Ranperda RTRW Bali Tetap Diketok Palu
Belum Ada Lampu Hijau dari Pusat
DENPASAR, NusaBali
Draft Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali yang diajukan Pansus DPRD Bali ke Kementerian agraria dan Tata Ruang, belum kunjung mendapat lampu hijau dari pusat. Meski belum ada rekomendasi, namun Ranperda RTRW ini tetap akan diketok palu DPRD Bali, awal Juli 2019 depan.
Ketua Pansus Ranperda RTRW DPRD Bali, I Ketut Kariyasa Adnyana, mengatakan ada atau tidak lampu hijau dari pusat, revisi Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW ini tetap harus diketok palu. Kalau ada hal-hal yang masih dipertentangkan saat ini, terutama masalah ketinggian bangunan, itu dilewatkan saja.
“Sudah diabaikan saja masalah ketinggian bangunan, nanti kembali ke Perda lama yakni tingginya maksimal 15 meter. Karena kita tidak mungkin melanjutkan kerja Pansus dengan keanggotaan yang baru DPRD Bali 2019-2024. Bahasannya tinggal masalah ketinggian bangunan yang masih nanggung,” ujar Kariyasa Adnyana seusai rapat Pansus Ranperda RTRW di Gedung DPRD Bali, Niti Mandala Denpasar, Selasa (18/6) siang.
Kariyasa menegaskan, dalam sosialisasi Ranperda RTRW ke kabupaten/kota se-Bali, aspirasi yang muncul soal ketinggian bangunan memang berbeda-beda. Ada yang bersikukuh ingin mempertahankan ketinggian bangunan maksimal 15 meter seperti aspirasi dari Badung, ada pula yang menambah ketinggian bangunan maksimal sampai 20 meter. Ada juga daerah yang sama sekali tidak berpendapat soal ketinggian bangunan ini.
“Ini memang agak susah memutuskan. Cuma, Ranperda RTRW sebagai produk hukum pengaturan tata ruang kan harus selesai. Kalau kita tidak ada pedoman, kacau pengaturan tata ruang di Bali,” tandas politisi PDIP asal Desa/Kecamatan Busungbiu, Buleleng yang sudah tiga periode duduk di DPRD Bali dan berhasil lolos ke DPR RI Dapil Bali hasil Pileg 2019 ini.
Kapan Ranperda RTRW ditarget selesai? Menurut Kariyasa, rebisi dari Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW ini ditarget tuntas alias ketok palu sebelum masa jabatan anggota DPRD Bali 2014-2019 berakhir, Agustus 2019 mendatang. “Kalau tidak meleset, ya 21 Juni nanti ketok palu. Atau paling tidak Juli 2019 sudah selesailah itu barang. Ini sudah pembahasan maksimal. Kita agendakan menggelar rapat tiga kali saja, selesai sudah,” papar Kariyasa.
Masalah verifikasi dan kualitas dari produk hukum yang akan dihasilkan, menurut Kariyasa, tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, ada proses verifikasi di Kemendagri dan lembaga terkait lainnya. “Kan ada verifikasi juga di lembaga terkait, bukan hanya di Kementerian Agraria saja. Sebelum diajukan, kan ada verifikasinya. Ini menentukan nanti,” tegas almunus Fakultas Pertanian Unud angkatan 1988 ini.
Sementara itu, Wakil Ketua Pansus Ranperda RTRW Provinsi Bali, I Nengah Tamba, menyebutkan pihaknya akan mengajak kabupaten/kota untuk rapat lagi. Dalam rapat tersebut, masalah infrastruktur akan dimatangkan lagi dengan kabupaten/kota.
“Terutama mematangkan masalah pembangunan Jalan Tol Denpasar-Tabanan-Jembrana. Kemudian, pengembangan kawasan yang mengacu syarat jarak dengan sempadan pantai. Memang peta-petanya sudah sesuai dengan rapat-rapat sebelumnya, nanti dimatangkan lagi. Saya usulkan Pansus Ranperda RTRW rapat sekali lagi dengan kabupaten/kota,” tandas politisi Demokrat asal Desa Kaliakah, Kecamatan Negara, Jembrana ini.
