Sekaa Manyi Malas Panen Padi Rebah
Padi rebah akibat terjangan angin dan hujan, merupakan risiko terburuk yang dihadapi petani.
NEGARA, NusaBali
Jajaran Dewan Ketahanan Pangan Jembrana menggelar rapat koordinasi mengenai sejumlah permasalahan yang kerap dihadapi petani di Jembrana, Jumat (10/7). Salah satu poin yang terungkap, banyak subak sawah di Jembrana makin krisis sekaa manyi (kelompok penebas padi).
Lebih fatal lagi, padi petani kena musibah padi rebah hingga enggan dipanen penebas padi. Dalam upaya meminimalisir kerugian dan petani bisa langsung menjual gabah, masing-masing subak diharapkan bisa memiliki sekaa manyi atau kelompok pemanen padi. Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Jembrana I Wayan Sutama yang juga Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan Jembrana, seusai rapat koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Jembrana, Jumat kemarin, mengatakan, padi rebah akibat terjangan angin dan hujan, merupakan risiko terburuk yang dihadapi petani. Ketika padi rebah terendam air dan terkena lumpur, dipastikan memengaruhi harga jual padi. Kondisi itu juga diperparah kebiasan petani yang enggan menjual gabah, dan lebih memiliki menjual padi kepada panebas dengan sistem borongan. “Kalau menjual gabah, kan jelas harga per kilogram. Tetapi kalau panebas, biasa dibeli hitung-hitungan per are,” ujarnya.
Dalam transaksi di lapangan, panebas biasa memberikan uang muka kepada petani. Namun jumlah uang muka, itu biasanya dipatok sangat minim, tergantung kesepakatan panebas dengan petani, tanpa memberikan kepastian waktu panen. Alhasil, ketika terjadi musibah padi rebah, panebas biasa kabur dan merelakan uang muka mereka. Sedangkan petani yang menunggu-nunggu panebas, bahkan sampai bulir padi mereka tumbuh kembali menjadi tanaman padi, akhirnya rugi. “Kami juga cukup menyayangkan, beberapa panebas maupun dari Perpadi tidak hadir dalam rapat tadi. Padahal kami ingin juga ada kepastian perjanjian antara penebas dengan petani, seperti terkait jangka waktu panen setelah pemberian DP (down payment atau uang muka, Red), termasuk kepastian harga beli padi sehingga petani juga punya bargaining,” jelasnya.
Menurut Sutama, ketika petani menjual gabah, petani bisa lebih diuntungkan. Tetapi permasalahannya, petani biasa kesulitan mencari sekaa manyi. Sedangkan KUD yang menerima bantuan dana talangan dari Pemkab Jembrana, hanya bisa membeli gabah. Karena itu, ia pun mengharapkan kedepannya, masing-masing subak punya sekaa manyi sehingga petani tidak menjual padi, tetapi menjual gabah. “Ada 7 KUD yang menerima dana talangan, disiapkan plafon anggaran Rp 5 miliar setiap tahun. Tetapi aturannya, KUD hanya membeli gabah. Kalau membeli padi, kan menyalahi. Makanya, nanti kami harapkan subak juga punya sekaa manyi. Untuk memantapkan subak memiliki sekaa manyi, juga akan berusaha kami rangsang dengan pemberian bantuan alat-alat panen,” ucapnya.
Di lain sisi, Sutama mengakui, KUD juga belum dapat optimal menampung seluruh hasil panen petani di Jembrana. Dari plafon anggaran dana talangan sebesar Rp 5 miliar yang disediakan untuk KUD se-Jembrana tahun ini, hanya dapat menampung sekitar 5 persen hasil panen petani dari total 6.7000 hekatare di 84 subak se-Jembrana. Di samping itu, kapasitas dan sarana yang dimiliki KUD juga masih terbatas. “Artinya, kami juga tidak apriori terhadap pihak swasta. Panebas masih kami butuhkan. Di lain sisi, kita juga sadari kondisi KUD seperti gudang, lahan jemur dan rice milling unit (RMU) yang ada di KUD perlu direvitalisasi,” jelasnya.
