Karena Kata, Bisa Celaka
Kata merupakan unsur bahasa paling pokok, baik tuturan maupun tulisan. Kata mewujudkan ide, sifat, atau pikiran penutur atau penulis.
Kata-kata merupakan rangkaian pikiran dalam berbahasa. Memilih kata yang tepat dan baik menjadi penting, salah memilih dan merangkai kata dapat memicu kemarahan, kebencian atau perselisihan. Seperti penyair memilih dan merangkai kata amat penting untuk menunjukkan kekuatan atau daya pikat. Seorang agitator akan memilih strategi lain dari penyair atau penutur sopan. Efek baik atau buruk kata amat tergantung situasi, kondisi dan toleransi seseorang. Krama Bali menyebut orang yang menggunakan kata buruk sebagai ‘sing bisa mapeta’! Makna kata tergantung konteks linguistik maupun sosial-budaya.
Melarang anak usia dini dengan kata “tidak” atau “jangan” adalah cara untuk menunjukkan larangan. Kata tersebut mengandung nada memerintah. Anak akan menerima larangan itu dengan lebih atentif. Kata-kata yang tidak jelas maknanya dan disampaikan dengan berputar akan melemahkan pesan. Kata “tidak” memberi batasan perilaku yang bisa diterima, sehingga anak diharapkan belajar tentang batasan-batasan perilaku. Walau kata tersebut tidak sering digunakan dan diganti dengan ‘sikap diam’, anak akan belajar juga bahwa sikap diam sama maknanya dengan “tidak” atau “jangan”. Artinya, kata-kata dapat ucapkan secara verbal, nonverbal atau para verbal.
Mengatakan “tidak” atau “jangan” bisa berefek positif pada anak. Jika mengucapkannya dengan nada tenang tetapi tegas, bukan sambil berteriak marah atau menangis putus asa, anak akan belajar memahami tidak semua penolakan jelek. Mengatakan “tidak” disertai dengan penjelasan bisa memeroleh respon positif. Dengan teknik demikian, anak memeroleh contoh atau model baik dari orang dewasa (Bandura,1997,2015). Mengatakan “tidak” bukanlah hal yang haram hukumnya. Selama kata-kata dikemas dengan bijak, anak akan meniru teladan yang diberikan !
Ujaran menggunakan kata-kata kebencian, penistaan atau merendahkan akan menuai reaksi keras, apalagi ujaran disampaikan secara terbuka. Bali disebut pulau dewata, surga dunia yang aman damai, ‘tata tentrem kertha raharja’, jangan mengusiknya dengan ujaran-ujaran pembedaan atas dasar sejarah lama. Kosmologi Bali di masa silam berbeda dengan saat ini. Di masa kerajaan dulu, Bali ditentukan sepenuhnya oleh penguasa tradisional. Apa kata penguasa saat itu dipastikan sebagai kebenaran. Tetapi kebenaran masa silam akan diuji dengan berbagai parameter saat ini. Karenanya, setiap krama Bali harus berhati-hati dalam berujar terbuka di ruang publik. Virus ujaran kebencian, intoleransi, dan provokasi yang terbungkus akan menjelma menjadi mesin pembunuh. Kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja, mesin pemusnah itu dapat meletus dan membinasakan!
Pada masa silam, kehormatan sering dibedakan antara elite dan non-elite. Krama Bali non-elite sering menghormat krama elite sebagai sosok yang memiliki ‘a superior status or culture’, status sosial dan kultur lebih tinggi (Pocock,1974). Karenanya, mereka wajib menghormati setiap pikiran, perkataan dan perbuatannya, karena kehormatan merupakan sesuatu yang wajib ditunjukkan oleh krama non-elite.
