Perenialisme di Gumi Bali?
Perenialisme lebih terkenal sebagai gerakan dalam pendidikan. Gerakan ini memprotes gerakan pendidikan beraliran Progresivisme.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Progresivisme ditengara mengingkari hal-hal yang bersifat supranatural. Perenialisme adalah gerakan pendidikan yang mempertahankan nilai-nilai universal. Seyogyanya, pendidikan dimaknai sebagai upaya pencarian dan penanaman kebenaran dan nilai positif. Bagaimana kalau gerakan itu diluncurkan dalam kegiatan, misalnya dalam beragama, berpolitik atau berkomunikasi sosial?
Analog dengan penggagasnya, yaitu Robert Hutchins bahwa tugas terpenting mendidik adalah mengajar. Mengadopsi pemikiran perenialis, maka beragama semestinya memberi pengetahuan tentang kesemestaan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran seharusnya sama, tidak tergantung desa, kala atau patra. Dengan demikian, inti beragama adalah memberi pencerahan tentang kesemestaan, sekala maupun niskala.
Menurut Hutchins bahwa kendala kehidupan dapat muncul apabila proporsi antara sekala dan niskala berat sebelah. Proporsi antara sekala dan niskala yang tak sebanding akan mendatangkan bencana. Misalnya, kalau sumber energi listrik dianggap penting, maka konsekuensi logisnya sumber-sumber energi harus ditambang. Kepentingan demikian kurang mengindahkan lingkungan niskala. Kalau laut direklamasi untuk kepentingan ekonomi semata, maka lingkungan asali akan terpinggirkan. Singkatnya, uang atau materi merupakan determinan munculnya prahara.
Pemahaman keliru tentang kemajuan dapat juga mengundang prahara. Kemajuan bukan akumulasi pendapatan atau investasi material. Pemahaman akan pentingnya manfaat akan banyak menyelamatkan Bali dari degradasi. Kemajuan ekonomi tidak selamanya baik untuk kedamaian sekala maupun niskala.
Mungkin sama dengan pemahaman terhadap Tiga Kerangka Agama Hindu, yaitu, tattwa, susila, dan acara. Idealnya, ketiga kerangka tersebut membentuk segitiga sama sisi. Artinya, ketiganya sama persis keutamaannya. Setiap kerangka memiliki bentuk berbeda, namun nilai keutamaannya sama tinggi. Inilah yang harus diajarkan kepada krama tanpa pengecualian.
Orientasi beragama perenialis adalah Scholastisisme atau Neo-Thomisme. Orientasi filosofisnya memandang realita merupakan dunia akal pikiran dan Tuhan. Jadi, beragama yang berspektif perenialis memadukan ketiga kerangka, yaitu, tattwa, susila, dan acara secara harmonis. Institusi agama dan adat di Bali seharusnya dapat membantu krama untuk menyingkap dan menanamkan kebenaran-kebenaran objektif. Kebenaran-kebenaran sekala dan niskala harus dimaknai universal dan konstan. Pemerolehan kebenaran-kebenaran tersebut hendaknya menjadi tujuan beragama, bukan memperoleh kebenaran personal yang relatif. Kebenaran-kebenaran tersebut dapat dicapai melalui pemahaman sastra agama, latihan berkarakter, dan melaksanakan ritual agama secara bermakna.
Dalam perspektif perenialis, sulinggih dan elite agama maupun adat adalah mereka yang memiliki pengetahuan luas dan mendalam tentang agama Hindu dan kebudayaan Bali. Keluasan pengetahuan akan membentuk otoritas yang tidak diragukan. Otoritas yang dibarengi dengan kebajikan akan mewujudkan kredibilitas. Dalam kenyataan sehari-hari, kesimpangsiuran dalam berpikir, berkata dan berperilaku antar-sulinggih, penguasa, dan masyarakat sering muncul ke permukaan. Akibat polarisasi pemikiran itu, krama terpecah, pembaharuan tersendat, kesejahteraan bergerak lambat, kemiskinan bertambah pasti, erosi tanah Bali semakin menggila, kekerasan menyebar, penyakit sosial menular, dan seterusnya.
Agar keber-agama-an berjalan baik, maka esensinya harus disandarkan pada nilai-nilai kebudayaan Bali. Ciri utama dari kebudayaan Bali adalah fleksibilitas, seperti tersirat dalam konsep Tri Hita Karana atau adagium ‘paras paros sarpanaya’ dan ‘salulung sabayantaka’. Fleksibilitas tersebut tidak mengekang seseorang atau sekelompok krama kepada doktrin, lontar atau aliran tertentu. Idealnya, pada taraf permulaan beragama harus dimulai dengan memahami apa yang dilakukan dan melakukan apa yang dipahami.
Immanuel Kant mengajarkan gerakan dari mikrokosmos menuju makrokosmos. Segala pengetahuan beragama dicapai melalui acara yang memiliki unsur apriori, bukan pengalaman. Pada tahap selanjutnya, gerakan beragama ditujukan ke darsana (susila) dan tattwa. Semoga kedamaian datang dari segala penjuru dan gumi Bali menjadi tata tentrem, kertha raharja. 7
Komentar