Nengah Tamba mengatakan, penyelesaian Ranperda RTRW sebagai komitmen dan tanggung jawab Pansus dan DPRD Bali. Tak boleh ada kata tidak selesai. Ada atau tidak lampu hijau dari pusat, Ranperda RTRW harus diketok palu.
“Seperti penyampaian Ketua DPRD Bali Pak Adi Wiryatama, malu sama rakyat kalau tidak selesai. Ini sudah super maksimal. Kalau ada hal yang masih dipertentangkan, seperti masalah ketinggian bangunan, ya tidak usah digosok-gosok lagi, jangan jadi pro dan kontra,” pinya Nengah Tamba yang juga Ketua Komisi III DPRD Bali 2014-2019.
Sementara itu, Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama sebelumnya menegaskan Perda RTRW hasil revisi nantinya tidak akan jadi ‘macan kertas’, di mana peraturan ada, sanksinya ada, tapi pelanggaran yang terjadi lolos terus. “Intinya, Perda RTRW ini kita buat supaya tidak mengikat kaki kita, tidak mengerat leher kita, dan tidak menjadi macan kertas,” ujar Adi Wiryatama usai memimpin rapat pembahasan Ranperda RTRW di Gedung DPRD Bali, beberapa waktu lalu.
Adi Wiryatama mencontohkan pelaksanaan Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali. Dalam Perda tersebut, ada sanksi Rp 5 juta bagi yang melanggar, namun tidak ditentukan siapa yang memberikan sanksi. Akhirnya, terjadi pelanggaran demi pelanggaran. “Untuk itu, Perda RTRW Provinsi Bali hasil revisi nantinya harus tegas, siapa yang memberikan sanksi, siapa eksekutor dalam pelaksanaan sanksi,” tandas politisi senior PDIP asal Banjar Tegeh, Desa Angseri, Kecamatan Baturiti, Tabanan ini.
Menurut Adi Wiryatama, Perda RTRW Provinsi Bali direvisi dan menyesuaikan dengan visi misi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’ yang dilaksanakan Gubernur Bali Wayan Koster. Disebutkan, Gubernur Koster punya keinginan mengelola Bali dalam satu kesatuan yang utuh ‘one island one management’, dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali yaitu menjaga alam Bali beserta isinya. “Perda RTRW ini harus sejalan dengan visi misi Gubernur Bali,” ujar Adi Wiryatama. *nat
Ketua Pansus Ranperda RTRW DPRD Bali, I Ketut Kariyasa Adnyana, mengatakan ada atau tidak lampu hijau dari pusat, revisi Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW ini tetap harus diketok palu. Kalau ada hal-hal yang masih dipertentangkan saat ini, terutama masalah ketinggian bangunan, itu dilewatkan saja.
“Sudah diabaikan saja masalah ketinggian bangunan, nanti kembali ke Perda lama yakni tingginya maksimal 15 meter. Karena kita tidak mungkin melanjutkan kerja Pansus dengan keanggotaan yang baru DPRD Bali 2019-2024. Bahasannya tinggal masalah ketinggian bangunan yang masih nanggung,” ujar Kariyasa Adnyana seusai rapat Pansus Ranperda RTRW di Gedung DPRD Bali, Niti Mandala Denpasar, Selasa (18/6) siang.
Kariyasa menegaskan, dalam sosialisasi Ranperda RTRW ke kabupaten/kota se-Bali, aspirasi yang muncul soal ketinggian bangunan memang berbeda-beda. Ada yang bersikukuh ingin mempertahankan ketinggian bangunan maksimal 15 meter seperti aspirasi dari Badung, ada pula yang menambah ketinggian bangunan maksimal sampai 20 meter. Ada juga daerah yang sama sekali tidak berpendapat soal ketinggian bangunan ini.
“Ini memang agak susah memutuskan. Cuma, Ranperda RTRW sebagai produk hukum pengaturan tata ruang kan harus selesai. Kalau kita tidak ada pedoman, kacau pengaturan tata ruang di Bali,” tandas politisi PDIP asal Desa/Kecamatan Busungbiu, Buleleng yang sudah tiga periode duduk di DPRD Bali dan berhasil lolos ke DPR RI Dapil Bali hasil Pileg 2019 ini.
