79 Persen Koruptor Divonis Ringan
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai saat ini vonis bagi tindak pidana korupsi masih tergolong ringan.
JAKARTA, NusaBali
Dari data ICW terhadap putusan hakim sepanjang 2018, rata-rata vonis yang dijatuhkan adalah selama 2 tahun 5 bulan.
Peneliti ICW Lalola Easter mengatakan penegakan hukum seharusnya menjadi salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi. "Salah satunya melalui hukuman yang menjerakan terdakwa," kata Easter dalam diskusi di Kantor Pusat ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (28/4) seperti dilansir tempo.
Dari data ICW itu, sebanyak 79 persen hakim memutus kategori ringan untuk 918 terdakwa di semua tingkat pengadilan. Pengadilan Negeri (PN) tingkat pertama, menjadi titik paling banyak mengeluarkan putusan ringan, yakni 749 terdakwa (81,59 persen).
Sedangkan di tingkat banding atau yang diadili di Pengadilan Tinggi, putusan kategori ringan diberikan kepada 159 terdakwa (17,32 persen). Sementara, putusan ringan yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) pada putusan kasasi/peninjauan kembali (PK) diberikan ke 10 terdakwa.
Selain itu ada pula 180 putusan kategori sedang yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan. Putusan kategori sedang ini berkisar antara 4-10 tahun.
Easter mengatakan sebenarnya ada cara lain, selain vonis hukuman penjara, yang bisa membuat jera pelaku korupsi.
Salah satunya adalah pemidanaan secara finansial, yakni dengan menjerat terdakwa lewat pidana tambahan uang pengganti dan kombinasi dakwaan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Easter menyayangkan langkah ini tidak diambil sebagian besar penegak hukum. "Dari temuan ICW, di tahun 2018 itu hanya ada tiga terdakwa yang didakwa, dituntut, dan diputus menggunakan UU TPPU.”
Atas dasar itu, Easter berharap temuan ICW ini dapat digunakan untuk memperbaiki sistem peradilan ke depan, khususnya pada penegak hukum.
Selama penelitian ini, ICW menyoroti keterbukaan informasi dari Mahkamah Agung, dalam mengakses banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) untuk pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung tidak bisa diakses publik.
"SIPP untuk pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung masih terbatas untuk kalangan internal saja. Beberapa pengadilan tinggi sudah berinisiatif baik dengan mengembangkan laman serupa SIPP, namun belum diikuti oleh seluruh pengadilan tinggi," ucap Lalola. *
Peneliti ICW Lalola Easter mengatakan penegakan hukum seharusnya menjadi salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi. "Salah satunya melalui hukuman yang menjerakan terdakwa," kata Easter dalam diskusi di Kantor Pusat ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (28/4) seperti dilansir tempo.
Dari data ICW itu, sebanyak 79 persen hakim memutus kategori ringan untuk 918 terdakwa di semua tingkat pengadilan. Pengadilan Negeri (PN) tingkat pertama, menjadi titik paling banyak mengeluarkan putusan ringan, yakni 749 terdakwa (81,59 persen).
Sedangkan di tingkat banding atau yang diadili di Pengadilan Tinggi, putusan kategori ringan diberikan kepada 159 terdakwa (17,32 persen). Sementara, putusan ringan yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) pada putusan kasasi/peninjauan kembali (PK) diberikan ke 10 terdakwa.
Selain itu ada pula 180 putusan kategori sedang yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan. Putusan kategori sedang ini berkisar antara 4-10 tahun.
Easter mengatakan sebenarnya ada cara lain, selain vonis hukuman penjara, yang bisa membuat jera pelaku korupsi.
Salah satunya adalah pemidanaan secara finansial, yakni dengan menjerat terdakwa lewat pidana tambahan uang pengganti dan kombinasi dakwaan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Easter menyayangkan langkah ini tidak diambil sebagian besar penegak hukum. "Dari temuan ICW, di tahun 2018 itu hanya ada tiga terdakwa yang didakwa, dituntut, dan diputus menggunakan UU TPPU.”
Atas dasar itu, Easter berharap temuan ICW ini dapat digunakan untuk memperbaiki sistem peradilan ke depan, khususnya pada penegak hukum.
Selama penelitian ini, ICW menyoroti keterbukaan informasi dari Mahkamah Agung, dalam mengakses banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) untuk pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung tidak bisa diakses publik.
"SIPP untuk pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung masih terbatas untuk kalangan internal saja. Beberapa pengadilan tinggi sudah berinisiatif baik dengan mengembangkan laman serupa SIPP, namun belum diikuti oleh seluruh pengadilan tinggi," ucap Lalola. *
1
Komentar