Menikah Sahaja, Tak Kurang Makna
SETIAP orang memimpikan upacara perkawinan atau pernikahan, setidaknya sedikit mewah hingga meriah.
DENPASAR, NusaBali
Terlepas dari kondisi material keluarga mempelai, belakangan makin banyak pasangan yang berlomba mengikuti tren pernikahan yang kian lama kian modern.
Namun tanpa disadari, kemampuan finansial kerap tidak dijadikan pegangan sebelum bertindak. Tak terkecuali mereka dari KK miskin, pasangan tersebut nekat membuat upacara perkawinan yang terkesan agak wah.
Kepala Dinas Sosial Provinsi Bali I Dewa Gede Mahendra Putra, saat dimintai komentar terkait fenomena tersebut, mengatakan siapa pun tidak berhak melarang keinginan seseorang untuk menikah dengan tampilan sesuai dengan kemauannya. Namun, alangkah lebih baiknya jika seseorang yang akan menggelar pernikahan tidak memaksakan diri dari sisi finansial. Sebab nanti akan memberatkan pasangan tersebut setelah menikah.
“Kalau kita bicara orang menikah dengan segala pula-pali (rangkaian upacara), sebenarnya cukup yang pokok-pokok saja. Dengan itu saja mereka sudah melaksanakan apa yang menjadi persyaratan orang menikah,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (15/6) lalu.
Menikah dengan kesah mewah, menurut Dewa Mahendra, merupakan upaya menunjukkan kebahagiaan. Di sisi lain, untuk menunjukkan eksklusivitas dan kekinian. Semua tergantung dari kemauan pelaku (yang akan menyelenggarakan pernikahan) berikut konsekuensi finansial yang harus diterima.
“Bukan berarti dilarang, tidak mesti demikian. Sebaiknya mengukur daripada kemampuan dalam kaitannya pelaksanaan upacara menikah. Memang ada kesan eksklusif, tapi kalau bisa memutuskan biaya pernikahan agar jangan sampai membebani pasangan tersebut di kemudian hari,” katanya.
Dia menambahkan, pernikahan yang sederhana sebenarnya tidak mengurangi makna upacara penyatuan dua insan manusia itu. Justru ketika menikah dengan cara yang sederhana, keuangan yang tersisa bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Dengan demikian, pasangan pengantin yang baru menapaki masa Grahasta Asrama tidak merasa beban karena menanggung banyak hutang setelah menikah.
Dikatakan, prewedding dan busana mewah hanyalah aksesoris. Pasangan muda mestinya diedukasi bahwa biaya untuk upacara pawiwahannya yang diutamakan. Sedangkan aksesoris bisa dipikirkan lebih bijak menyesuaikan dengan budget yang ada. “Yang penting kan pula palinya (rangkaian upacara, red),” tambahnya.
Menurut Dewa Mahendra, peran penyuluh agama, desa adat, dan juga pemerintah harus bersinergi untuk mengedukasi pasangan-pasangan yang hendak menikah agar tidak terkesan memaksakan keuangan demi mencapai tujuan pernikahan yang terkesan eksklusif. Untuk mengubah pola pikir dan cara berpikir masyarakat, ini memerlukan waktu yang tidak sebentar. “Pola pikir dan cara berpikir yang harus diperbaiki. Sekarang, orangnya itu mau nggak? Mengubah pola pikir dan cara berpikir itu cukup susah,” imbuhnya.
Dewa Mahendra menjelaskan, yang termasuk keluarga miskin memiliki kriteria cukup jelas. Seperti kondisi rumah yang tidak layak huni, sarana air bersih dan sumber air minum, penerangan listrik, konsumsi rumah tangga, penghasilan keluarga, kelayakan pendidikan dan kesehatan, dan beberapa indikator lainnya.
Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT) kemiskinan di Provinsi Bali sebanyak 260.199 KK. Terbanyak dari Kabupaten Karangasem, Buleleng, dan Bangli. Sedangkan yang sudah ditangani berjumlah 12.489 KK mulai tahun 2010 sampai 2019 berupa bantuan bedah rumah. Selain bedah rumah, KK miskin juga menerima bantuan pangan, dan lain-lain. *ind
Namun tanpa disadari, kemampuan finansial kerap tidak dijadikan pegangan sebelum bertindak. Tak terkecuali mereka dari KK miskin, pasangan tersebut nekat membuat upacara perkawinan yang terkesan agak wah.
Kepala Dinas Sosial Provinsi Bali I Dewa Gede Mahendra Putra, saat dimintai komentar terkait fenomena tersebut, mengatakan siapa pun tidak berhak melarang keinginan seseorang untuk menikah dengan tampilan sesuai dengan kemauannya. Namun, alangkah lebih baiknya jika seseorang yang akan menggelar pernikahan tidak memaksakan diri dari sisi finansial. Sebab nanti akan memberatkan pasangan tersebut setelah menikah.
“Kalau kita bicara orang menikah dengan segala pula-pali (rangkaian upacara), sebenarnya cukup yang pokok-pokok saja. Dengan itu saja mereka sudah melaksanakan apa yang menjadi persyaratan orang menikah,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (15/6) lalu.
Menikah dengan kesah mewah, menurut Dewa Mahendra, merupakan upaya menunjukkan kebahagiaan. Di sisi lain, untuk menunjukkan eksklusivitas dan kekinian. Semua tergantung dari kemauan pelaku (yang akan menyelenggarakan pernikahan) berikut konsekuensi finansial yang harus diterima.
“Bukan berarti dilarang, tidak mesti demikian. Sebaiknya mengukur daripada kemampuan dalam kaitannya pelaksanaan upacara menikah. Memang ada kesan eksklusif, tapi kalau bisa memutuskan biaya pernikahan agar jangan sampai membebani pasangan tersebut di kemudian hari,” katanya.
Dia menambahkan, pernikahan yang sederhana sebenarnya tidak mengurangi makna upacara penyatuan dua insan manusia itu. Justru ketika menikah dengan cara yang sederhana, keuangan yang tersisa bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Dengan demikian, pasangan pengantin yang baru menapaki masa Grahasta Asrama tidak merasa beban karena menanggung banyak hutang setelah menikah.
Dikatakan, prewedding dan busana mewah hanyalah aksesoris. Pasangan muda mestinya diedukasi bahwa biaya untuk upacara pawiwahannya yang diutamakan. Sedangkan aksesoris bisa dipikirkan lebih bijak menyesuaikan dengan budget yang ada. “Yang penting kan pula palinya (rangkaian upacara, red),” tambahnya.
Menurut Dewa Mahendra, peran penyuluh agama, desa adat, dan juga pemerintah harus bersinergi untuk mengedukasi pasangan-pasangan yang hendak menikah agar tidak terkesan memaksakan keuangan demi mencapai tujuan pernikahan yang terkesan eksklusif. Untuk mengubah pola pikir dan cara berpikir masyarakat, ini memerlukan waktu yang tidak sebentar. “Pola pikir dan cara berpikir yang harus diperbaiki. Sekarang, orangnya itu mau nggak? Mengubah pola pikir dan cara berpikir itu cukup susah,” imbuhnya.
Dewa Mahendra menjelaskan, yang termasuk keluarga miskin memiliki kriteria cukup jelas. Seperti kondisi rumah yang tidak layak huni, sarana air bersih dan sumber air minum, penerangan listrik, konsumsi rumah tangga, penghasilan keluarga, kelayakan pendidikan dan kesehatan, dan beberapa indikator lainnya.
Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT) kemiskinan di Provinsi Bali sebanyak 260.199 KK. Terbanyak dari Kabupaten Karangasem, Buleleng, dan Bangli. Sedangkan yang sudah ditangani berjumlah 12.489 KK mulai tahun 2010 sampai 2019 berupa bantuan bedah rumah. Selain bedah rumah, KK miskin juga menerima bantuan pangan, dan lain-lain. *ind
1
Komentar