Pas dengan Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali Menuju Bali Era Baru
Salah satu nasihat Dang Hyang Nirartha kepada Raja Dalem Waturenggong adalah jangan sampai Bali tidak memperhatikan kebudayaan, juga harus bakti kepada leluhur dan menggelar upacara di Pura Besakih
Oratorium Sendratari ‘Bali Padma Bhuwana’ Ceritakan Masa Keemasan Peradaban Kebudayaan Bali
DENPASAR, NusaBali
Pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) XLI 2019 di Panggung Terbuka Ardha Chandra Taman Budaya (Art Centre) Denpasar, Sabtu (15/6) malam, dimeriahkan dengan pentas Oratorium Sendratari ‘Bali Padma Bhuwana’ yang mengambil kisah kejayaan kepemimpinan Raja Dalem Waturenggong dalam menorehkan pencapaian peradaban Bali yang agung pada abad ke-16. Cerita yang diangkat tim kesenian dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini dinilai sejalan dengan visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’ menuju Bali Era Baru.
Oratorium ‘Bali Padma Bhuwana’ berdurasi sekitar 1 jam ini melibatkan 300 seni-man. Judul ‘Bali Padma Bhuwana’ diangkat untuk menunjukkan bahwa Bali sebe-tulnya adalah pusat peradaban dan sebagai sumber peradaban kebudayaan. “Bali pernah mengalami masa emas dalam bidang kebudayaannya, yaitu di era pemerintahan Raja Dalem Waturenggong pada abad ke-16,” ungkap Rektor ISI Denpasar, Prof Dr I Gede Arya Sugiartha SSKar MHum, dikonfirmasi NusaBali, Minggu (16/6).
Menurut Prof Arya Sugiartha, di era pemerintahan Dalem Waturenggong, masa puncak kebudayaan yang terlihat, antara lain, kesenian, sastra, dan arsitektur. Me-ngingat visi Gubernur Bali Wayan Koster adalah ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’ menuju Bali Era Baru, maka ISI Denpasar menilai sosok Dalem Waturenggong cukup cocok untuk diangkat.
“Sebenarnya, cukup banyak kiprah Dalem Waturenggong. Karena ini untuk kebu-tuhan garapan, maka kami mempertimbangkan sisi-sisi menariknya menjadi se-buah karya seni,” jelas Prof Arya Sugiartha.
Pembabakan kisah Dalem Waturenggong dimulai saat trah Kerajaan Majapahit ini dipilih menjadi raja di Bali. Pada masa pemerintahannya, Dalem Waturenggong cukup beruntung karena didampingi seorang tokoh spiritual Dang Hyang Nirartha, Bhagawanta yang bisa memberikan nasihat-nasihat bijak kepada raja.
Salah satu nasihat Dang Hyang Nirartha kepada Dalem Waturenggong adalah ja-ngan sampai Bali tidak memperhatikan kebudayaannya. Termasuk juga harus bakti kepada leluhur, terutama persembahyangan di Pura Besakih, seperti melaksanakan upacara agung Eka Dasa Rudra.
Garapan Oratorium ‘Bali Padma Bhuwana’ juga disertai sedikit konflik ketika Da-lem Waturenggong didatangi oleh Brahmana Keling yang dalam keadaan pakaian compang-camping, kumel, dan mengaku-ngaku sebagai saudara dari raja. Dalem Waturenggong yang emosional pun mengusir Brahmana Keling. Karena diusir, Brahmana Keling jadi jengkel, lalu mengutuk Bali yang diperintah Dalem Watu-renggong akan mengalami masa sulit.
Dang Hyang Nirartha merasakan sikap Dalem Waturenggong yang tidak semesti-nya. Meski dalam keadaan emosional, seorang raja tetap harus bisa mengontrol di-ri. Nah, oleh Dang Hyang Nirartha, Dalem Waturenggong kemudian diberikan ce-rita soal raja-raja bijaksana yang pernah ada di Bali bertahun-tahun sebelumnya. Dua di antara raja Bali Kuna yang patut diteladani adalah Raja Jaya Pangus dan Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten.