Persoalan lainnya, harga gabah kering panen (GKP) sesuai harga pembelian pemerintah (HPP) yang menjadi acuan Perum Bulog juga dinilai masih sangat rendah, yakni maksimal hanya Rp 3.700 per kilogram. Sedangkan harga beli di pasaran jauh melebihi HPP. Itu pun menyebabkan Perum Bulog sebagai BUMN, tidak bisa membeli hasil panen petani di Jembrana, sehingga pihaknya juga mengusulkan revisi HPP untuk GKP. “Bulog di Jembrana hanya ada gudangnya saja, itu pun barangnya dari luar Jembrana. Bulog juga kesulitan membeli gabah petani karena masih rendah batasan GKP-nya. Kami juga usulkan ada revisi HPP, karena Perpres-nya juga sudah empat tahun tidak direvisi. Kalau bisa naik, Bulog juga bisa mengambil gabah petani sesuai pasaran di Jembrana,” pungkasnya. *ode
Lebih fatal lagi, padi petani kena musibah padi rebah hingga enggan dipanen penebas padi. Dalam upaya meminimalisir kerugian dan petani bisa langsung menjual gabah, masing-masing subak diharapkan bisa memiliki sekaa manyi atau kelompok pemanen padi. Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Jembrana I Wayan Sutama yang juga Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan Jembrana, seusai rapat koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Jembrana, Jumat kemarin, mengatakan, padi rebah akibat terjangan angin dan hujan, merupakan risiko terburuk yang dihadapi petani. Ketika padi rebah terendam air dan terkena lumpur, dipastikan memengaruhi harga jual padi. Kondisi itu juga diperparah kebiasan petani yang enggan menjual gabah, dan lebih memiliki menjual padi kepada panebas dengan sistem borongan. “Kalau menjual gabah, kan jelas harga per kilogram. Tetapi kalau panebas, biasa dibeli hitung-hitungan per are,” ujarnya.
Dalam transaksi di lapangan, panebas biasa memberikan uang muka kepada petani. Namun jumlah uang muka, itu biasanya dipatok sangat minim, tergantung kesepakatan panebas dengan petani, tanpa memberikan kepastian waktu panen. Alhasil, ketika terjadi musibah padi rebah, panebas biasa kabur dan merelakan uang muka mereka. Sedangkan petani yang menunggu-nunggu panebas, bahkan sampai bulir padi mereka tumbuh kembali menjadi tanaman padi, akhirnya rugi. “Kami juga cukup menyayangkan, beberapa panebas maupun dari Perpadi tidak hadir dalam rapat tadi. Padahal kami ingin juga ada kepastian perjanjian antara penebas dengan petani, seperti terkait jangka waktu panen setelah pemberian DP (down payment atau uang muka, Red), termasuk kepastian harga beli padi sehingga petani juga punya bargaining,” jelasnya.
Menurut Sutama, ketika petani menjual gabah, petani bisa lebih diuntungkan. Tetapi permasalahannya, petani biasa kesulitan mencari sekaa manyi. Sedangkan KUD yang menerima bantuan dana talangan dari Pemkab Jembrana, hanya bisa membeli gabah. Karena itu, ia pun mengharapkan kedepannya, masing-masing subak punya sekaa manyi sehingga petani tidak menjual padi, tetapi menjual gabah. “Ada 7 KUD yang menerima dana talangan, disiapkan plafon anggaran Rp 5 miliar setiap tahun. Tetapi aturannya, KUD hanya membeli gabah. Kalau membeli padi, kan menyalahi. Makanya, nanti kami harapkan subak juga punya sekaa manyi. Untuk memantapkan subak memiliki sekaa manyi, juga akan berusaha kami rangsang dengan pemberian bantuan alat-alat panen,” ucapnya.
Di lain sisi, Sutama mengakui, KUD juga belum dapat optimal menampung seluruh hasil panen petani di Jembrana. Dari plafon anggaran dana talangan sebesar Rp 5 miliar yang disediakan untuk KUD se-Jembrana tahun ini, hanya dapat menampung sekitar 5 persen hasil panen petani dari total 6.7000 hekatare di 84 subak se-Jembrana. Di samping itu, kapasitas dan sarana yang dimiliki KUD juga masih terbatas. “Artinya, kami juga tidak apriori terhadap pihak swasta. Panebas masih kami butuhkan. Di lain sisi, kita juga sadari kondisi KUD seperti gudang, lahan jemur dan rice milling unit (RMU) yang ada di KUD perlu direvitalisasi,” jelasnya.
Persoalan lainnya, harga gabah kering panen (GKP) sesuai harga pembelian pemerintah (HPP) yang menjadi acuan Perum Bulog juga dinilai masih sangat rendah, yakni maksimal hanya Rp 3.700 per kilogram. Sedangkan harga beli di pasaran jauh melebihi HPP. Itu pun menyebabkan Perum Bulog sebagai BUMN, tidak bisa membeli hasil panen petani di Jembrana, sehingga pihaknya juga mengusulkan revisi HPP untuk GKP. “Bulog di Jembrana hanya ada gudangnya saja, itu pun barangnya dari luar Jembrana. Bulog juga kesulitan membeli gabah petani karena masih rendah batasan GKP-nya. Kami juga usulkan ada revisi HPP, karena Perpres-nya juga sudah empat tahun tidak direvisi. Kalau bisa naik, Bulog juga bisa mengambil gabah petani sesuai pasaran di Jembrana,” pungkasnya. *ode
Komentar