Sedangkan, kehormatan dari krama elite tidak wajib sifatnya. Pada masa kini, kehormatan bukan adalah ‘ the product of unconditioned freedom’, kebebasan yang tidak berkondisi apapun, suatu rasa hormat kepada sesama atas dasar ‘persuasion in a tangible shape’, meminjam kata-kata Castlereagh seorang sarjana Inggris. Kata-kata hormat haruslah merupakan suatu ajakan atau bujukan yang memiliki bentuk yang tidak menghina, memprovokasi atau merendahkan. Dengan cara demikian, tidak ada ujaran yang mengandung kebencian, merendahkan atau menistakan siapapun atau apapun. Sudah saatnya, krama Bali lebih memilih ujaran yang mengandung kasih sayang, persamaan derajat, dan saling menghargai satu sama lainnya. Dengan demikian, Bali akan mewujud menjadi sorga sekala maupun niskala. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra,MSc,Ph.D
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Melarang anak usia dini dengan kata “tidak” atau “jangan” adalah cara untuk menunjukkan larangan. Kata tersebut mengandung nada memerintah. Anak akan menerima larangan itu dengan lebih atentif. Kata-kata yang tidak jelas maknanya dan disampaikan dengan berputar akan melemahkan pesan. Kata “tidak” memberi batasan perilaku yang bisa diterima, sehingga anak diharapkan belajar tentang batasan-batasan perilaku. Walau kata tersebut tidak sering digunakan dan diganti dengan ‘sikap diam’, anak akan belajar juga bahwa sikap diam sama maknanya dengan “tidak” atau “jangan”. Artinya, kata-kata dapat ucapkan secara verbal, nonverbal atau para verbal.
Mengatakan “tidak” atau “jangan” bisa berefek positif pada anak. Jika mengucapkannya dengan nada tenang tetapi tegas, bukan sambil berteriak marah atau menangis putus asa, anak akan belajar memahami tidak semua penolakan jelek. Mengatakan “tidak” disertai dengan penjelasan bisa memeroleh respon positif. Dengan teknik demikian, anak memeroleh contoh atau model baik dari orang dewasa (Bandura,1997,2015). Mengatakan “tidak” bukanlah hal yang haram hukumnya. Selama kata-kata dikemas dengan bijak, anak akan meniru teladan yang diberikan !
Ujaran menggunakan kata-kata kebencian, penistaan atau merendahkan akan menuai reaksi keras, apalagi ujaran disampaikan secara terbuka. Bali disebut pulau dewata, surga dunia yang aman damai, ‘tata tentrem kertha raharja’, jangan mengusiknya dengan ujaran-ujaran pembedaan atas dasar sejarah lama. Kosmologi Bali di masa silam berbeda dengan saat ini. Di masa kerajaan dulu, Bali ditentukan sepenuhnya oleh penguasa tradisional. Apa kata penguasa saat itu dipastikan sebagai kebenaran. Tetapi kebenaran masa silam akan diuji dengan berbagai parameter saat ini. Karenanya, setiap krama Bali harus berhati-hati dalam berujar terbuka di ruang publik. Virus ujaran kebencian, intoleransi, dan provokasi yang terbungkus akan menjelma menjadi mesin pembunuh. Kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja, mesin pemusnah itu dapat meletus dan membinasakan!
Pada masa silam, kehormatan sering dibedakan antara elite dan non-elite. Krama Bali non-elite sering menghormat krama elite sebagai sosok yang memiliki ‘a superior status or culture’, status sosial dan kultur lebih tinggi (Pocock,1974). Karenanya, mereka wajib menghormati setiap pikiran, perkataan dan perbuatannya, karena kehormatan merupakan sesuatu yang wajib ditunjukkan oleh krama non-elite.
Sedangkan, kehormatan dari krama elite tidak wajib sifatnya. Pada masa kini, kehormatan bukan adalah ‘ the product of unconditioned freedom’, kebebasan yang tidak berkondisi apapun, suatu rasa hormat kepada sesama atas dasar ‘persuasion in a tangible shape’, meminjam kata-kata Castlereagh seorang sarjana Inggris. Kata-kata hormat haruslah merupakan suatu ajakan atau bujukan yang memiliki bentuk yang tidak menghina, memprovokasi atau merendahkan. Dengan cara demikian, tidak ada ujaran yang mengandung kebencian, merendahkan atau menistakan siapapun atau apapun. Sudah saatnya, krama Bali lebih memilih ujaran yang mengandung kasih sayang, persamaan derajat, dan saling menghargai satu sama lainnya. Dengan demikian, Bali akan mewujud menjadi sorga sekala maupun niskala. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra,MSc,Ph.D
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
1
Komentar