MUTIARA WEDA: Selalu dalam Nikmat
Biarkan orang berada dalam Yoga atau biarkan mereka berada dalam bhoga. Biarkan dia mencari kenikmatan dalam pergaulan atau berada jauh dari keramaian. Dia yang pikirannya berada dalam Brahman, dialah yang menikmati…… sungguh, hanya dia yang menikmati.
Yogarato va bhogarato vā sangarato vā sangavihinah,
Yasya brahmani ramate cittam nandati nandati nandatyeva.
(Bhaja Govindam, 19)
ADA satu perbedaan signifikan antara orang yang telah tercerahkan dan yang belum. Bagi yang belum, dia selalu hanyut dalam dualitas kehidupan – susah senang, baik buruk, dan seterusnya. Dia terjebak untuk menyenangi dan terikat dengan kesenangan dan kebaikan sementara senantiasa dihantui oleh kesusahan dan keburukan. Bagi mereka yang belum, mereka selalu melihat bahwa profesi tertentu memabukkan sementara profesi lain memuakkan. Mereka melihat pendeta selalu lebih baik dibandingkan tukang sapu di jalanan. Jika seandainya tukang sapu memberikan ceramah tentang kebenaran, mereka sebisa mungkin meragukannya. Sementara ketika pendeta memberikan ceramah meskipun tidak mengandung kebenaran, mereka akan mempercayainya. Itulah mengapa berita hoax sangat mudah menjadi keyakinan publik karena yang mewacanakan sering dari mereka yang mengenakan pakaian pendeta atau yang memiliki power di masyarakat atau yang sejenisnya.
Sementara itu pencerahan tidak pernah menunggu profesi atau baju tertentu. Teks di atas dengan tegas mengatakannya. Biarlah mereka berada dalam Yoga ataupun bhoga, dalam keramaian pasar atau dalam keheningan Himalaya. Semua itu tidak relevan lagi. Orang yang tercerahkan tidak memandang profesi, kedudukan, gender, kekayaan, ketenaran, dan yang sejenisnya. Tidak serta-merta hanya ketika menjadi pendeta kemudian baru mencapai pencerahan. Dalam konteks bentuk, hal ini tidak relevan. Kependetaan bisa memiliki makna lebih ketika ditujukan pada sadhana spiritual itu sendiri. Artinya, jika orang ingin menjadi pendeta orientasinya agar dihormati, dipercayai, dan didahulukan, maka ini tidak berarti apa-apa terhadap kesadaran Brahman. Tetapi, orang menjadi pendeta oleh karena ingin lebih fokus menjalani sadhana, maka profesi tersebut dengan sendirinya mengandung makna. Secara prinsip pencerahan tidak pernah menunggu apakah orang itu berprofesi sebagai pendeta, petani, pedagang, pebisnis atau yang lainnya.
Satu hal lagi yang menarik dari mereka yang telah berada dalam kesadaran Brahman, yakni dirinya selalu berada dalam kenikmatan. Sesungguhnya, teks menegaskan, bahwa hanya mereka yang telah tercerahkan sebenarnya yang menikmati. Mereka yang belum tercerahkan juga menikmati, tetapi selalu dibayangi oleh kejadian kebalikannya. Mereka ingin menikmati makanan yang enak, tetapi dirinya selalu terbayangi oleh makanan yang tidak enak. Kenikmatan yang dirasakan selalu didistorsi oleh rasa kebalikannya. Mereka tidak pernah penuh merasakan kenikmatan. Inilah mengapa dikatakan bahwa kenikmatan duniawi bersifat terbatas karena rasa itu bersifat sementara, tidak abadi, segera tergantikan oleh rasa kebalikannya. Oleh karena terbatas, mereka selalu mencari, tetapi karena yang dicari tetap juga bersifat sementara, akhirnya pencariannya itu sia-sia.
Mereka yang telah menyadari bahwa apa yang dinikmatinya selalu dibayangi oleh ketidaknikmatan, maka mereka pasti mencari sebuah jalan dimana agar kenikmatan yang dirasakannya tidak dihantui oleh ketidaknikmatan itu. Dan, menurut teks di atas, kenikmatan tersebut hanya dapat diperoleh dalam kesadaran Brahman. Lalu apakah mereka yang telah berada dalam kesadaran Brahman tidak lagi menikmati kenikmatan duniawi? Pertanyaan itu dipastikan tidak relevan lagi. Mengapa? Karena mereka yang telah berada dalam kesadaran Brahman tidak pernah melihat jarak antara material dan non material. Baginya semuanya adalah Brahman. Dengan kata lain, orang yang berada dalam kesadaran Brahman selalu total, tidak pernah dihantui oleh kebalikannya. Ketika berada dalam bhoga, yakni kenikmatan material, dirinya berada total di dalamnya.
