Rp 5 Juta untuk ‘Membeli’ 50 Suara
Nyoman Redana
KPU Bali
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
bawaslu Buleleng
Pemilu 2019
Money Politic
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dalam perkara dugaan pelanggaran kode etik dengan pihak teradu Ketua Bawaslu Buleleng I Gede Sugi Ardana, Jumat (31/5) pagi, di Kantor KPU Bali Jalan Cokorda Agung Tresna, Niti Mandala, Denpasar.
Sidang DKPP Dugaan Money Politics Pileg 2019 di Buleleng
DENPASAR, NusaBali
Dalam sidang tersebut terungkap ada gelontoran uang alias dugaan money politics oleh oknum caleg DPRD Bali Dapil Buleleng dari Partai NasDem, Dr Somvir, sebesar Rp 5 juta untuk mendapatkan 50 suara di Buleleng.
Sidang DKPP menghadirkan teradu Ketua Bawaslu Buleleng Sugi Ardana dan pengadu Nyoman Redana, warga Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng yang didampingi kuasa hukum Anak Agung Gede Parwata. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hardjono (Ketua DKPP RI), anggota majelis Gde Jhon Darmawan (unsur KPU Bali), Wayan Wirya (unsur Bawaslu Bali), Ketut Sunadra (unsur tokoh masyarakat). Sidang juga dihadiri Ketua Bawaslu Bali Ketut Ariyani, anggota Bawaslu Bali Divisi Hukum Dewa Kade Wiarsa Raka Sandhi, Wadir Intelkam Polda Bali AKBP Dwi Wahyudi.
Pengadu Redana dalam keterangannya yang disampaikan kuasa hukum Parwata, mengungkap bahwa pada 15 April 2019 pengadu Redana dihubungi melalui telepon oleh Gede Subrata yang diketahui sebagai tim sukses Caleg Dr Somvir untuk bertemu di Hotel Lilys Lovina, Buleleng yang notabene juga sebagai kantor Dr Somvir. Redana datang pada sekitar pukul 15.00 Wita di hotel yang dimaksud, bertemu Subrata dan Dr Somvir. Sebelum terjadi pembicaraan masalah suara pileg, Redana sempat diminta mengisi buku tamu. Nah, dalam pertemuan itu Somvir meminta Redana mencarikan suara di Desa Pedawa sebanyak 50 suara supaya bisa memenangkan pertarungan Caleg DPRD Bali 2019. Dr Somvir masuk ke ruangannya diikuti Subrata. Beberapa saat kemudian Subrata keluar dan menyerahkan uang sebesar Rp 5 juta kepada Redana.
“Subrata meminta Redana menandatangani kwitansi, namun karena Redana tidak bisa tanda tangan maka saat itu keponakan Redana yang ikut hadir bernama Gede Muliawan menandatangani. Hadir juga saksi Made Nurai saat itu, yang juga diminta oleh Subrata untuk memilih Dr Somvir,” beber Parwata.
Dalam perjalanannya ternyata pada 20 April, Redana menerima teror dan diancam akan ditahan oleh penelepon gelap melalui nomor telepon pribadi, kalau Dr Somvir tidak mendapatkan 50 suara. Karena merasa terancam akhirnya Redana melaporkan hal tersebut ke Bawaslu Kabupaten Buleleng, dengan laporan dugaan money politics dan pengancaman. Bawaslu Buleleng pun menindaklanjuti dengan memeriksa saksi-saksi dan melakukan proses sesuai dengan mekanisme dugaan pelanggaran pemilu. Namun hasilnya laporan Redana tidak dapat ditindaklanjuti karena tidak memenuhi unsur. Tidak terima, Redana mengadukan Bawaslu Buleleng ke DKPP yang diregister dengan Nomor 93-PKE-DKPP/V/2019.
Sementara teradu Sugi Ardana yang didengar keterangannya oleh Ketua Majelis Hardjono menyebutkan pihak Bawaslu sudah menindaklanjuti pengaduan Redana tentang money politics dan ancaman tersebut, sesuai dengan mekanisme dan kewenangan yang dimiliki Bawaslu Buleleng. Namun Bawaslu Buleleng melihat laporan Redana tidak memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di mana disebutkan bahwa yang bisa dijerat dalam tindak pidana pemilu adalah peserta pemilu, tim kampanye, dan pelaksana pemilu. Sementara Subrata tidak termasuk sebagai peserta kampanye, tim kampanye, dan pelaksana pemilu. “Kami sudah tindaklanjuti laporan pengadu. Seluruh proses kami laksanakan,” ucap Ketua Bawaslu Buleleng Sugi Ardana yang kemarin didampingi anggota Bawaslu Buleleng (pihak terkait).
Sementara sikap Redana dengan bahasa Bali logat Buleleng membuat ruang sidang menjadi riuh. Keriuhan itu terjadi karena Redana mengumpat Bawaslu, padahal dia belum diminta bicara dalam forum. Redana mengatakan Bawaslu Buleleng bersikap aneh. “Saya sudah melapor ke Bawaslu, kok malah ditanya lagi. Kenapa sudah dapat uang melapor, aneh Bawaslu Buleleng ini,” ujar Redana.
Melihat sidang tidak tertib, Ketua Majelis Hardjono menegur Redana. “Bapak jangan bicara kalau tidak diminta bicara. Sidang ini ada etikanya ya. Nanti bicara, kalau sudah diminta bicara,” ujar Hardjono.
Yang menggelitik kemarin ketika Redana menerangkan kepada sidang majelis bahwa dirinya pernah menyerahkan sisa uang dari dugaan money politics Rp 500 ribu lengkap dengan kwitansi kepada Subrata. Nah ketika anggota majelis Wayan Wirka memeriksa kwitansi sebagai bukti penyerahan uang sisa Rp 500 ribu tersebut, ternyata bukan kwitansi tanda terima yang diserahkan. Tetapi bukti penerimaan pengaduan ke Bawaslu.
Sidang dengan agenda penyampaian kesimpulan teradu dan pengadu akan dilaksanakan pada Senin (3/6) mendatang. Menurut anggota Majelis Wayan Wirka, teradu dan pengadu tinggal menyerahkan kesimpulan masing-masing. Nanti DKPP akan memutuskan dalam sidang di DKPP berdasarkan sidang pemeriksaan. “Teradu dan pengadu diminta menyerahkan kesimpulan masing-masing. Nanti DKPP akan memutuskan dalam sidang di DKPP,” ujar Wirka.
Sementara atas kasus dugaan money politics yang terungkap dalam sidang etik oleh DKPP, pihak Dr Somvir belum bisa dimintai keterangan. Saat dihubungi melalui ponselnya bernada mailbox. Sedangkan DPW Partai NasDem melalui Bendahara DPW I Gusti Bagus Eka Subagiarta yang dikonfirmasi secara terpisah, menegaskan ada upaya menjatuhkan dan menjegal Dr Somvir supaya didiskualifikasi sebagai Caleg terpilih untuk kursi DPRD Bali. “Kami sudah ikuti sidangnya, inilah politik. Ada yang menginginkan Dr Somvir didiskualifikasi sebagai caleg terpilih. Kami serahkan proses ini kepada DKPP dan KPU Bali saja,” kata Gus Eka. 7 nat
1
Komentar