Puluhan Hotel dan Restoran Lolos Bayar Pajak
Kewajiban bayar pajak tidak dilakukan karena hotel maupun restoran dimaksud belum ditetapkan sebagai wajib pajak.
Jadi Temuan BPK RI
SINGARAJA, NusaBali
Puluhan hotel dan restoran diketahui tidak pernah membayar pajak, menyusul audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Bali, atas pelaksanaan APBD Kabupaten Buleleng tahun 2018. Menariknya, puluhan hotel dan restoran itu tidak membayar pajak karena Pemkab Buleleng tidak menetapkan sebagai wajik pajak (WP).
Data dihimpun, berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) dan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP), BPK RI mencatat ada 641 hotel yang semestinya dipungut pajak. Namun dari jumlah itu, sebanyak 29 hotel tidak dipungut pajak karena belum ditetapkan sebagai WP, sehingga hotel tersebut tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD).
Kondisi yang sama juga terjadi di pajak restoran. Dari 424 restoran, 13 restoran belum ditetapkan sebagai WP sehingga pajaknya tidak bisa dipungut, karena tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD). “Ini kok aneh, bagaimana bisa mendapatkan izin operasional. Padahal salah satu syarat pengajuan izin itu harus ada NPWP. Ini salahnya dimana, OPD yang mengurus izinnya, atau OPD yang mengurus perpajakan. Atau apakah hotel dan restoran ini memang belum memiliki izin atau bagaimana,” kata Ketua Komisi I DPRD Buleleng, Putu Mangku Mertayasa, dalam pembahasan hasil audit BPK RI terhadap APBD 2018, Senin (10/6) pagi, di Gedung DPRD Buleleng, Jalan Veteran Singaraja.
Pembahasan hasil audit BPK RI kemarin melibatkan gabungan komisi dengan tim ahli DPRD Buleleng. Rapat tersebut dipimpim Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna. Dari pembahasan tersebut terungkap pula, akibat pajak yang tidak dipungut dari 29 hotel dan 13 restoran tersebut, berpengaruh pada target Pendapatan Asli Daerah. Disebutkan, target PAD pada tahun 2018 ditetapkan sebesar Rp 376.365.727.547, namun realisasinya hanya sebesar Rp 335.555.493.392, atau 89,6 persen.
Melesetnya capaian terget PAD, juga dipengaruhi oleh tidak intensifnya penagihan piutang pajak daerah. Terbukti piutang pajak daerah meningkat dari sebesar Rp 71.068.387.425,73 menjadi Rp 75.992.872.760,77 atau terjadi kenaikan sebesar Rp 4.924.485.335,04 atau 6,93 persen. Tercatat, tunggakan paling tinggi dari piutang PBB sebesar Rp 71.369.360.639,64, kemudian piutang pajak hotel Rp 2.196.286.663,14, dan piutang pajak restoran Rp 1.495.847.039,93, dan piutang pajak air tanah Rp 805.064.160.
Ketua DPRD Buleleng, Gede Supit usai memimpin rapat mengaku telah menyusun jadwal untuk membahas lebih lanjut temuan tersebut dengan eksekutif. “Kita akan bahas ini bersama-sama dengan eksekutif. Karena ini temuan memang harus diakui dan dilaksanakan oleh eksekutif untuk perbaikan. Sehingga dalam Pemeriksaan tahun anggaran selanjutnya tidak muncul lagi temuan yang sama,” tegasnya.
Sementara terpisah, Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (BPMPPTSP), Putu Artawan menyebut, pihaknya tidak memiliki data terkait dengan hotel dan restoran yang belum memiliki izin. Selama ini, tupoksi BPMPPTSP Buleleng hanya memberikan pelayanan secara administrasi untuk pengurusan izin. “Kalau kami, sifatnya siapa yang memohon izin, kami lakukan kajian dan pengecekan ke lapangan, jika memenuhi syarat izin kami keluarkan. Mengenai data hotel dan retoran yang tidak memiliki izin bukan kami ranahnya, mungkin di Tim Yustisi, dan masalah apakah mereka sudah terdaftar (WP, red) ada di BKD,” jelasnya. *k19
Komentar