Semesta Bali dan Teater
SAAT ini, alam Bali mirip dengan sebuah teater keberadaannya, meminjam analogi Gauri Shankar Gupta, seorang penyair dan penulis buku ‘Mengurai Misteri Kehidupan. Ilmu Modern dan Kebijaksanaan Kuno’.
Bali menjadi sumber dan teater kegiatan sosial, budaya, bisnis, atau politik. Berbagai jenis dan bentuk aktivitas bereksistensi, sadar atau tak-sadar, bergerak atau tak-bergerak, nyata atau maya, sakral atau profan. Semua berlangsung di ruang dan waktu yang semakin padat dan tak-henti. Semua berutang kepada alam Bali, ada yang beruntung atau buntung, ada sendok perak di mulutnya tetapi adapula dalam kondisi kekurangan, ada kedamaian atau keresahan, dan sebagainya. Kenapa bisa demikian?
Kondisi paradoksal di atas sering diperbincangkan lewat ‘temu wirasa’, ‘temu wicara’, ‘dharma wacana’, ‘dharma tula’, melibatkan pikiran cerdas dari sejak dulu sampai saat ini, melalui aturan dan hukum yang mengatur keberadaannya. Penjelasan yang diperoleh berbeda-beda, tindakan yang dilakukan berbeda-beda, aksi dan reaksi juga berbeda dalam peradaban Bali sejak dulu sampai saat ini. Bagaimana sebaiknya semesta Bali dibentuk dan difungsikan agar keteraturan kosmik terwujud?
Keteraturan kosmik merupakan kondisi dan situasi damai yang menjaga interaksi antara manusia dengan Penciptanya, manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan alam. Seperti alam semesta umumnya, gerakan benda-benda langit, bintang yang jatuh, siklus rotasi planet, pergantian musim, interaksi alam dan kesadaran manusia diatur oleh Yang Maha Pencipta; Dia yang satu dan statis, tetapi lebih cepat dari pikiran; Dia yang tidak bergerak tetapi menyalip semua yang berlari, menurut Isopanishad atau Upanishad tertua. Ketidak-teraturan dapat terjadi ketika manusia menggunakan kebijakan pragmatis; labirin duniawi lebih menguasai pikiran dan tindakan.
Bagaimana agar semesta Bali menjadi arena aman, damai, dan sejahtera ? Mungkin salah satu pendekatannya menggunakan kebijaksanaan Veda. Ilmu pengetahuan modern lebih tunduk pada tipuan indrawi. Indra dan kecerdasan memiliki keterbatasan, tidak semua perubahan dapat dijelaskan, tidak semua gejala dapat dipahami, tidak semua masalah dapat diberi solusi. Sebaliknya, Veda memandang realitas tunggal dalam berbagai situasi pluralistik. Artinya, Bali dipandang sebagai sebuah entitas sosial dan budaya yang utuh. Bali memiliki kesadaran budaya adiluhung yang sedang dalam situasi plural, ada berbagai suku bangsa, ada berbagai kepentingan, ada berbagai aktivitas, ada berbagai gagasan, dan sebagainya. Disadari atau tidak, realitas tunggal Bali memiliki tiga unsur, yaitu: ruang, waktu, dan patrum.
Ruang Bali memiliki keterbatasan kapasitas bawaan (carrying capacity), yaitu: bentang alam. Keterbatasan harus dijadikan dasar pertimbangan dalam memilih pertunjukan sebuah teater. Teater bermutu akan menarik penonton yang banyak; penonton meminta fasilitas yang memadai; karakter penonton memicu berbagai persoalan. Demikian halnya dengan ‘waktu’. ‘Waktu’ yang dimiliki Bali bukan tidak tak terbatas. Teater semesta Bali memiliki awal dan akhir, awalnya damai, aman dan sentosa, namun akhirnya, kaotik, mengkhawatirkan, dan tak sejahtera.
Unsur ketiga adalah patrum, ia mirip ‘tubuh’ yang bersifat transformatif. Seperti bayi lahir, tumbuh menjadi anak, menanjak remaja, berkembang dewasa, dan akhirnya mati. Semua ini adalah transformasi bentuk, bukan penghancuran jiwa, karena jiwa tak dapat dibinasakan. Contoh lain, seperti biji benih kecil, berubah menjadi pohon besar, dan suatu hari, tumbang serta terbakar menjadi abu. Bali harus bertransformasi menjadi Bali yang maju, modern, dan sejahtera tanpa meninggalkan atau menghanguskan jiwa kebaliannya yang adiluhung. Semoga. *
Prof Drs Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
1
Komentar