Mahasiswa Semester VI Jadi Peneliti Muda
Prodi Sastra Bali Unud Gelar Seminar Linguistik
DENPASAR, NusaBali
Tiga peneliti muda dari dari semester VI Prodi Sastra Bali Universitas Udayana, Putu Devy Widayanti, I Gede Bagus Wistara Jaya Negara, dan Ida Ayu Agung Tirtayani mempresentasikan hasil kajiannya tentang eksistensi bahasa Bali di era kekinian dalam Seminar Linguistik yang digelar di Ruang Ir Soekarno, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud, Senin (27/5). Mereka mengungkapkan beberapa tema mulai dari permainan tradisional hingga penggunaan seha pemangku.
Dosen Prodi Sastra Bali, Putu Eka Guna Yasa, SS MHum mengatakan, seminar ini bertujuan memberikan pengalaman langsung pada mahasiswa untuk menyajikan hasil kajiannya. Dengan demikian, mahasiswa yang masih semester VI ini memiliki gambaran tentang penelitian kebudayaan, terutama kebahasaan. “Melalui seminar ini diharapkan mimbar akademik di prodi Sastra Bali Udayana akan terbuka,” ujarnya.
Penyaji pertama, Putu Devy Widayanti, memaparkan adanya istilah-istilah permainan tradisional yang mulai tergerus, bahkan hilang diterpa perubahan zaman yang pesat. Dalam kajiannya yang berjudul ‘Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Permainan Tradisional Rakyat Bali’, permainan tradisional dinyatakan turut berkontribusi pada pembentukan pola hidup masyarakat Bali.
Permainan tradisional Bali dibagi menjadi permainan anak-anak, permainan dalam bentuk judi, dan permainan tradisi yang digelar dalam waktu dan di daerah tertentu. Menurutnya, kajian terhadap istilah-istilah tersebut sangat penting sebagai dokumentasi kebahasaan. “Melalui penjajakan tersebut juga dapat dirunut perubahan pola hidup masyarakat Bali yang terjadi, termasuk daya dukung ekologi Bali saat ini terhadap kehidupan masyarakat,” ungkapnya.
Sementara I Gede Bagus Wistara Jaya Negara, mempresentasikan materi ‘Bahasa Bali dalam Ritus Pengilen Pemangku di Pura Ratu Agung Kesiman: Kajian Struktur dan Fungsi’. Dalam kajiannya diungkapkan, sejatinya bahasa Bali juga digunakan dalam lantunan doa-doa dalam ritus agama Hindu di Bali. Secara umum, lantunan doa non-Sanskerta itu disebut dengan istilah seha. “Dalam pelaksanaan pangilen pemangku di prosesi tersebuut ditemukan adanya kalimat perintah, kalimat berita, dan kalimat tanya,” jelasnya.
Sedangkan Ida Ayu Agung Tirtayani membahas tentang ‘Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Pediksan’. Ia memaparkan sejumlah temuan kata dalam proses pentasbihan seorang pendeta Hindu di Bali. Kata-kata itu dipandang sangat penting dan sentral, namun banyak yang saat ini kurang dipahami. “Istilah-istilah yang ada dalam proses pediksaan berbeda, misalnya istilah untuk anting dan genitri yang dipakai di telinga sulinggih itu berbeda, meski kelihatan mirip,” bebernya. *ind
Dosen Prodi Sastra Bali, Putu Eka Guna Yasa, SS MHum mengatakan, seminar ini bertujuan memberikan pengalaman langsung pada mahasiswa untuk menyajikan hasil kajiannya. Dengan demikian, mahasiswa yang masih semester VI ini memiliki gambaran tentang penelitian kebudayaan, terutama kebahasaan. “Melalui seminar ini diharapkan mimbar akademik di prodi Sastra Bali Udayana akan terbuka,” ujarnya.
Penyaji pertama, Putu Devy Widayanti, memaparkan adanya istilah-istilah permainan tradisional yang mulai tergerus, bahkan hilang diterpa perubahan zaman yang pesat. Dalam kajiannya yang berjudul ‘Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Permainan Tradisional Rakyat Bali’, permainan tradisional dinyatakan turut berkontribusi pada pembentukan pola hidup masyarakat Bali.
Permainan tradisional Bali dibagi menjadi permainan anak-anak, permainan dalam bentuk judi, dan permainan tradisi yang digelar dalam waktu dan di daerah tertentu. Menurutnya, kajian terhadap istilah-istilah tersebut sangat penting sebagai dokumentasi kebahasaan. “Melalui penjajakan tersebut juga dapat dirunut perubahan pola hidup masyarakat Bali yang terjadi, termasuk daya dukung ekologi Bali saat ini terhadap kehidupan masyarakat,” ungkapnya.
Sementara I Gede Bagus Wistara Jaya Negara, mempresentasikan materi ‘Bahasa Bali dalam Ritus Pengilen Pemangku di Pura Ratu Agung Kesiman: Kajian Struktur dan Fungsi’. Dalam kajiannya diungkapkan, sejatinya bahasa Bali juga digunakan dalam lantunan doa-doa dalam ritus agama Hindu di Bali. Secara umum, lantunan doa non-Sanskerta itu disebut dengan istilah seha. “Dalam pelaksanaan pangilen pemangku di prosesi tersebuut ditemukan adanya kalimat perintah, kalimat berita, dan kalimat tanya,” jelasnya.
Sedangkan Ida Ayu Agung Tirtayani membahas tentang ‘Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Pediksan’. Ia memaparkan sejumlah temuan kata dalam proses pentasbihan seorang pendeta Hindu di Bali. Kata-kata itu dipandang sangat penting dan sentral, namun banyak yang saat ini kurang dipahami. “Istilah-istilah yang ada dalam proses pediksaan berbeda, misalnya istilah untuk anting dan genitri yang dipakai di telinga sulinggih itu berbeda, meski kelihatan mirip,” bebernya. *ind
Komentar