Kewenangan Pemantau Diberikan ke PMPPTSP
Soal Potensi Pajak Hotel dan Restoran yang Hilang
SINGARAJA, NusaBali
Pemkab Buleleng, akhirnya membuat kewenangan baru guna menghindari lempar tanggungjawab antar organisasi perangkat daerah (OPD), sebagai buntut temuan BPK RI. Kewenangan itu diberikan kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PMPPTSP) sebagai koordinator pemantau seluruh investasi di Buleleng.
Hal itu terungkap dalam rapat pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas pengelolaan APBD 2018, antara eksekutif dengan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Buleleng, Senin (17/6) di Gedung DPRD Buleleng, Jalan Veteran Singaraja. Rapat yang dipimpin Ketua DPRD Buleleng, Gede Supriatna menghadirkan OPD terkait yang dikoordinir oleh Asisten Administrasi Umum, Setda Buleleng, Gede Suyasa.
Dalam rapat tersebut terungkap, selama ini ada kesan lempar tanggungjawab antar OPD terkait, menyusul temuan BPK RI tentang adanya 29 hotel dan 13 restoran yang telah beroperasi tetapi gagal dipungut pajaknya yang taksir mencapai ratusan juta. Tadinya, kegagalan itu dinilai akibat lemahnya koordinasi, sehingga muncul kesan saling lempar tanggungjawab.
Dalam kasus tersebut ada tiga lembaga yang terkesan lempar tanggungjawab, masing-masing Dinas PMPPTSP, Badan Keuangan Daerah (BKD), dan Tim Yustisi. DPMPPTSP selaku pemberi izin hanya mempunyai kewenangan sampai pada proses permohonan izin, kemudian BKD hanya mempunyai kewenangan memungut pajak dan retribusi, dan Tim Yustisi hanya bertindak ketika ada laporan pelanggaran.
Namun sejatinya itu sebagai akibat tidak adanya fungsi pemantauan di masing-masing OPD tersebut terhadap tindak pelanggaran. “Jadi semuanya ini (tiga lembaga,Red) benar. Mereka tidak memiliki kewenangan sampai memantau semua investasi. Sehingga ada celah munculnya pelanggaran. Di lapangan kadang muncul persoalan, belum berizin tapi sudah beroperasi, kemudian sudah berizin tapi belum beroperasi. Sehingga sampai muncul yang sudah berizin dan beroperasi tetapi tidak sampai dipunggut pajak seperti temuan BPK RI,” kata Asisten Administrasi Umum, Gede Suyasa.
Mengacu pada pengalaman tersebut, dan sebagai tindak lanjut dari catatan BPK RI, Pemkab Buleleng kata Suyasa, sudah merancang menambah kewenangan Dinas PMPPTSP sebagai OPD yang berfungsi sebagai pemantau, melalui Peraturan Bupati atau cukup dengan Surat Keputusan (SK) Bupati. “Sekarang draf Perbup atau SK Bupati itu sudah berproses di BKD dan Bagian Hukum dengan koordinator Inspektorat. Nanti akhirnya Juni ini diharapkan sudah selesai. Dengan adanya kewenangan itu, nanti akan ada tim pemantau yang dikoordinir oleh Dinas PMPPTSP,” jelasnya.
Sebelumnya, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI, dari 641 wajib pajak (WP) berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) dan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP), diketahui bahwa ada 29 hotel sudah memiliki izin operasi, namun belum ditetapkan sebagai wajib pajak sehingga tidak memiliki NPWPD. Sedangkan untuk restoran, dari 424 WP ternyata 13 restoran sudah memiliki izin operasional, namun belum ditetapkan sebagai WP pajak restoran, sehingga tidak memiliki NPWPD. Akibat kondisi tersebut, BKD Buleleng belum bisa melakukan pemungutan pajak hotel dan restoran, sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2011.
Sementara, Sekretaris Badan Keuangan Daerah (BKD) Buleleng, Ni Made Susi Adnyani mengatakan, terkait dengan keberadaan puluhan hotel dan restoran yang belum menjadi wajib pajak sesuai dengan temuan BPK RI, pihaknya telah melakukan rekonsiliasi data. “Sekarang semuanya sudah kita kukuhkan. Dan tahun ini sudah mulai dilakukan pemungutan pajak,” katanya.