(Bhaja Govindam, 19)
ADA satu perbedaan signifikan antara orang yang telah tercerahkan dan yang belum. Bagi yang belum, dia selalu hanyut dalam dualitas kehidupan – susah senang, baik buruk, dan seterusnya. Dia terjebak untuk menyenangi dan terikat dengan kesenangan dan kebaikan sementara senantiasa dihantui oleh kesusahan dan keburukan. Bagi mereka yang belum, mereka selalu melihat bahwa profesi tertentu memabukkan sementara profesi lain memuakkan. Mereka melihat pendeta selalu lebih baik dibandingkan tukang sapu di jalanan. Jika seandainya tukang sapu memberikan ceramah tentang kebenaran, mereka sebisa mungkin meragukannya. Sementara ketika pendeta memberikan ceramah meskipun tidak mengandung kebenaran, mereka akan mempercayainya. Itulah mengapa berita hoax sangat mudah menjadi keyakinan publik karena yang mewacanakan sering dari mereka yang mengenakan pakaian pendeta atau yang memiliki power di masyarakat atau yang sejenisnya.
Sementara itu pencerahan tidak pernah menunggu profesi atau baju tertentu. Teks di atas dengan tegas mengatakannya. Biarlah mereka berada dalam Yoga ataupun bhoga, dalam keramaian pasar atau dalam keheningan Himalaya. Semua itu tidak relevan lagi. Orang yang tercerahkan tidak memandang profesi, kedudukan, gender, kekayaan, ketenaran, dan yang sejenisnya. Tidak serta-merta hanya ketika menjadi pendeta kemudian baru mencapai pencerahan. Dalam konteks bentuk, hal ini tidak relevan. Kependetaan bisa memiliki makna lebih ketika ditujukan pada sadhana spiritual itu sendiri. Artinya, jika orang ingin menjadi pendeta orientasinya agar dihormati, dipercayai, dan didahulukan, maka ini tidak berarti apa-apa terhadap kesadaran Brahman. Tetapi, orang menjadi pendeta oleh karena ingin lebih fokus menjalani sadhana, maka profesi tersebut dengan sendirinya mengandung makna. Secara prinsip pencerahan tidak pernah menunggu apakah orang itu berprofesi sebagai pendeta, petani, pedagang, pebisnis atau yang lainnya.
Satu hal lagi yang menarik dari mereka yang telah berada dalam kesadaran Brahman, yakni dirinya selalu berada dalam kenikmatan. Sesungguhnya, teks menegaskan, bahwa hanya mereka yang telah tercerahkan sebenarnya yang menikmati. Mereka yang belum tercerahkan juga menikmati, tetapi selalu dibayangi oleh kejadian kebalikannya. Mereka ingin menikmati makanan yang enak, tetapi dirinya selalu terbayangi oleh makanan yang tidak enak. Kenikmatan yang dirasakan selalu didistorsi oleh rasa kebalikannya. Mereka tidak pernah penuh merasakan kenikmatan. Inilah mengapa dikatakan bahwa kenikmatan duniawi bersifat terbatas karena rasa itu bersifat sementara, tidak abadi, segera tergantikan oleh rasa kebalikannya. Oleh karena terbatas, mereka selalu mencari, tetapi karena yang dicari tetap juga bersifat sementara, akhirnya pencariannya itu sia-sia.
Mereka yang telah menyadari bahwa apa yang dinikmatinya selalu dibayangi oleh ketidaknikmatan, maka mereka pasti mencari sebuah jalan dimana agar kenikmatan yang dirasakannya tidak dihantui oleh ketidaknikmatan itu. Dan, menurut teks di atas, kenikmatan tersebut hanya dapat diperoleh dalam kesadaran Brahman. Lalu apakah mereka yang telah berada dalam kesadaran Brahman tidak lagi menikmati kenikmatan duniawi? Pertanyaan itu dipastikan tidak relevan lagi. Mengapa? Karena mereka yang telah berada dalam kesadaran Brahman tidak pernah melihat jarak antara material dan non material. Baginya semuanya adalah Brahman. Dengan kata lain, orang yang berada dalam kesadaran Brahman selalu total, tidak pernah dihantui oleh kebalikannya. Ketika berada dalam bhoga, yakni kenikmatan material, dirinya berada total di dalamnya.
Bhoga hanyalah alat. Kenikmatan yang dirasakannya tidak digantungkan pada bendanya, melainkan bersumber dari kebahagiaan yang ada di dalam. Jadi, bagi orang yang telah berada dalam Brahman, apakah dia sedang berada dalam kenikmatan duniawi, atau berada dalam keheningan Samadhi, berada dalam keramaian kota atau berada dalam kesunyian, dirinya sepenuhnya nikmat dan kenikmatan yang dirasakannya tidak berbeda. Dirinya telah tidak lagi terikat dengan keramaian atau kesunyian. Mengapa? Karena semuanya itu adalah Brahman. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Instituet of Vedanta
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Instituet of Vedanta
Komentar