Penari Sanghyang Dedari, Terbang Dalam Keindahan
SEJUMLAH penari Sanghyang Dedari di Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem, tentu merasakan pengalaman mistis yang amat mengagumkan.
AMLAPURA, NusaBali
Terutama saat penari melakukan perjalanan dari perempatan desa menuju Pura Pajenengan dalam kondisi kerauhan. Saat seperti itu, warga setempat meyakini Sanghyang Dedari terbang secara gaib.
‘’Enak rasanya saat menuju Pura Pajenengan, terasa terbang, kayak mimpi, begitu cepat sampai. Padahal jalan dilalui gelap dan berliku," ujar penari Ni Ketut Febriani siswi kelas VI SD Negeri 3 Duda Utara, ditemui NusaBali di kediamannya, Banjar/Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem, Jumat (10/5).
Ia menari dengan mata terpejam, namun tetap terjaga. Saat merasa cukup menari di perempatan desa, ia dan para penari lainnya serentak bergerak cepat, terbang menuju Pura Pajenengan.
Di Pura Pajenengan itulah berlanjut menari sampai akhir. Ni Ketut Febriani mengaku telah tiga kali menari. Selama itu pula merasa mimpi di saat terbang menembus jalan kegelapan. Sedangkan saat naik batang bambu untuk mencapai puncak, tanpa sadar mampu berdiri di puncak batang bambu berlanjut menari-nari. "Dari puncak batang bambu, di bawah terlihat laut, tidak ada kelihatan penonton yang memadati sekeliling perempatan desa," kenangnya.
Pengalaman penari Ni Ketut Septiani, lulusan SDN 3 Duda Utara membenarkan, saat menuju Pura Pajenengan memang terasa terbang. Jalan yang gelap terlihat seperti candi, tetapi kaki tidak sempat melangkah, karena telah bergerak cepat seperti ada kekuatan bawah sadar yang menerbangkan menuju Pura Pajenengan itu. Keindahan itu dirasakan begitu singkat, antara mimpi dan kenyataan sulit dibedakan. "Tetapi apa yang kami alami, kami masih ingat dan kami masih rasakan. Pengalaman itu terulang kembali saat kembali menari," katanya.
Penari lainnya juga menceritakan pengalaman yang sama. Seperti dituturkan, siswi kelas III SDN 3 Duda Utara Ni Kadek Astiti Asih, siswi kelas VIII SMPN 3 Selat Ni Putu Gita Cahyani, siswi kelas VII SMPN 3 Selat Ni Komang Septiani, dan siswi kelas VIII SMPN 3 Selat Ni Kadek Anggi Riskayanti. "Kami telah empat kali menari, memang merasakan terbang saat berpindah menari dari perempatan desa menuju Pura Pajenengan. Badan terasa ringan, sepertinya ada tenaga gaib yang mendorong untuk bergerak cepat," kata Ni Kadek Anggi Riskayanti.
Setiap tari sakral Sanghyang Dedari dipentaskan, selalu terbagi dua babak. babak pertama di perempatan desa, berlanjut di Pura Pajenengan, walau di Pura Pajenengan dalam kondisi gelap, penari Sanghyangtanpa halangan menari.
Upaya melestarikan Sanghyang Dedari, telah dibangun Museum Sanghyang Dedari, hanya saja belum diresmikan, karena belum dilengkapi dokumentasi, berupa foto-foto, video, dan pendukung lainnya. Sementara hanya terisi patung Sanghyang Dedari. Lokasinya bersebelahan dengan Pura Pajenengan. Keberadaan Pura Pajenengan sendiri, yang lokasinya di tengah kebun bambu, sejak berdiri belum pernah menggelar piodalan. Sementara piodalannya disinkrunkan dengan upacara Usaba Kalima di Pura Puseh.
Bendesa Adat Geriana Kauh I Nyoman Subrata mengatakan, penari Sanghyang Dedari selalu dari kalangan siswi SD. "Rata-rata yang menari, dua hingga tiga kali, setelah itu mereka masuk jenjang SMP, tidak lagi bisa menari. Maka dicari kembali penarinya yang masih sekolah SD, yang benar-benar masih suci," jelas I Nyoman Subrata, Jumat (10/5).
