Berhasil Ciptakan Pompa Air Tanpa Tenaga Listrik dan BBM
Pande Nyoman Merdana sempat selama 7 tahun menjadi tenaga ahli di Abudabi National Oil Company, Uni Emirat Arab, sebelum pulang ke Bali pada 2008 dan banting haluan jadi pengusaha properti
DENPASAR, NusaBali
Seorang putra Bali asal Desa Sepang Kelod, Kecamatan Busungbiu, Buleleng, Ir Pande Nyoman Merdana, 48, berhasil menciptakan alat pompa air tanpa menggunakan listrik dan bahan bakar minyak (BBM). Hasil karyanya yang diberi tajuk ‘Hidropande’ ini telah mendapatkkan hak paten dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM).
Hidropande ciptaan Pande Nyoman Merdana saat ini sudah dimanfaatkan di beberapa desa di Bali. Salah satunya, di Pura Dalem Mutering Jagat, Desa Adat Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur. Hidropande di Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman ini merupakan yang pertama dipasang di kawasan Kota Denpasar.
Hidropande di Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman memanfaatkan sumber air eks Balitex, yang berada di kawasan pura tersebut. Pengelolaan Hidropande ini dilakukan oleh pegempon Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman. Air hasil dari pompa air Hidropande tersebut digunakan untuk keperluan operasional pura.
Pangempon Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman sangat merasakan manfaat dari Hidropande karya Pande Merdana ini. “Dengan pengoperasian pompa tanpa listrik dan BBM ini, masalah operasional air di pura tertangani dengan baik. Untuk kebutuhan tirta, pewaregan, kamar mandi, landscape, dan lain-la-in, semua terpenuhi. Bahkan, kalau ada air yang tersisa, bisa dimanfaatkan untuk dijual,” ungkap Pande Merdana saat ditemui NusaBali di Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman, Selasa (11/6) sore.
Pande Merdana menjelaskan, pompa air tanpa energi listrik dan BBM ini menggunakan dua tabung dan valev kuningan timbul serta bushing. Pada alat Hidropande, pompa bekerja menggunakan tekanan air yang mengalir (energi potensial) pada sumber air yang ada. Tekanan air dari bak penampungan (reservoir) dialirkan menggunakan pipa pengantar menuju pompa, dengan selisih ketinggian kurang lebih 3 meter. Semakin tinggi bak penampungan air, maka semakin besar pula daya dorongnya.
Kemudian, air yang masuk menuju pompa akan mendorong klep buang hingga tertutup dan menimbulkan efek palu air (water hammer effect) menuju klep isap pada tabung udara. Nah, udara di dalam tabung akan melakukan tekanan balik berlipat (hidrolik ram) dan membuat klep isap tertutup.
Tekanan udara dalam tabung akan mendorong air yang masuk ke tabung melalui pipa penghantar menuju ke atas. Pada saat klep isap tertutup, terjadi hentakan yang membuat air dalam pompa terhentak mundur, sehingga menimbulkan ruang kosong pada posisi klep buang dan membuat klep terbuka kembali. Siklus ini terjadi berulang-ulang secara otomatis. Tenaga statis berubah menjadi energi kinetik.
“Keistimewaan pompa Hidropande, memiliki daya angkat 3 kali lipat dari pompa yang sudah ada sebelumnya. Tanpa listrik, tanpa BBM, hanya menggunakan energi potensial dari alam, air bisa naik ke tempat yang lebih di atas. Hidropande ini mampu bekerja 24 jam nonstop secara otomatis. Usia pompa bisa lebih dari 50 tahun. Dan, perawatannya pun sederhana. Pompa hidram hanya perlu mengganti karet valev seharga Rp 150.000 yang diganti 2-5 tahun sekali, tergantung kondisi pompanya,” papar Pande Merdana. Disebutkan, pompa Hidropande ini akan berjalan bila ada air yang mengalir.
Terkait kemampuan pompa menghasilkan berapa liter air, menurut Pande Merdana, tergantung dari medannya. Medan sumber air diklasifikasikan menjadi tiga: ringan, sedang, dan ekstrem. “Air yang ngucur tergantung dari konstruksi dan keinginan yang akan memasang mau berapa liter per detik. Misalnya, air untuk keperluan satu dusun, itu cukup pakai satu pompa. Kalau 4 banjar, maka harus ditambah alat pompanya,” tegas Pande Merdana.