Di masa kepemimpinannya, Raja Jaya Pangus dikenal sangat terbuka terhadap berbagai suku, kepercayaan, dan tradisi. Buktinya, istri dari Raja Jaya Pangus berasal dari China, yakni Kang Cing We. Paham Siwa Budha pun berkembang di zaman itu. Pemerintahan Raja Jaya Pangus diteladani karena bisa membuat rakyatnya sejahtera, semua kepercayaan diayomi, serta hidup rukun.
Sedangkan Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten---raja Bali Kuna terakhir sebe-lum ditaklukkan Majapahit---perlu diteladani, karena mampu membangkitkan ke-budayaan. Pada masa pemerintahannya, Hari Raya Galungan dirayakan secara be-sar-besaran, dengan salah satu cirinya ngelawang barong.
Dengan mengungkap cerita Raja Jaya Pangus dan Sri Asta Sura Ratna Bumi Ba-nten, Dang Hyang Nirartha mencoba mengingatkan Dalem Waturenggong untuk mengendalikan dirinya. Suatu ketika, tibalah Dalem Waturenggong hendak meng-gelar upacara agung Eka Dasa Rudra di Pura Besakih. Saat sedang persiapan, ba-nyak kejadian misterius, seperti rakyat mendadak sakit, tanaman-tanaman layu, dan banten-banten menjadi rusak tanpa sebab. Rupanya, ini merupakan wujud kutukan dari Brahmana Keling, yang pernah diusur Dalem Waturenggong.
Melihat kondisi ini, Dalem Waturenggong bersedih. Dang Hyang Nirartha menga-takan bahwa ini adalah kutukan dari Brahmana Keling. Namun, belum terlambat bagi Dalem Waturenggong untuk meminta maaf.
Dengan kekuatan bathin dari Dang Hyang Nirartha, dipanggil-lah Brahmana Ke-ling yang pernah diusung Dalem Waturenggong. Maka, Dalem Waturenggong pun memohon maaf dan minta agar upacara agung Eka dasa Rudra yang akan digelar di Pura Besakih berjalan lancar. Ajaib, seketika rakyat yang sakit sembuh kembali, banten yang rusak kembali segar. Sejak itulah Brahmana Keling dinobatkan menjadi Dalem Sidakarya.
Setelah upacara agung Eka Dasa Rudra, semua kesenian dibangkitkan kembali, seperti Tari Legong, Barong, Semar Pagulingan, dan Joged Pingitan. Hal inilah yang membuat Bali mengalami masa keemasan di bidang kebudayaan.
Prof Arya Sugiartha menyebutkan, selain membawa pesan mengenai kemajuan peradaban Bali, Oratorium ‘Bali Padma Bhuwana’ juga membawa pesan tentang kebhinekaan dan toleransi. Terpenting lagi, bagaimana seharusnya menjadi seorang pemimpin. Oratorium ‘Bali Padma Bhuwana’ juga menyentil beberapa fenomena yang terjadi di Indonesia. Namun, sentilan itu hanya improvisasi.
“Seorang pemimpin harus bisa mengayomi segala sisi. Tidak boleh juga emosio-nal. Pemimpin harus mengayomi kebudayaan itu. Sebab, yang disebut masa kee-masan, tidak saja gemah ripah lohjinawi dari sisi sandang pangan, tetapi unsur seni budaya itu juga harus hidup,” katanya.
Menurut Prof Arya Sugiartha, Oratorium ‘Bali Padma Bhuwana’ melibatkan seki-tar 300 seniman. Garapan diawali dengan membuat rancangan konsep yang dibuat sekitar 2 bulan lalu. Termasuk konsultasi dengan Gubernur Bali Wayan Koster soal garapan tersebut. Setelah itu, latihan dimulai per sektor: penabuh, penari, penggerong, dan dalang.
Latihan gabungan dilakukan secara intens seminggu sebelum pementasan. “Kami kerja tim. Tidak ada sutradara. Masing-masing ada penggarapnya. Jadi, ini kerja bersama, karena saya yang pimpin rapat pertama saat menentukan cerita yang akan dibawakan. Kami juga melibatkan seniman-seniman senior,” tandas Prof Arya. *ind
1
Komentar