Kata dia, prajuru adat yang memilih penari biasanya merunut keturunan. Begitu juga ibu-ibu yang tugasnya menyanyikan lagu rohani sebagai pengiringnya.*nan
‘’Enak rasanya saat menuju Pura Pajenengan, terasa terbang, kayak mimpi, begitu cepat sampai. Padahal jalan dilalui gelap dan berliku," ujar penari Ni Ketut Febriani siswi kelas VI SD Negeri 3 Duda Utara, ditemui NusaBali di kediamannya, Banjar/Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem, Jumat (10/5).
Ia menari dengan mata terpejam, namun tetap terjaga. Saat merasa cukup menari di perempatan desa, ia dan para penari lainnya serentak bergerak cepat, terbang menuju Pura Pajenengan.
Di Pura Pajenengan itulah berlanjut menari sampai akhir. Ni Ketut Febriani mengaku telah tiga kali menari. Selama itu pula merasa mimpi di saat terbang menembus jalan kegelapan. Sedangkan saat naik batang bambu untuk mencapai puncak, tanpa sadar mampu berdiri di puncak batang bambu berlanjut menari-nari. "Dari puncak batang bambu, di bawah terlihat laut, tidak ada kelihatan penonton yang memadati sekeliling perempatan desa," kenangnya.
Pengalaman penari Ni Ketut Septiani, lulusan SDN 3 Duda Utara membenarkan, saat menuju Pura Pajenengan memang terasa terbang. Jalan yang gelap terlihat seperti candi, tetapi kaki tidak sempat melangkah, karena telah bergerak cepat seperti ada kekuatan bawah sadar yang menerbangkan menuju Pura Pajenengan itu. Keindahan itu dirasakan begitu singkat, antara mimpi dan kenyataan sulit dibedakan. "Tetapi apa yang kami alami, kami masih ingat dan kami masih rasakan. Pengalaman itu terulang kembali saat kembali menari," katanya.
Penari lainnya juga menceritakan pengalaman yang sama. Seperti dituturkan, siswi kelas III SDN 3 Duda Utara Ni Kadek Astiti Asih, siswi kelas VIII SMPN 3 Selat Ni Putu Gita Cahyani, siswi kelas VII SMPN 3 Selat Ni Komang Septiani, dan siswi kelas VIII SMPN 3 Selat Ni Kadek Anggi Riskayanti. "Kami telah empat kali menari, memang merasakan terbang saat berpindah menari dari perempatan desa menuju Pura Pajenengan. Badan terasa ringan, sepertinya ada tenaga gaib yang mendorong untuk bergerak cepat," kata Ni Kadek Anggi Riskayanti.
Setiap tari sakral Sanghyang Dedari dipentaskan, selalu terbagi dua babak. babak pertama di perempatan desa, berlanjut di Pura Pajenengan, walau di Pura Pajenengan dalam kondisi gelap, penari Sanghyangtanpa halangan menari.
Upaya melestarikan Sanghyang Dedari, telah dibangun Museum Sanghyang Dedari, hanya saja belum diresmikan, karena belum dilengkapi dokumentasi, berupa foto-foto, video, dan pendukung lainnya. Sementara hanya terisi patung Sanghyang Dedari. Lokasinya bersebelahan dengan Pura Pajenengan. Keberadaan Pura Pajenengan sendiri, yang lokasinya di tengah kebun bambu, sejak berdiri belum pernah menggelar piodalan. Sementara piodalannya disinkrunkan dengan upacara Usaba Kalima di Pura Puseh.
Bendesa Adat Geriana Kauh I Nyoman Subrata mengatakan, penari Sanghyang Dedari selalu dari kalangan siswi SD. "Rata-rata yang menari, dua hingga tiga kali, setelah itu mereka masuk jenjang SMP, tidak lagi bisa menari. Maka dicari kembali penarinya yang masih sekolah SD, yang benar-benar masih suci," jelas I Nyoman Subrata, Jumat (10/5).
Kata dia, prajuru adat yang memilih penari biasanya merunut keturunan. Begitu juga ibu-ibu yang tugasnya menyanyikan lagu rohani sebagai pengiringnya.*nan
Komentar