Pompa Hidropande ciptaan Pande Merdana ini sudah mendapatkan hak paten dari Kemenhum HAM dengan Nomor HKI.3-HI.05.01.02.S16201701179. Pande Merdana menyebutkan, harga pompa Hidropande ini mencapai sekitar Rp 75 juta. Pompa Hidropande telah dipasang di desa-desa beberapa kabupaten di Bali, seperti Buleleng, Badung, dan Karangasem. Sebagian merupakan proyek pemerintah, termasuk penggunaan kucuran dana desa yang dimanfaatkan untuk membangun pompa air ini.
Pande Merdana sendiri paham betul bagaimana sistem kerja pompa air, dengan latar belakang pendidikannya yang lulusan Teknik Elektro Sistem Tenaga di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, Jawa Timur. Sebelum terpikir untuk menciptakan Hidropande, karier pria kelahiran Buleleng, 30 Desember 1970 ini terbilang cukup cemerlang.
Setahun setelah tamat dari ITN Malang pada 1994, Pande Merdana langsung dipercaya menduduki posisi tenaga ahli di Petrokimia (Pertamina) Cilegon, Banten. Setelah selama 6 tahun di Petrokimia Cilegon, pada 2001 Pande Merdana terpilih menjadi tenaga ahli di Abudabi National Oil Company, Uni Emirat Arab (UEA).
Pande Merdana sempat selama 8 tahun bekerja di negeri Timur Tengah tersebut, sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun dini pada 2008. Anak keempat dari 5 bersaudara keluarga pasangan Pande Made Muriasta dan Pande Ketut Serken ini kemudian kembali ke Pulau Dewata untuk berbisnis di bidang properti. Sayangnya, Pande Merdana mengalami masa anjlok bidang properti tahun 2014. Kala itu, dia mengalami kerugian hampir Rp 40 miliar.
Di sisi lain, Pande Merdana sering diminta untuk mewinten oleh para sulinggih dan pamangku yang kerap dijumpainya ketika bersembahyang di pura-pura tertentu. Saran tersebut kerap muncul sejak pulang dari UEA tahun 2008. Saat itu, Pande Merdana masih bingung mengapa harus mewinten? Barulah setelah bisnis propertinya anjlok pada 2014, dia menyetujui permintaan mewinten tersebut.
“Saya akhirnya mau mewinten tahun 2015. Pertama, agar selamat saja dulu. Sebab, saya masih bingung, jadi pamangku apa saya? Akhirnya, saya mencari Sri Mpu dari Bangli untuk mewinten. Setelah upacara mewinten, saya diminta untuk merawat sebuah sumur tua dan kolam peninggalan leluhur di belakang rumah di Desa Sepang Kelod, yang sudah lama tidak terawat. Katanya, nanti pasti ketemu jalan,” kenang ayah dua anak ini.
Amanat untuk merawat sumur tua dan kolam itu pun dijalankan Pande Merdana. Memasuki abulan pitung dina (42 hari), saat kolam itu selesai diperbaiki, Pande Merdana juga harus muput (nganteb) sendiri upacara pamelaspasnya. Tanpa disangka, hanya berselang 2 hari setelah upacara pamelaspas, Pande Merdana menemukan ide brilian untuk membuat pompa air tanpa listrik dan BBM ini.
“Ide brilian ini ternyata berasal dari niat baik. Saya merasa selama ini kurang banyak berbuat baik dan hanya memikirkan diri sendiri. Nah, saya akhirnya berpikir, betapa senangnya orang-orang bila kita bisa membuat sebuah alat yang bisa menaikkan air dari lembah ke bukit tanpa listrik dan BBM. Itu kayak semacam janji dari diri. Tiba-tiba muncul ide ini (Hidropande, Red),” cerita pria inovatif yang menempuh pendidikan menengah di SMP Lab Unud Singaraja dan SMA Lab Unud Singaraja ini.
Menurut Pande Merdana, semasa bekerja di Pertamina, dirinya ahli dalam menangani pompa-pompa listrik. Berdasarkan pengalaman itulah dia coba mengotak-atik pompa air yang dirakitnya. Selama 6 bulan mengotak-atik pompa tersebut, dia baru tahu kalau yang diciptakannya bernama hidram.
“Pompa hidram ini sudah ada di Indonesia sejak 200 tahun silam. Kenapa tidak ada yang mem-paten-kan dan dimanfaatkan oleh pemerintah? Akhirnya, saya kembangkan terus dengan inovasi dan kreatif. Saya cari terus apa kelemahannya. Lalu, saya mendesain bentuk baru yang jauh berbeda dari aslinya (hidram). Sekarang malah heboh karena bentuk yang saya ciptakan mampu mengatasi segala medan di Indonesia,” tandas Pande Merdana. *ind
Hidropande ciptaan Pande Nyoman Merdana saat ini sudah dimanfaatkan di beberapa desa di Bali. Salah satunya, di Pura Dalem Mutering Jagat, Desa Adat Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur. Hidropande di Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman ini merupakan yang pertama dipasang di kawasan Kota Denpasar.
Hidropande di Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman memanfaatkan sumber air eks Balitex, yang berada di kawasan pura tersebut. Pengelolaan Hidropande ini dilakukan oleh pegempon Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman. Air hasil dari pompa air Hidropande tersebut digunakan untuk keperluan operasional pura.
Pangempon Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman sangat merasakan manfaat dari Hidropande karya Pande Merdana ini. “Dengan pengoperasian pompa tanpa listrik dan BBM ini, masalah operasional air di pura tertangani dengan baik. Untuk kebutuhan tirta, pewaregan, kamar mandi, landscape, dan lain-la-in, semua terpenuhi. Bahkan, kalau ada air yang tersisa, bisa dimanfaatkan untuk dijual,” ungkap Pande Merdana saat ditemui NusaBali di Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman, Selasa (11/6) sore.
Pande Merdana menjelaskan, pompa air tanpa energi listrik dan BBM ini menggunakan dua tabung dan valev kuningan timbul serta bushing. Pada alat Hidropande, pompa bekerja menggunakan tekanan air yang mengalir (energi potensial) pada sumber air yang ada. Tekanan air dari bak penampungan (reservoir) dialirkan menggunakan pipa pengantar menuju pompa, dengan selisih ketinggian kurang lebih 3 meter. Semakin tinggi bak penampungan air, maka semakin besar pula daya dorongnya.
Kemudian, air yang masuk menuju pompa akan mendorong klep buang hingga tertutup dan menimbulkan efek palu air (water hammer effect) menuju klep isap pada tabung udara. Nah, udara di dalam tabung akan melakukan tekanan balik berlipat (hidrolik ram) dan membuat klep isap tertutup.
Tekanan udara dalam tabung akan mendorong air yang masuk ke tabung melalui pipa penghantar menuju ke atas. Pada saat klep isap tertutup, terjadi hentakan yang membuat air dalam pompa terhentak mundur, sehingga menimbulkan ruang kosong pada posisi klep buang dan membuat klep terbuka kembali. Siklus ini terjadi berulang-ulang secara otomatis. Tenaga statis berubah menjadi energi kinetik.
“Keistimewaan pompa Hidropande, memiliki daya angkat 3 kali lipat dari pompa yang sudah ada sebelumnya. Tanpa listrik, tanpa BBM, hanya menggunakan energi potensial dari alam, air bisa naik ke tempat yang lebih di atas. Hidropande ini mampu bekerja 24 jam nonstop secara otomatis. Usia pompa bisa lebih dari 50 tahun. Dan, perawatannya pun sederhana. Pompa hidram hanya perlu mengganti karet valev seharga Rp 150.000 yang diganti 2-5 tahun sekali, tergantung kondisi pompanya,” papar Pande Merdana. Disebutkan, pompa Hidropande ini akan berjalan bila ada air yang mengalir.
Terkait kemampuan pompa menghasilkan berapa liter air, menurut Pande Merdana, tergantung dari medannya. Medan sumber air diklasifikasikan menjadi tiga: ringan, sedang, dan ekstrem. “Air yang ngucur tergantung dari konstruksi dan keinginan yang akan memasang mau berapa liter per detik. Misalnya, air untuk keperluan satu dusun, itu cukup pakai satu pompa. Kalau 4 banjar, maka harus ditambah alat pompanya,” tegas Pande Merdana.
Pompa Hidropande ciptaan Pande Merdana ini sudah mendapatkan hak paten dari Kemenhum HAM dengan Nomor HKI.3-HI.05.01.02.S16201701179. Pande Merdana menyebutkan, harga pompa Hidropande ini mencapai sekitar Rp 75 juta. Pompa Hidropande telah dipasang di desa-desa beberapa kabupaten di Bali, seperti Buleleng, Badung, dan Karangasem. Sebagian merupakan proyek pemerintah, termasuk penggunaan kucuran dana desa yang dimanfaatkan untuk membangun pompa air ini.
