Kemenkum HAM Mediasi Kasus Janda Tiga Anak
Petugas Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) Bali memediasi kasus janda tiga anak, Ni Wayan Widiasih, dengan kedua iparnya Komang Arsana dan Wayan Marjaya di kantor Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Bangli, Selasa (28/5).
BANGLI, NusaBali
Mediasi yang dihadiri prajuru adat dan perbekel itu menghasilkan kesepakatan bagi waris dan kewajiban lainnya. Dalam mediasi itu, petugas Kemenkum HAM Bali memberikan para pihak yakni Ni Wayan Widiasih dan Komang Arsana untuk menyampikan argumennya. Kemenkum HAM Bali sebagai mediator juga mencari masukan dari prajuru Banjar Lumbuhan. Mediasi berlangsung cukup lama. Disepakati untuk ketiga anak dari Ni Wayan Widiasih yakni Gede Arta Wiguna Erai Saputra, Kadek Arta Wibawa Dwi Putra, dan Komang Arta Widnyana Triputra mendapatkan sawah dan tegalan.
Kepala Sub Kemajuan Bidang HAM Kementerian Hukum dan HAM Bali, Isya Narapraja mengatakan Widiasih dan Komang Arsana masih satu keluarga. Setelah mediasi diharapkan mereka bisa akur kembali dan menjalani hari-hari ke depannya dengan saling pengertian. “Di antara mereka sudah ada kesepakatan, nantinya akan dibuatkan notulen hasil dari mediasi ini,” ungkapnya. Sementara Bendesa Adat Lumbuhan, I Putu Artawan, menyebutkan permasalahan muncul dantara Wayan Widiasih dan keluarga suaminya karena miss komunikasi. Sawah dan tegalan yang dipersoalkan selama ini merupakan tanah ayahan desa.
Dalam mediasi disepakati untuk anak Wayan Widiasih mendapat sawah seluas 12 are dan tegalan 25 are. “Dengan hak yang didapat tentu dibarengi kewajiban yang juga harus dipenuhi,” jelasnya. Nantinya pihak Wayan Widiasih berkewajiban ngayah di Pura Melanting, Pura Kekeran, dan Pura Ulun Suwi. Ia mendesak desa dinas membuatkan surat perjanjian untuk ditandatangani oleh para pihak. “Surat perjanjian itu dijadikan dasar telah terjadinya kesepakatan antar pihak,” bebernya.
Sementara Wayan Widiasih didampingi ketiga putra mengakui anak-anaknya mendapat bagian sawah seluas 15 are dan tegalan 25 are. Ia meminta segera dibuatkan surat perjanjian. “Dengan adanya bukti hitam di atas putih berupa surat perjanjian bermaterai baru kami bisa tenang. Kami takut ipar berubah pikiran,” ungkapnya. Dengan pembagian sawah dan tegalan itu, Wayan Widiasih mengaku sedikit lega karena anaknya bisa mendapatkan tempat. 8esa
Kepala Sub Kemajuan Bidang HAM Kementerian Hukum dan HAM Bali, Isya Narapraja mengatakan Widiasih dan Komang Arsana masih satu keluarga. Setelah mediasi diharapkan mereka bisa akur kembali dan menjalani hari-hari ke depannya dengan saling pengertian. “Di antara mereka sudah ada kesepakatan, nantinya akan dibuatkan notulen hasil dari mediasi ini,” ungkapnya. Sementara Bendesa Adat Lumbuhan, I Putu Artawan, menyebutkan permasalahan muncul dantara Wayan Widiasih dan keluarga suaminya karena miss komunikasi. Sawah dan tegalan yang dipersoalkan selama ini merupakan tanah ayahan desa.
Dalam mediasi disepakati untuk anak Wayan Widiasih mendapat sawah seluas 12 are dan tegalan 25 are. “Dengan hak yang didapat tentu dibarengi kewajiban yang juga harus dipenuhi,” jelasnya. Nantinya pihak Wayan Widiasih berkewajiban ngayah di Pura Melanting, Pura Kekeran, dan Pura Ulun Suwi. Ia mendesak desa dinas membuatkan surat perjanjian untuk ditandatangani oleh para pihak. “Surat perjanjian itu dijadikan dasar telah terjadinya kesepakatan antar pihak,” bebernya.
Sementara Wayan Widiasih didampingi ketiga putra mengakui anak-anaknya mendapat bagian sawah seluas 15 are dan tegalan 25 are. Ia meminta segera dibuatkan surat perjanjian. “Dengan adanya bukti hitam di atas putih berupa surat perjanjian bermaterai baru kami bisa tenang. Kami takut ipar berubah pikiran,” ungkapnya. Dengan pembagian sawah dan tegalan itu, Wayan Widiasih mengaku sedikit lega karena anaknya bisa mendapatkan tempat. 8esa
1
Komentar