MUTIARA WEDA: Pahami Porosnya
Jangan bersedih terhadap apa yang sudah berlalu, jangan pula risau terhadap apa yang akan datang! Orang-orang bijaksana hanya melihat masa sekarang dan berusaha sebaik-baiknya.
Gate soko na kartavyo bhavisyam naiva cintayet,
Vartamanena kalena pravartante vicaksanah.
(Canakya Niti Sastra, XIII: 2)
NASIHAT seperti di atas sudah sering kita dengar. Tidak hanya kitab suci, orang biasa pun dengan mudah memberi nasihat seperti itu. “Jangan sedih terhadap sesuatu yang sudah lewat, jangan pula khawatir dengan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang”. Sudah biasa, bahkan terlalu biasa. Saking biasanya, kita sering mengabaikannya. Tetapi, ketika sesuatu terjadi, kita tidak bisa tidak bersedih. Kita tidak pernah terima dengan kemalangan yang telah terjadi. Kita sering mempertanyakan kepada Tuhan, persembahan apa yang kurang sehingga Tuhan memberikan ujian derita seperti itu. Kita juga tidak pernah tenang dengan masa depan. Setiap saat kita berharap, memohon kepada Tuhan agar diberikan rahmat, apakah keselamatan, kesejahteraan, dan yang lainnya. Makanya, hidup kita penuh dengan penderitaan.
Mendengar nasihat seperti itu boleh saja. Atau kita sering menasihati teman seperti itu juga tidak masalah. Tetapi, nasihat yang datang ataupun nasihat yang kita berikan kepada orang lain tidak pernah bekerja baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang yang kita nasihati. Mengapa? Karena kita maupun orang lain tetap menderita kalau menemui masalah dan tetap khawatir dengan masa depan. Jika demikian halnya, apanya yang salah? Apakah nasihatnya yang salah, atau kita yang menerima nasihat yang salah, atau kita yang menasihati yang salah? Rasanya, ketiganya itu tidak ada yang salah. Lalu, jika tidak ada yang salah, mengapa yang terjadi justru kebalikannya, yakni sedih ketika terjadi tragedi dan khawatir dengan apa yang akan terjadi ke depan?
Untuk memahami ini, sepertinya kita mesti melihat ke dalam. Ada landasan kokoh yang harus dipijak agar nasihat di atas bisa bekerja. Jika landasan ini tidak pernah disentuh, nasihat seperti di atas hanya hafalan kata-kata tanpa makna. Apa landasannya? Yang harus kita pahami adalah bahwa diri kita lahir ke dunia ini membawa poros masa lalu. Dengan kata lain, kita adalah produk masa lalu, sehingga secara natural, badan dan pikiran kita sepenuhnya masa lalu, sehingga kita tetap berada dalam kesedihan. Masa lalu adalah kesedihan. Masa depan adalah masa lalu yang diproyeksikan. Artinya, karena kita telah penuh dengan kesedihan, lalu kita mengharap pada masa depan. Kita sudah dibuat tidak berdaya dengan apa yang kita bawa saat ini, tetapi kita masih bisa berharap ada perubahan di masa depan. Perubahan yang diharapkan adalah perubahan yang lebih baik, perubahan agar kesedihan sirna dan digantikan dengan ketidaksedihan. Tetapi, harapan ini pun merupakan bentuk kesedihan yang baru. Jadi kesedihan yang kita lalui betul-betul sempurna. Seperti memikul beban, kesedihan bawaan ada di belakang dan kekhawatiran akan masa yang akan datang ada di depan.
Apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak akan menjadi bijaksana dengan hanya mendengar nasihat di atas. Dengan mendengar dan meresapi nasihat di atas, kita tidak akan serta merta mampu membawa pikiran kita di masa kini dan kemudian bahagia. Masa lalu yang kita bawa akan terus menyeret kita seperti halnya gravitasi. Upaya apapun yang kita lakukan untuk bisa terbang akan senantiasa diseret ke bawah. Jika daya yang digunakan lebih lemah dibandingkan daya tarik gravitasi tersebut, tentu kita akan terjatuh. Jadinya, semua usaha kita akan sia-sia. Setiap upaya akan dipatahkan, sebab, sedetik saja kehilangan daya, kita segera jatuh.
