MUTIARA WEDA: Bohong Itu Baik?
Kata-kata yang diucapkan pada waktu bermain-main, kata-kata yang diucapkan untuk menyelamatkan jiwa dan menyelamatkan harta, kata-kata yang diucapkan terhadap perempuan waktu dalam percumbuan, kata-kata yang diucapkan dalam hal-hal di atas jika ternyata bohong, dapatlah dianggap tidak berdosa.
Narma syad vacanaṁ yaddhi praṇadravyarakṣane ca,
śtrisu vivahakale to pañca nrtam na patakam.
(Ślokāntara, 69: 22)
TERNYATA ada kata-kata bohong yang diucapkan tidak berdampak negatif. Jadi, membaca teks di atas, tidak 100 persen bohong itu jelek dan tidak 100 persen jujur itu baik. Kapan mesti bicara jujur dan kapan bicara bohong itu bersifat kontekstual. Ada masanya berbohong itu bermanfaat, dan ada masanya jujur itu berbahaya. Seperti misalnya, ketika maling masuk ke rumah minta ditunjukkan tempat di mana brankas ditaruh, kemudian kita jujur, tentu itu berdampak buruk. Jadi, pencuri akan dengan mudah mendapatkan harta kita. Apa artinya kita kerja keras guna memperoleh harta, namun ketika harta tersebut sudah terkumpul kemudian lenyap dalam sekejap hanya gara-gara kita terlalu jujur? Kejujuran dalam konteks itu ternyata nilainya kurang baik.
Menurut teks di atas, selain berbohong oleh karena menyelamatkan harta berdampak positif, ada berbohong lainnya yang diperbolehkan, seperti berbohong saat bercanda, berbohong saat bercumbu rayu, dan berbohong saat menyelamatkan jiwa seseorang. Seperti apa contohnya? Saat sedang bercanda, guna menambah semangat dan menyenangkan bercandanya, kita boleh mengucapkan kata-kata bohong sebab itu tidak berdampak negatif. Mengapa tidak berdampak negatif? Karena teman-teman yang lain sudah tahu bahwa apa yang dibicarakan itu kontennya hanya untuk menghibur. Bisa saja fakta yang dibumbui atau khayalan yang dibuat seolah-olah nyata. Itu terjadi hanya dalam guyon.
Kemudian yang lainnya boleh berbohong saat sedang bercumbu. Misalnya, untuk menghangatkan suasana dan menyenangkan pasangan, merayu dan memuji sangat efektif di sana. Meskipun pasangan tidak ‘cantik-cantik amat’, tetapi karena pada prinsipnya wanita suka dipuji, maka kita boleh mengatakan bahwa hanya dirinya perempuan tercantik di dunia, tidak ada yang lain. Tentu pasangan kita itu sudah tahu bahwa kita berbohong tetapi dirinya senang sudah menunjukkan perhatian seperti itu. Kebohongan seperti itu bisa berarti memberi perhatian lebih, dan ini berdampak positif. Terakhir, bohong ketika dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa. Seperti misalnya, agar seorang pasien tenang, meskipun sakitnya berat, kita boleh mengatakan kepada pasien tersebut bahwa sakitnya tidak masalah dan akan baik-baik saja. Ini membuat psikisnya tenang. Tidak tertutup kemungkinan karena sugesti ketenangan tersebut, penyakit itu bisa disembuhkan. Banyak kejadian seperti ini.
Hal yang menjadi masalah di sini bukan lagi masalah berkata-kata bohong seperti di atas, tetapi lebih pada nilai kejujuran itu sendiri. Jika ada perkataan jujur memiliki dampak kurang baik, berarti kemurnian nilai kejujuran itu tidak 100 persen. Kejujuran mesti legowo untuk berbagi dengan ketidakjujuran dalam rangka kebutuhan manusia. Selama ini nilai-nilai kejujuran sangat dipentingkan dan bahkan menjadi prioritas di dalam setiap sistem. Sistem pemerintahan misalnya akan menjadi tidak sehat jika di dalamnya banyak ketidakjujuran. Nilai kejujuran di sini menjadi sangat penting. Apakah kemudian nilai kejujuran bisa dikatakan tidak murni, jika dinilai bahwa ada ketidakjujuran yang bernilai baik?