Dia pun memastikan tidak akan terjadi kehilangan potensi pajak di tahun-tahun mendatang. Pasalnya, dalam waktu dekat BKD akan membangun sistem aplikasi online dalam memproses NPWPD setiap unit usaha yang menjadi sumber PAD. Dengan cara itu, setiap izin yang terbit, BKD langsung memproses penerbitan NPWPD sebagai dasar bagi pemerintah memungut pajak dan retribusi. “Jadi ke depan, jika sudah teregistrasi dan izin diterbitkan di Dinas Perizinan, sudah langsung terkoneksi datanya ke kami, dan langsung bisa kami tetapkan sebagai wajib pajak,” jelas Susi Adnyani. *k19
Hal itu terungkap dalam rapat pembahasan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas pengelolaan APBD 2018, antara eksekutif dengan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Buleleng, Senin (17/6) di Gedung DPRD Buleleng, Jalan Veteran Singaraja. Rapat yang dipimpin Ketua DPRD Buleleng, Gede Supriatna menghadirkan OPD terkait yang dikoordinir oleh Asisten Administrasi Umum, Setda Buleleng, Gede Suyasa.
Dalam rapat tersebut terungkap, selama ini ada kesan lempar tanggungjawab antar OPD terkait, menyusul temuan BPK RI tentang adanya 29 hotel dan 13 restoran yang telah beroperasi tetapi gagal dipungut pajaknya yang taksir mencapai ratusan juta. Tadinya, kegagalan itu dinilai akibat lemahnya koordinasi, sehingga muncul kesan saling lempar tanggungjawab.
Dalam kasus tersebut ada tiga lembaga yang terkesan lempar tanggungjawab, masing-masing Dinas PMPPTSP, Badan Keuangan Daerah (BKD), dan Tim Yustisi. DPMPPTSP selaku pemberi izin hanya mempunyai kewenangan sampai pada proses permohonan izin, kemudian BKD hanya mempunyai kewenangan memungut pajak dan retribusi, dan Tim Yustisi hanya bertindak ketika ada laporan pelanggaran.
Namun sejatinya itu sebagai akibat tidak adanya fungsi pemantauan di masing-masing OPD tersebut terhadap tindak pelanggaran. “Jadi semuanya ini (tiga lembaga,Red) benar. Mereka tidak memiliki kewenangan sampai memantau semua investasi. Sehingga ada celah munculnya pelanggaran. Di lapangan kadang muncul persoalan, belum berizin tapi sudah beroperasi, kemudian sudah berizin tapi belum beroperasi. Sehingga sampai muncul yang sudah berizin dan beroperasi tetapi tidak sampai dipunggut pajak seperti temuan BPK RI,” kata Asisten Administrasi Umum, Gede Suyasa.
Mengacu pada pengalaman tersebut, dan sebagai tindak lanjut dari catatan BPK RI, Pemkab Buleleng kata Suyasa, sudah merancang menambah kewenangan Dinas PMPPTSP sebagai OPD yang berfungsi sebagai pemantau, melalui Peraturan Bupati atau cukup dengan Surat Keputusan (SK) Bupati. “Sekarang draf Perbup atau SK Bupati itu sudah berproses di BKD dan Bagian Hukum dengan koordinator Inspektorat. Nanti akhirnya Juni ini diharapkan sudah selesai. Dengan adanya kewenangan itu, nanti akan ada tim pemantau yang dikoordinir oleh Dinas PMPPTSP,” jelasnya.
Sebelumnya, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI, dari 641 wajib pajak (WP) berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) dan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP), diketahui bahwa ada 29 hotel sudah memiliki izin operasi, namun belum ditetapkan sebagai wajib pajak sehingga tidak memiliki NPWPD. Sedangkan untuk restoran, dari 424 WP ternyata 13 restoran sudah memiliki izin operasional, namun belum ditetapkan sebagai WP pajak restoran, sehingga tidak memiliki NPWPD. Akibat kondisi tersebut, BKD Buleleng belum bisa melakukan pemungutan pajak hotel dan restoran, sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2011.
Sementara, Sekretaris Badan Keuangan Daerah (BKD) Buleleng, Ni Made Susi Adnyani mengatakan, terkait dengan keberadaan puluhan hotel dan restoran yang belum menjadi wajib pajak sesuai dengan temuan BPK RI, pihaknya telah melakukan rekonsiliasi data. “Sekarang semuanya sudah kita kukuhkan. Dan tahun ini sudah mulai dilakukan pemungutan pajak,” katanya.
Dia pun memastikan tidak akan terjadi kehilangan potensi pajak di tahun-tahun mendatang. Pasalnya, dalam waktu dekat BKD akan membangun sistem aplikasi online dalam memproses NPWPD setiap unit usaha yang menjadi sumber PAD. Dengan cara itu, setiap izin yang terbit, BKD langsung memproses penerbitan NPWPD sebagai dasar bagi pemerintah memungut pajak dan retribusi. “Jadi ke depan, jika sudah teregistrasi dan izin diterbitkan di Dinas Perizinan, sudah langsung terkoneksi datanya ke kami, dan langsung bisa kami tetapkan sebagai wajib pajak,” jelas Susi Adnyani. *k19
Komentar