Pande Merdana sendiri paham betul bagaimana sistem kerja pompa air, dengan latar belakang pendidikannya yang lulusan Teknik Elektro Sistem Tenaga di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, Jawa Timur. Sebelum terpikir untuk menciptakan Hidropande, karier pria kelahiran Buleleng, 30 Desember 1970 ini terbilang cukup cemerlang.
Setahun setelah tamat dari ITN Malang pada 1994, Pande Merdana langsung dipercaya menduduki posisi tenaga ahli di Petrokimia (Pertamina) Cilegon, Banten. Setelah selama 6 tahun di Petrokimia Cilegon, pada 2001 Pande Merdana terpilih menjadi tenaga ahli di Abudabi National Oil Company, Uni Emirat Arab (UEA).
Pande Merdana sempat selama 8 tahun bekerja di negeri Timur Tengah tersebut, sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun dini pada 2008. Anak keempat dari 5 bersaudara keluarga pasangan Pande Made Muriasta dan Pande Ketut Serken ini kemudian kembali ke Pulau Dewata untuk berbisnis di bidang properti. Sayangnya, Pande Merdana mengalami masa anjlok bidang properti tahun 2014. Kala itu, dia mengalami kerugian hampir Rp 40 miliar.
Di sisi lain, Pande Merdana sering diminta untuk mewinten oleh para sulinggih dan pamangku yang kerap dijumpainya ketika bersembahyang di pura-pura tertentu. Saran tersebut kerap muncul sejak pulang dari UEA tahun 2008. Saat itu, Pande Merdana masih bingung mengapa harus mewinten? Barulah setelah bisnis propertinya anjlok pada 2014, dia menyetujui permintaan mewinten tersebut.
“Saya akhirnya mau mewinten tahun 2015. Pertama, agar selamat saja dulu. Sebab, saya masih bingung, jadi pamangku apa saya? Akhirnya, saya mencari Sri Mpu dari Bangli untuk mewinten. Setelah upacara mewinten, saya diminta untuk merawat sebuah sumur tua dan kolam peninggalan leluhur di belakang rumah di Desa Sepang Kelod, yang sudah lama tidak terawat. Katanya, nanti pasti ketemu jalan,” kenang ayah dua anak ini.
Amanat untuk merawat sumur tua dan kolam itu pun dijalankan Pande Merdana. Memasuki abulan pitung dina (42 hari), saat kolam itu selesai diperbaiki, Pande Merdana juga harus muput (nganteb) sendiri upacara pamelaspasnya. Tanpa disangka, hanya berselang 2 hari setelah upacara pamelaspas, Pande Merdana menemukan ide brilian untuk membuat pompa air tanpa listrik dan BBM ini.
“Ide brilian ini ternyata berasal dari niat baik. Saya merasa selama ini kurang banyak berbuat baik dan hanya memikirkan diri sendiri. Nah, saya akhirnya berpikir, betapa senangnya orang-orang bila kita bisa membuat sebuah alat yang bisa menaikkan air dari lembah ke bukit tanpa listrik dan BBM. Itu kayak semacam janji dari diri. Tiba-tiba muncul ide ini (Hidropande, Red),” cerita pria inovatif yang menempuh pendidikan menengah di SMP Lab Unud Singaraja dan SMA Lab Unud Singaraja ini.
Menurut Pande Merdana, semasa bekerja di Pertamina, dirinya ahli dalam menangani pompa-pompa listrik. Berdasarkan pengalaman itulah dia coba mengotak-atik pompa air yang dirakitnya. Selama 6 bulan mengotak-atik pompa tersebut, dia baru tahu kalau yang diciptakannya bernama hidram.
“Pompa hidram ini sudah ada di Indonesia sejak 200 tahun silam. Kenapa tidak ada yang mem-paten-kan dan dimanfaatkan oleh pemerintah? Akhirnya, saya kembangkan terus dengan inovasi dan kreatif. Saya cari terus apa kelemahannya. Lalu, saya mendesain bentuk baru yang jauh berbeda dari aslinya (hidram). Sekarang malah heboh karena bentuk yang saya ciptakan mampu mengatasi segala medan di Indonesia,” tandas Pande Merdana. *ind
1
Komentar