Apa yang bisa kita lakukan? Sepertinya, kita harus mampu menjadi seperti api, yang sifatnya selalu menjauhi gravitasi. Ketika api dihidupkan, asap yang ditimbulkan tidak pernah terjatuh, melainkan melambung ke udara. Bagaimana agar kita bisa seperti api? Kita harus mengganti poros kesedihan tersebut dengan poros baru. Bagaimana caranya? Teks Sutra Patanjali mengajarkan dua cara, yakni Abhyasa dan Vairagya. Bila kedua hal ini sukses dikerjakan, tentu zat diri kita yang terbuat dari gravitasi kesedihan akan diganti dengan zat yang mampu menjauhi gravitasi. Hanya dengan demikian kita akan secara otomatis menjadi bijaksana. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Canakya Niti Sastra, XIII: 2)
NASIHAT seperti di atas sudah sering kita dengar. Tidak hanya kitab suci, orang biasa pun dengan mudah memberi nasihat seperti itu. “Jangan sedih terhadap sesuatu yang sudah lewat, jangan pula khawatir dengan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang”. Sudah biasa, bahkan terlalu biasa. Saking biasanya, kita sering mengabaikannya. Tetapi, ketika sesuatu terjadi, kita tidak bisa tidak bersedih. Kita tidak pernah terima dengan kemalangan yang telah terjadi. Kita sering mempertanyakan kepada Tuhan, persembahan apa yang kurang sehingga Tuhan memberikan ujian derita seperti itu. Kita juga tidak pernah tenang dengan masa depan. Setiap saat kita berharap, memohon kepada Tuhan agar diberikan rahmat, apakah keselamatan, kesejahteraan, dan yang lainnya. Makanya, hidup kita penuh dengan penderitaan.
Mendengar nasihat seperti itu boleh saja. Atau kita sering menasihati teman seperti itu juga tidak masalah. Tetapi, nasihat yang datang ataupun nasihat yang kita berikan kepada orang lain tidak pernah bekerja baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang yang kita nasihati. Mengapa? Karena kita maupun orang lain tetap menderita kalau menemui masalah dan tetap khawatir dengan masa depan. Jika demikian halnya, apanya yang salah? Apakah nasihatnya yang salah, atau kita yang menerima nasihat yang salah, atau kita yang menasihati yang salah? Rasanya, ketiganya itu tidak ada yang salah. Lalu, jika tidak ada yang salah, mengapa yang terjadi justru kebalikannya, yakni sedih ketika terjadi tragedi dan khawatir dengan apa yang akan terjadi ke depan?
Untuk memahami ini, sepertinya kita mesti melihat ke dalam. Ada landasan kokoh yang harus dipijak agar nasihat di atas bisa bekerja. Jika landasan ini tidak pernah disentuh, nasihat seperti di atas hanya hafalan kata-kata tanpa makna. Apa landasannya? Yang harus kita pahami adalah bahwa diri kita lahir ke dunia ini membawa poros masa lalu. Dengan kata lain, kita adalah produk masa lalu, sehingga secara natural, badan dan pikiran kita sepenuhnya masa lalu, sehingga kita tetap berada dalam kesedihan. Masa lalu adalah kesedihan. Masa depan adalah masa lalu yang diproyeksikan. Artinya, karena kita telah penuh dengan kesedihan, lalu kita mengharap pada masa depan. Kita sudah dibuat tidak berdaya dengan apa yang kita bawa saat ini, tetapi kita masih bisa berharap ada perubahan di masa depan. Perubahan yang diharapkan adalah perubahan yang lebih baik, perubahan agar kesedihan sirna dan digantikan dengan ketidaksedihan. Tetapi, harapan ini pun merupakan bentuk kesedihan yang baru. Jadi kesedihan yang kita lalui betul-betul sempurna. Seperti memikul beban, kesedihan bawaan ada di belakang dan kekhawatiran akan masa yang akan datang ada di depan.
Apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak akan menjadi bijaksana dengan hanya mendengar nasihat di atas. Dengan mendengar dan meresapi nasihat di atas, kita tidak akan serta merta mampu membawa pikiran kita di masa kini dan kemudian bahagia. Masa lalu yang kita bawa akan terus menyeret kita seperti halnya gravitasi. Upaya apapun yang kita lakukan untuk bisa terbang akan senantiasa diseret ke bawah. Jika daya yang digunakan lebih lemah dibandingkan daya tarik gravitasi tersebut, tentu kita akan terjatuh. Jadinya, semua usaha kita akan sia-sia. Setiap upaya akan dipatahkan, sebab, sedetik saja kehilangan daya, kita segera jatuh.
Apa yang bisa kita lakukan? Sepertinya, kita harus mampu menjadi seperti api, yang sifatnya selalu menjauhi gravitasi. Ketika api dihidupkan, asap yang ditimbulkan tidak pernah terjatuh, melainkan melambung ke udara. Bagaimana agar kita bisa seperti api? Kita harus mengganti poros kesedihan tersebut dengan poros baru. Bagaimana caranya? Teks Sutra Patanjali mengajarkan dua cara, yakni Abhyasa dan Vairagya. Bila kedua hal ini sukses dikerjakan, tentu zat diri kita yang terbuat dari gravitasi kesedihan akan diganti dengan zat yang mampu menjauhi gravitasi. Hanya dengan demikian kita akan secara otomatis menjadi bijaksana. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar