Pilih Judul Nyentrik dan Panjang, Aneh di Zamannya
I Made Pasek, Pelopor Penulis Sastra Bali Modern asal Buleleng
SINGARAJA,
DARI sejumlah cerpen karya I Made Pasek diketahui memiliki karakteristik penulisan yang sangat berbeda dengan sastrawan Bali lainnya. I Made Pasek banyak menulis karakteristik kejadian masyarakat Bali yang dituangkan dalam bentuk cerpen.
Karya sastra itu pun disebut oleh Dosen Bahasa Bali Unud, Gede Gita Purnama, sudah sangat modern pada zaman itu. “Karena dulu sastrawan Bali cenderung menulis kejadian atau peristiwa di lingkungannya ke dalam bentuk geguritan atau satwa,” kata dosen yang akan melanjutkan penelitian Prof Darma Putra ini.
Naskah cerpen yang dibuat I Made Pasek sisebut Gita Purnama sudah ditulis pada tahun 1910. Sejumlah cerpennya pun memiliki judul yang sangat nyentrik dan kekinian pada masa itu. Seperti cerpen dengan judul Ajam Mepalu, I Kelioud Teken I Tragia, Pemadat Keneh Joejoer Dadi Moedjoer. I Made Pasek saat itu juga disebut tak ragu membuat judul cerpen panjang yang baru ngetren di awal tahun 2000.
Cerpen karya I Made Pasek dengan konflik yang sangat modern saat itu ditulis menggunakan bahasa Bali Kepara, yang saat ini sebagian besar tak dipakai lagi. Karyanya itu ditulis dengan ejaan lama.
Tak hanya cerpen dan buku panduan mengajar, I Made Pasek juga sempat menulis terjemahan tentang penyakit mata dalam aksara dan bahasa Bali. Hal ini pun dinilai cukup menarik, mengingat menyimpang dari profesinya sebagai seorang guru. Buku itu diduga ditulis I Made Pasek dari warisan kemampuan leluhurnya di bidang usadha.
Sementara itu di rumah I Made Pasek yang kini dihuni cucu dan cicitnya tak ditemukan satu pun buku karyanya. Gita Purnama dan keluarga I Made Pasek saat ini hanya masih menyimpan catatan tangan dan sejumlah lontar yang beraksara Bali yang disalin ke dalam kertas. Satu buku yang juga menarik setelah pebongkaran file di rumah I Made Pasek juga ditemukan kumpulan kosa kata Bahasa Bali yang berjudul Eka Lawya dalam bentuk tulisan tangan.
Sedangkan karyanya yang paling berpengaruh adalah buku terjemahan Ni Diah Tantri yang ditulis pada tahun 1930. Cerita pendek dalam buku Ni Diah Tantri cukup fenomenal karena sering dipakai sebagai bahan soal di Lembar Kerja Siswa (LKS) Bahasa Bali.
Terkait kelanjutan penelitian menyangkut I Made Pasek, Gita Purnama mengaku masih memburu peredaran buku sastrawan itu di sejumlah tempat. Termasuk meminta izin pada perpustakaan Leiden Belanda dan Australia untuk meng-coppy film buku yang sudah dalam bentuk mikro-film.
Cucu I Made Pasek yang kini mewarisi rumah tuanya, Ketut Putu Astita, menceritakan pihak keluarga hanya mendapati catatan-catatan tangan dan beberapa lontar. Sedangkan arsip karya sastra dalam bentuk buku hampir nihil ditemukan di rumah. Astita pun mengaku tak bertemu dengan kakeknya yang sastrawan itu, menurut penuturan ayahnya Gede Sujana (anak pertama I Made Pasek,red) meninggal di usia muda.
“Saya tidak ketemu dengan beliau, karena kakek saya katanya lahir tahun 1889 dan meninggal di usia 35 tahun. Kami juga tidak menemukan karya-karya beliau di rumah,” kata Astita yang kini sudah memasuki usia kepala enam.
Menurut Astita, I Made Pasek punya dua orang anak laki-laki, yakni Gede Sujana dan Made Rai. Selama ini pihak keluarga tak tahu bagaimana cara memperlakukan warisan I Made Pasek yang tersisa di rumah. Lontar dan buku catatan tangan itu hanya diupacarai pada hari Saraswati. Anak dan cucunya pun tidak ada yang meneruskan karier I Made Pasek sebagai penulis sastra Bali modern yang juga sempat menerima penghargaan Wija Kusuma dari Pemkab Buleleng di tahun 2009 silam.
“Kami bersyukur ada peneliti ke sini sehingga kami tahu lebih banyak. saya hanya tahu dari cerita bapak dulu beliau pengarang Ni Diah Tantri, sayangnya di keluarga tidak banyak yang menulis, saya malah kuliah di elektronika, bapak saya malah dagang, sebab itu catatan keluarga kami akui sangat minim,” jelas Astita.
Ia dan anak-anaknya selama ini berupaya untuk membaca karya-karya I Made Pasek, namun cukup kesulitan mengingat sebagian besar bertuliskan aksara Bali. Dari sejumlah karya yang sempat dibaca Astita, menilai cerpen karya kakeknya itu lucu-lucu dan kaya ajaran, tak jarang juga menyertakan cecimpedan di dalamnya. *k23
Karya sastra itu pun disebut oleh Dosen Bahasa Bali Unud, Gede Gita Purnama, sudah sangat modern pada zaman itu. “Karena dulu sastrawan Bali cenderung menulis kejadian atau peristiwa di lingkungannya ke dalam bentuk geguritan atau satwa,” kata dosen yang akan melanjutkan penelitian Prof Darma Putra ini.
Naskah cerpen yang dibuat I Made Pasek sisebut Gita Purnama sudah ditulis pada tahun 1910. Sejumlah cerpennya pun memiliki judul yang sangat nyentrik dan kekinian pada masa itu. Seperti cerpen dengan judul Ajam Mepalu, I Kelioud Teken I Tragia, Pemadat Keneh Joejoer Dadi Moedjoer. I Made Pasek saat itu juga disebut tak ragu membuat judul cerpen panjang yang baru ngetren di awal tahun 2000.
Cerpen karya I Made Pasek dengan konflik yang sangat modern saat itu ditulis menggunakan bahasa Bali Kepara, yang saat ini sebagian besar tak dipakai lagi. Karyanya itu ditulis dengan ejaan lama.
Tak hanya cerpen dan buku panduan mengajar, I Made Pasek juga sempat menulis terjemahan tentang penyakit mata dalam aksara dan bahasa Bali. Hal ini pun dinilai cukup menarik, mengingat menyimpang dari profesinya sebagai seorang guru. Buku itu diduga ditulis I Made Pasek dari warisan kemampuan leluhurnya di bidang usadha.
Sementara itu di rumah I Made Pasek yang kini dihuni cucu dan cicitnya tak ditemukan satu pun buku karyanya. Gita Purnama dan keluarga I Made Pasek saat ini hanya masih menyimpan catatan tangan dan sejumlah lontar yang beraksara Bali yang disalin ke dalam kertas. Satu buku yang juga menarik setelah pebongkaran file di rumah I Made Pasek juga ditemukan kumpulan kosa kata Bahasa Bali yang berjudul Eka Lawya dalam bentuk tulisan tangan.
Sedangkan karyanya yang paling berpengaruh adalah buku terjemahan Ni Diah Tantri yang ditulis pada tahun 1930. Cerita pendek dalam buku Ni Diah Tantri cukup fenomenal karena sering dipakai sebagai bahan soal di Lembar Kerja Siswa (LKS) Bahasa Bali.
Terkait kelanjutan penelitian menyangkut I Made Pasek, Gita Purnama mengaku masih memburu peredaran buku sastrawan itu di sejumlah tempat. Termasuk meminta izin pada perpustakaan Leiden Belanda dan Australia untuk meng-coppy film buku yang sudah dalam bentuk mikro-film.
Cucu I Made Pasek yang kini mewarisi rumah tuanya, Ketut Putu Astita, menceritakan pihak keluarga hanya mendapati catatan-catatan tangan dan beberapa lontar. Sedangkan arsip karya sastra dalam bentuk buku hampir nihil ditemukan di rumah. Astita pun mengaku tak bertemu dengan kakeknya yang sastrawan itu, menurut penuturan ayahnya Gede Sujana (anak pertama I Made Pasek,red) meninggal di usia muda.
“Saya tidak ketemu dengan beliau, karena kakek saya katanya lahir tahun 1889 dan meninggal di usia 35 tahun. Kami juga tidak menemukan karya-karya beliau di rumah,” kata Astita yang kini sudah memasuki usia kepala enam.
Menurut Astita, I Made Pasek punya dua orang anak laki-laki, yakni Gede Sujana dan Made Rai. Selama ini pihak keluarga tak tahu bagaimana cara memperlakukan warisan I Made Pasek yang tersisa di rumah. Lontar dan buku catatan tangan itu hanya diupacarai pada hari Saraswati. Anak dan cucunya pun tidak ada yang meneruskan karier I Made Pasek sebagai penulis sastra Bali modern yang juga sempat menerima penghargaan Wija Kusuma dari Pemkab Buleleng di tahun 2009 silam.
“Kami bersyukur ada peneliti ke sini sehingga kami tahu lebih banyak. saya hanya tahu dari cerita bapak dulu beliau pengarang Ni Diah Tantri, sayangnya di keluarga tidak banyak yang menulis, saya malah kuliah di elektronika, bapak saya malah dagang, sebab itu catatan keluarga kami akui sangat minim,” jelas Astita.
Ia dan anak-anaknya selama ini berupaya untuk membaca karya-karya I Made Pasek, namun cukup kesulitan mengingat sebagian besar bertuliskan aksara Bali. Dari sejumlah karya yang sempat dibaca Astita, menilai cerpen karya kakeknya itu lucu-lucu dan kaya ajaran, tak jarang juga menyertakan cecimpedan di dalamnya. *k23
1
Komentar