Dalam konteks ini, kita harus menggandengkannya dengan kebenaran. Di atas kejujuran ada kebenaran. Kejujuran itu tentu 100 persen benar, tetapi dalam kebenaran belum tentu 100 persen jujur. Kebenaran berhubungan dengan rta, dan ini adalah konteks, sementara kejujuran adalah sebuah pedoman moral yang rigid. Ada kalanya kejujuran itu mesti berbelok sedikit guna membela kebenaran. Seperti halnya Krishna mengajarkannya pada Arjuna saat mau membunuh Karna. Arjuna ingin peperangan itu jujur di mana siapa pun lawan yang tidak dalam kondisi siap tidak boleh diserang. Pada saat itu, Karna sedang memperbaiki ban keretanya yang tenggelam ke tanah. Krishna mengetahui kebenarannya bahwa kematian Karna terjadi di saat posisinya tidak siap seperti itu oleh karena kutukan gurunya. Agar kebenaran itu tetap berjalan dengan baik, kejujuran peperangan itu mesti harus dinomorduakan. Arjuna diperintahkan untuk melanggarnya dan berbuat tidak jujur. Seperti itulah narasinya kira-kira. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Ślokāntara, 69: 22)
TERNYATA ada kata-kata bohong yang diucapkan tidak berdampak negatif. Jadi, membaca teks di atas, tidak 100 persen bohong itu jelek dan tidak 100 persen jujur itu baik. Kapan mesti bicara jujur dan kapan bicara bohong itu bersifat kontekstual. Ada masanya berbohong itu bermanfaat, dan ada masanya jujur itu berbahaya. Seperti misalnya, ketika maling masuk ke rumah minta ditunjukkan tempat di mana brankas ditaruh, kemudian kita jujur, tentu itu berdampak buruk. Jadi, pencuri akan dengan mudah mendapatkan harta kita. Apa artinya kita kerja keras guna memperoleh harta, namun ketika harta tersebut sudah terkumpul kemudian lenyap dalam sekejap hanya gara-gara kita terlalu jujur? Kejujuran dalam konteks itu ternyata nilainya kurang baik.
Menurut teks di atas, selain berbohong oleh karena menyelamatkan harta berdampak positif, ada berbohong lainnya yang diperbolehkan, seperti berbohong saat bercanda, berbohong saat bercumbu rayu, dan berbohong saat menyelamatkan jiwa seseorang. Seperti apa contohnya? Saat sedang bercanda, guna menambah semangat dan menyenangkan bercandanya, kita boleh mengucapkan kata-kata bohong sebab itu tidak berdampak negatif. Mengapa tidak berdampak negatif? Karena teman-teman yang lain sudah tahu bahwa apa yang dibicarakan itu kontennya hanya untuk menghibur. Bisa saja fakta yang dibumbui atau khayalan yang dibuat seolah-olah nyata. Itu terjadi hanya dalam guyon.
Kemudian yang lainnya boleh berbohong saat sedang bercumbu. Misalnya, untuk menghangatkan suasana dan menyenangkan pasangan, merayu dan memuji sangat efektif di sana. Meskipun pasangan tidak ‘cantik-cantik amat’, tetapi karena pada prinsipnya wanita suka dipuji, maka kita boleh mengatakan bahwa hanya dirinya perempuan tercantik di dunia, tidak ada yang lain. Tentu pasangan kita itu sudah tahu bahwa kita berbohong tetapi dirinya senang sudah menunjukkan perhatian seperti itu. Kebohongan seperti itu bisa berarti memberi perhatian lebih, dan ini berdampak positif. Terakhir, bohong ketika dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa. Seperti misalnya, agar seorang pasien tenang, meskipun sakitnya berat, kita boleh mengatakan kepada pasien tersebut bahwa sakitnya tidak masalah dan akan baik-baik saja. Ini membuat psikisnya tenang. Tidak tertutup kemungkinan karena sugesti ketenangan tersebut, penyakit itu bisa disembuhkan. Banyak kejadian seperti ini.
Hal yang menjadi masalah di sini bukan lagi masalah berkata-kata bohong seperti di atas, tetapi lebih pada nilai kejujuran itu sendiri. Jika ada perkataan jujur memiliki dampak kurang baik, berarti kemurnian nilai kejujuran itu tidak 100 persen. Kejujuran mesti legowo untuk berbagi dengan ketidakjujuran dalam rangka kebutuhan manusia. Selama ini nilai-nilai kejujuran sangat dipentingkan dan bahkan menjadi prioritas di dalam setiap sistem. Sistem pemerintahan misalnya akan menjadi tidak sehat jika di dalamnya banyak ketidakjujuran. Nilai kejujuran di sini menjadi sangat penting. Apakah kemudian nilai kejujuran bisa dikatakan tidak murni, jika dinilai bahwa ada ketidakjujuran yang bernilai baik?
Dalam konteks ini, kita harus menggandengkannya dengan kebenaran. Di atas kejujuran ada kebenaran. Kejujuran itu tentu 100 persen benar, tetapi dalam kebenaran belum tentu 100 persen jujur. Kebenaran berhubungan dengan rta, dan ini adalah konteks, sementara kejujuran adalah sebuah pedoman moral yang rigid. Ada kalanya kejujuran itu mesti berbelok sedikit guna membela kebenaran. Seperti halnya Krishna mengajarkannya pada Arjuna saat mau membunuh Karna. Arjuna ingin peperangan itu jujur di mana siapa pun lawan yang tidak dalam kondisi siap tidak boleh diserang. Pada saat itu, Karna sedang memperbaiki ban keretanya yang tenggelam ke tanah. Krishna mengetahui kebenarannya bahwa kematian Karna terjadi di saat posisinya tidak siap seperti itu oleh karena kutukan gurunya. Agar kebenaran itu tetap berjalan dengan baik, kejujuran peperangan itu mesti harus dinomorduakan. Arjuna diperintahkan untuk melanggarnya dan berbuat tidak jujur. Seperti itulah narasinya kira-kira. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar