegiatan Womens March Bali 2019 ini, diakuinya tidak gampang. “Kita mendekati mereka dan bahkan organisasi yang kita coba rangkul, masih banyak yang enggan untuk datang. Kegiatan seperti ini sangat rentan dikaitkan dengan kegiatan politik,” jelas Devy.
Adapun komunitas ataupun organisasi yang bergabung kemarin di antaranya perwakilan dari LBH Bali, Kisara dan Remaja Kisara, Women Cycling Club, Indo Runners Bali, Gaya Dewata, dan masyarakat umum yang didominasi kaum perempuan. Selain ada juga beberapa orang laki-laki yang ikut, termasuk pula transgender. Devy menambahkan, kegiatan ini tidak hanya menyuarakan pesan perempuan berani bicara, namun ikut juga melawan diskriminasi kelompok marginal dan minoritas.
“Menggerakkan orang untuk bersuara cukup susah ya. Mungkin juga karena budaya timur kita yang lebih diam dan pasif. Jadinya mengajak orang untuk datang dan bersuara menjadi tantangan bagi kita. Tapi melalui gerakan ini diharapkan para perempuan tak lagi takut bicara, termasuk yang termaginalkan seperti kaum transgender,” katanya.
Ada beberapa tuntutan yang mereka suarakan dalam aksi Womens March Bali 2019, hentikan pelecehan seksual terhadap perempuan, termasuk yang kerapkali terjadi di kampus, patriarki, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pelanggaran HAM dan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok marginal dan minoritas. “Harapannya isu-isu yang kita angkat ini lebih banyak lagi dibicarakan,” tandasnya.
Dalam kegiatan tersebut hadir beberapa ‘korban’ pelecehan seksual dan diskriminasi. Salah satunya adalah seorang model asal Timor Leste yang berkarir di Bali, CB, 22, mengaku pernah mendapatkan pelecehan melalui oral (bicara langsung) maupun teks. Karena profesinya sebagai model, CB yang juga seorang mahasiswi di Universitas Udayana ini kerapkali dikirim pesan yang intinya mengajak ia untuk tidur bersama. “Kebetulan saya juga seorang instagram influencer. Jadi pernah dikirimi pesan, mau diajak tidur oleh oknum laki-laki, dan akan membayar saya dengan uang. Tapi saya katakan dengan tegas, kalau saya tidak mengambil pekerjaan seperti itu, dan saya tidak serendah itu. Perlahan, karena tahu saya tegas, mulai berkurang yang melecehkan seperti itu,” tuturnya.
Lain ceritanya dengan Tariska Putri, 44. Transgender asal Surabaya yang sudah sembilan tahun tinggal di Bali ini pernah mengalami diskriminasi akses kesehatan bagi kelompoknya. “Saya pernah didiskrimanasi dalam pelayanan kesehatan. Saat mau periksa atau berobat, kadang yang lain didahulukan. Harusnya sudah dipanggil nomor urutnya, tapi mereka bilang, 'tunggu dulu ini ibunya lebih penting lebih gawat'. Padahal ya sama sakitnya, cuma sakit demam dan flu,” tuturnya. Meski demikian, kata dia, tidak semua fasilitas kesehatan seperti itu. *ind
Lain ceritanya dengan Tariska Putri, 44. Transgender asal Surabaya yang sudah sembilan tahun tinggal di Bali ini pernah mengalami diskriminasi akses kesehatan bagi kelompoknya. “Saya pernah didiskrimanasi dalam pelayanan kesehatan. Saat mau periksa atau berobat, kadang yang lain didahulukan. Harusnya sudah dipanggil nomor urutnya, tapi mereka bilang, 'tunggu dulu ini ibunya lebih penting lebih gawat'. Padahal ya sama sakitnya, cuma sakit demam dan flu,” tuturnya. Meski demikian, kata dia, tidak semua fasilitas kesehatan seperti itu. *ind
1
Komentar