Kapan Ranperda RTRW ditarget selesai? Menurut Kariyasa, rebisi dari Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW ini ditarget tuntas alias ketok palu sebelum masa jabatan anggota DPRD Bali 2014-2019 berakhir, Agustus 2019 mendatang. “Kalau tidak meleset, ya 21 Juni nanti ketok palu. Atau paling tidak Juli 2019 sudah selesailah itu barang. Ini sudah pembahasan maksimal. Kita agendakan menggelar rapat tiga kali saja, selesai sudah,” papar Kariyasa.
Masalah verifikasi dan kualitas dari produk hukum yang akan dihasilkan, menurut Kariyasa, tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, ada proses verifikasi di Kemendagri dan lembaga terkait lainnya. “Kan ada verifikasi juga di lembaga terkait, bukan hanya di Kementerian Agraria saja. Sebelum diajukan, kan ada verifikasinya. Ini menentukan nanti,” tegas almunus Fakultas Pertanian Unud angkatan 1988 ini.
Sementara itu, Wakil Ketua Pansus Ranperda RTRW Provinsi Bali, I Nengah Tamba, menyebutkan pihaknya akan mengajak kabupaten/kota untuk rapat lagi. Dalam rapat tersebut, masalah infrastruktur akan dimatangkan lagi dengan kabupaten/kota.
“Terutama mematangkan masalah pembangunan Jalan Tol Denpasar-Tabanan-Jembrana. Kemudian, pengembangan kawasan yang mengacu syarat jarak dengan sempadan pantai. Memang peta-petanya sudah sesuai dengan rapat-rapat sebelumnya, nanti dimatangkan lagi. Saya usulkan Pansus Ranperda RTRW rapat sekali lagi dengan kabupaten/kota,” tandas politisi Demokrat asal Desa Kaliakah, Kecamatan Negara, Jembrana ini.
Nengah Tamba mengatakan, penyelesaian Ranperda RTRW sebagai komitmen dan tanggung jawab Pansus dan DPRD Bali. Tak boleh ada kata tidak selesai. Ada atau tidak lampu hijau dari pusat, Ranperda RTRW harus diketok palu.
“Seperti penyampaian Ketua DPRD Bali Pak Adi Wiryatama, malu sama rakyat kalau tidak selesai. Ini sudah super maksimal. Kalau ada hal yang masih dipertentangkan, seperti masalah ketinggian bangunan, ya tidak usah digosok-gosok lagi, jangan jadi pro dan kontra,” pinya Nengah Tamba yang juga Ketua Komisi III DPRD Bali 2014-2019.
Sementara itu, Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama sebelumnya menegaskan Perda RTRW hasil revisi nantinya tidak akan jadi ‘macan kertas’, di mana peraturan ada, sanksinya ada, tapi pelanggaran yang terjadi lolos terus. “Intinya, Perda RTRW ini kita buat supaya tidak mengikat kaki kita, tidak mengerat leher kita, dan tidak menjadi macan kertas,” ujar Adi Wiryatama usai memimpin rapat pembahasan Ranperda RTRW di Gedung DPRD Bali, beberapa waktu lalu.
Adi Wiryatama mencontohkan pelaksanaan Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali. Dalam Perda tersebut, ada sanksi Rp 5 juta bagi yang melanggar, namun tidak ditentukan siapa yang memberikan sanksi. Akhirnya, terjadi pelanggaran demi pelanggaran. “Untuk itu, Perda RTRW Provinsi Bali hasil revisi nantinya harus tegas, siapa yang memberikan sanksi, siapa eksekutor dalam pelaksanaan sanksi,” tandas politisi senior PDIP asal Banjar Tegeh, Desa Angseri, Kecamatan Baturiti, Tabanan ini.
Menurut Adi Wiryatama, Perda RTRW Provinsi Bali direvisi dan menyesuaikan dengan visi misi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’ yang dilaksanakan Gubernur Bali Wayan Koster. Disebutkan, Gubernur Koster punya keinginan mengelola Bali dalam satu kesatuan yang utuh ‘one island one management’, dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali yaitu menjaga alam Bali beserta isinya. “Perda RTRW ini harus sejalan dengan visi misi Gubernur Bali,” ujar Adi Wiryatama. *nat
1
Komentar